Semua Bab Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Bab 41 - Bab 50

195 Bab

41. Intens

Hari peluncuran tiba. Riga mengundang banyak pihak untuk presentasi produk. Aku turut serta sebagai pendamping Riga, atau Nyonya Abimahya. Sejak tadi pagi Riga nampak percaya diri. Dengan pakaian terbaiknya, materi di luar kepala, Riga siap memukau berbagai investor dengan inovasi miliknya. Tidak lupa ia menggandeng Nara dan Biru. Serta mendapuk produk dipelopori oleh mereka bertiga. Warnakota, minus Cyan. Riga memulai presentasi di hadapan puluhan orang. Yang terdepan adalah Pak Danavy Abimahya. Direktur sebelumnya Abimahya Corp. Ia merasa masih bertanggung jawab di tahun pertama Riga menjabat. Meski sudah pensiun, Pak Danavy tetap punya andil untuk perusahaan keluarga ini. Salah satunya meyakinkan relasi untuk mendekat ketika Riga mengembangkan sayap ke kancah digital modern. Di belakangnya, ada Bunda juga Kak Elva yang turut serta membantu proyek Riga. Aku di sebelah mereka. Merasa waswas di setiap kata demi kata yang meluncur di mulut Riga
Baca selengkapnya

42. Nara Password

Ia terperanjat seperti dikageti. Kebetulan aku sedang berada di dekat wajahnya ikutan kaget begitu wajah Riga melesat cepat mengenai wajahku dan ... Bibir kami bersentuhan. Aku mundur selangkah merapat ke tembok belakang mejanya. Refleks yang lambat karena sempat terkejut dengan pertemuan bibir kami. Sementara itu, Riga seolah baru tersadarkan. Ia memental kembali ke kursi sebab tadi bertubrukan wajah denganku. Dipegangilah kepalanya karena migrain tiba-tiba datang hasil dari bangun yang dipaksakan. Riga mengaduh, sedangkan aku mematung dan merasakan denyut di bibirku menjadi bukti bahwa tabrakan tadi memang benar berasal dari sana. Lama Riga memegangi kepalanya, mengizinkanku untuk mengontrol wajah barang sejenak. Menelan ludah dan menjilati bibirku agar denyutannya hilang. Riga mendongak dan sadar ada aku merapat di tembok. Sedang melotot dan wajah penuh arti. “Viana?” Aku berkedip dan menyudahi wajah tegangku dengan tersenyu
Baca selengkapnya

43. Internal

Pagi-pagi Riga memanaskan mobil. Ia telah berdandan rapi dengan kemeja casual bergaris hitam putih, masih selaras dengan tema monokrom yang diusung. Riga melihatku yang mengenakan gaun bermotif bunga. Juga jepitan rambut tersemat di atas telinga. Sedetik ia melirikku lalu pada Nara yang dari tadi menggenggam tanganku sebelum melepas kepergian kami. “Yuk, Viana. Perjalanan kita lumayan jauh,” ujar Riga sembari membuka pintu mobil. Aku menghadap Nara sebelum pergi. Menerima ciuman Nara di pipi, hidung, kening, yang terakhir di bibirku. “Hati-hati di jalan.” Aku mengangguk. Nara menemaniku sampai ke pintu mobil. Ia bahkan menuntunku masuk ke jok sebelah Riga. Nara bantu memakaikan sabuk pengaman. Menyapa sahabatnya dan menitipkanku padanya. Kami telah bersiap. Jendela mobil kuturunkan untuk melambaikan tangan perpisahan. Mobil melaju meninggalkan Nara yang masih memandangi mobil meski telah berada di belokan jalan. Barulah kunaikkan jende
Baca selengkapnya

44. Hectic

Acara ulang tahun Eyang tidak ada perayaan semacam tiup lilin, potong kue, menyanyi-nyanyi, apalagi kedatangan badut sulap. Bukan. Ulang tahun Eyang bertujuan untuk berkumpulnya seluruh keluarga. Maka kami pun hanya berbincang-bincang di ruang tengah. Membanggakan si ini, menggosipkan si itu, pokoknya penuh keceriaan. Satu yang kusuka dari acara ini, banyaknya makanan dan kue-kue. Katanya, Eyang menyewa katering untuk ini. Yang bantu menyiapkan prasmanan juga orang-orang katering. Kukira tadinya yang memakai kaos putih rompi hitam itu asisten rumah tangganya Eyang. Hebat sekali kalau iya, jumlah mereka ada sekitar dua puluh. Sebegitu banyak hanya untuk melayani Eyang. Ckckck. Hari sudah menginjak malam, kami bergeser kumpul ke halaman utama dimana layar dan proyektor sudah terpajang di sana. Aku datang belakangan karena menunggu Riga yang bersikeras ingin membawa popcorn sebagai teman menonton. Bahan-bahan sudah ada, seperti tahu popcorn adala
Baca selengkapnya

45. Enyahkan Pikiran Kotor

Malam makin larut, anginnya pun makin kencang di halaman terbuka tanpa terhalang tembok. Aku memeluk lenganku. Gaunku terbilang tipis untuk menghalau angin pegunungan yang bertiup makin kencang. Sepertinya Bunda sadar aku kedinginan. Ia yang duduk tak jauh dari Riga, menegurnya pelan-pelan. “Riga, istrimu kedinginan, tuh. Bawakan dia jaket, sana!” Riga menolehku dengan mulut penuh popcorn. Ia kelihatan malas untuk sekedar beranjak. Atau ia malas mengurusiku. Riga membuat tanda pada Biru. Meminta Biru menyerahkan jaketnya padaku karena Nila sudah mengenakan pakaian panjang dan hangat. “Biru, pinjami Viana jaketmu, dong!” “Kok aku? Kamu ambillah ke dalam.” Riga keterlaluan, aku tahu dia dalam mode posisi ternyaman, atau sedang menghindar dariku setelah tadi sama-sama kikuk. Tapi tidak seharusnya ia menunjukkan ketidakpeduliannya begitu. Awas saja kalau ada acara seperti ini lagi, aku tidak akan datang. Tahu begini
Baca selengkapnya

46. Bertanya

Malam itu hujan tiba-tiba lebat. Kegiatan menonton di layar memang telah usai. Beralih ke ruang tengah hanya melakukan percakapan ringan. Hujan membuat kami bertahan. Rencana hanya sampai tengah malam saja di sini, lalu pulang ke ibukota. Namun hantaman air dari langit membabi buta mengenai apa saja yang ditemui. Jalanan basah, ditambah gelap yang mencekam, memaksa kami membatalkan rencana pulang. Bukan apa-apa, jalanan bisa sangat licin, penerangan pun akan minim. Termasuk bahaya kalau memaksakan diri berkendara dalam kondisi ini. Kebanyakan memutuskan menginap, toh ada banyak kamar yang bisa ditempati. Sebenarnya ide menginap tidak terlalu buruk, hanya saja berarti aku harus sekamar dengan Riga. Apa kuikuti saja pasangan Biru dan Nila yang terpisah kamar karena mereka belum resmi menikah. Tapi apa katanya nanti, Viana dan Riga pisah ranjang. Padahal dari awal kami memang tidak pernah seranjang. Aku dan Riga diam di pintu. Terpikir mengakali kasur be
Baca selengkapnya

47. Alasan Menyukai

Riga menangkap tanganku yang berada di bahunya. Ia menarikku sampai bahu kami bertubrukan. Sampai wajahnya hanya beberapa inchi dari wajahku. “Kira-kira Nara marah gak ya, kalau aku cium kamu sekali saja.” Cukup, Riga sudah berlebihan. Aku tahu dia sedang bercanda karena setelahnya mulut Riga menggembung dan menyemburkan tawa membahana. Kuhajar kepalanya dengan bogeman mentah. Bertubi-tubi sampai Riga membenamkan kepalanya di antara bantal yang kulemparkan padanya tadi. Dia pikir lucu mengatakan omong kosong itu. Konyol. Lihat dia, dia tertawa-tawa seolah puas sudah membuat pipiku bersemu merah. “Ampun, ampun!” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku. Aku kadung emosi. Kuputuskan aku saja yang pergi. Begadang saja sekalian daripada harus meladeni si kunyuk ini. “Viana ... hei. Kamu mau kemana?” teriaknya masih dengan tawa yang tak juga berhenti. Masa bodoh. Aku melengos pergi dari kamar. Mengumpa
Baca selengkapnya

48. Terlambat Merayakan

Kelopak mataku terbuka perlahan. Kehangatan itu masih bisa kurasakan menjalari tubuhku. Butuh sepersekian detik untukku menyadari dimana aku terbangun.Di pelukan Riga. Gawat.Aku terhuyung, menjauhi tubuhnya. Berdebar hebat saat wajah pulas Riga mendominasi pemandanganku.Mana guling yang jadi pemisah kami, dan ... eh, kenapa aku ada di sini. Seingatku, aku ketiduran di sofa. Siapa yang memindahkanku kemari? Apa Riga yang melakukannya?Tak lama, pria yang sedang kutatapi itu menggesek-gesekkan pipinya ke bantal. Ia mendengung.Sebelum kelopak matanya mulai terbuka atau ia terbangun, aku sudah turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi setelah membawa handuk dan baju salin.Riga sepertinya sudah terjaga. Ia melihatku yang bergerak aktif sekitar kamar mandi.“Sedang apa, Viana?” tanya Riga serak.“Mandi. Aku mau pulang.” Kukatakan tanpa menoleh padanya. Pintu pun tertutup keras menggetarkan tembok sekitarn
Baca selengkapnya

49. Afeksi

Aku melingkarkan tanganku di perut Nara yang rata. Menyandarkan kepalaku di punggungnya. Hangat Nara selalu sama. Menguar kemana-mana sampai membujukku untuk tertidur di belakang punggungnya.Motor menderu di atas jalan beraspal seperti lecutan peluru. Kami meliuk-liuk melewati mobil juga kemacetan ibukota. Makin ke sini padatnya kendaraan makin berkurang. Berganti medan dengan jalan berkelok-kelok atau permukaan yang tak rata.Nara membawaku ke suatu tempat di kaki bukit. Pemandangan asri nampak terlihat, tapi motor tak juga berhenti. Masih saja menanjak melewati gunung dengan panorama indah di kanan kiri.Sambil melaju kunikmati perjalanan di boncengan Nara. Mengagumi apa yang kutangkap di sana. Pohon palem yang tinggi, ilalang yang rimbun, gemerisik dedaunan di jalanan, rumah warga dengan kearifan lokal, serta sawah terasering yang diairi sungai jernih.Melihatnya seperti menyegarkan otak. Seolah kembali ke alam setelah belakangan terkontaminasi hirup
Baca selengkapnya

50. Komplit Service

Kami menginap di sebuah cottage. Kamar yang nyaman dengan view danau. Kamar satu dan yang lain berdiri seolah melayang di atas air.Teratai jadi dominan permukaan danau. Malam saat kami datang, teratai masih kuncup seolah tertidur. Nara bilang, pagi-pagi teratai akan mekar lengkap dengan embun pagi menyejukkan.Aku dan Nara menghabiskan malam hangat dengan cahaya temaram. Sudah sepatutnya honeymoon kebanyakan, kami melakukan ‘itu’ lebih dari sekali. Lebih intim daripada saat di rumah, lebih liar daripada hari-hari sebelumnya.Pelukan Riga yang sempat buatku kalang kabut, terganti sudah oleh sentuhan Nara yang luar biasa. Berkali-kali ia melontarkan kata cinta. Membisikkan namaku dengan merdu. Malam ini jadi milik kami berdua. Tanpa gangguan, tanpa interupsi.Ini honeymoon terhebat kami. Lelah, peluh, basah dan lengket. Namun nyaman dan menenangkan.Aku tertidur di pelukan Nara. Tanpa sehelai benang pun. Hanya selimut yang melindungi dar
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
20
DMCA.com Protection Status