Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 61 - Chapter 70

195 Chapters

61. Langkah Agresif

“Kak Viana, apa yang kemarin jemput Kakak itu, suami kakak?”“Mmm ... bukan, dia sopirku.”“Sopir?”“Ya.”“Siapa namanya?”“Memangnya kenapa?”“Aku sepertinya suka sama sopir kak Viana.”Aku terdiam. Melotot. Tidak menyangka Gumi akan mengatakannya. Dia suka Nara? Yang benar saja.“Enggak boleh.”“Kenapa gak boleh, Kak?”“Dia mmm ... sudah punya pasangan.”“Istri?”“Ya. Istri.”“Enggak masalah.”“Apanya yang gak masalah.”“Aku kan menyukainya, bukan mau jadi istrinya. Tapi ya ... kalau dia mau menjadikanku istri kedua juga gak masalah.”Gumi mengatakannya dengan wajah datar tapi bibir menyeringai. Apa Gumi yang sebenarnya memang seperti ini. Wanita lain biasanya mundur saat tahu pria yang diincar
Read more

62. Apa Hubunganmu?

Malam-malam aku sedang menghapal dialogku di kursi santai ruang tengah. Di bagian ending ada beberapa dialog yang tak masuk ke kepala meskipun sudah kuulang berkali-kali.Entahlah, semenjak hamil aku jadi susah menghafal dengan baik. Semua kalimat seperti mengabur di otak. Kadang blank.Aku sempat melirik jam dinding di atas TV. Itu menunjukkan pukul 11 malam. Sudah larut menurutku, tapi Riga belum pulang dari tempat kerjanya. Apa dia lembur lagi?Tak berapa lama, mobil Riga kedengaran di halaman rumah. Ia pun masuk setelah menaruh sepatunya di atas rak dekat pintu. Aku jadi menonton Riga di tiap langkahnya. Ia kelihatan sangat lelah dengan wajah kusut dan ujung kemeja keluar dari celananya.Riga menolehku. Secepat kilat ia mengganti wajah lesunya dengan senyum sumringah seolah tidak mau menunjukkan wajah lelahnya dariku. Terlambat, aku sudah melihat itu, Riga.“Viana, kok belum tidur?” sahutnya sambil membuka kancing di lengan kemejany
Read more

63. Nara Type

“Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dengan Nara?”Intens. Tepat sasaran. Langsung ke inti. Itulah Havana yang kukenal. Aku sempat mengabaikan kalau Havana pastilah bisa mengambil kesimpulan dari keanehan hubungan kami.Sebab dia yang tahu bagaimana aku mengejar Nara saat di cafe Tree dulu. Dia juga yang tahu bagaimana aku sebegitu cintanya pada Nara, sampai hanya nama dia yang keluar dari mulutku setiap bercerita dengan Havana. Tapi tiba-tiba aku memberi kabar padanya kalau aku menikah dengan Riga, bukan dengan Nara. Tentu Havana akan bertanya hal ini.“Aku masih ingat waktu itu kamu bilang kamu menolak kalau ibunya Riga datang untuk menjadikanmu menantu. Itu karena kamu masih pacaran dengan Nara. Tapi tak lama setelah itu, kamu mengabari kami kalau kamu menikah dengan Riga. Dan Nara secara ajaibnya jadi sopirmu dan Riga.” Tepat seperti dugaanku.“Aku memang gak masalah kalau hubungan kalian baik-baik saja. Tapi aku mera
Read more

64. Gemuruh

“Lhasa. Nama ibu itu, Lhasa.”Apa?Tanpa tendeng aling-aling, tanpa perlu disuruh, aku berlari keluar gedung perkantoran. Mencari sosok wanita yang selama ini jadi momok menakutkan hanya dari namanya saja.Apa benar itu Lhasa yang itu? Lhasa mantan Nara? Kumohon, semoga bukan.Aku menangkap sosok wanita itu di pintu sebuah mobil sedan merah. Dalam satu langkah ia bisa saja masuk ke dalam mobilnya. Bisa juga berhenti dan menoleh kalau kupanggil. Tapi ... untuk apa kupanggil. Saling kenal saja tidak.Aku hanya menatapnya dari jauh. Memerhatikan jengkal wajahnya dari samping. Benar, itu Lhasa yang itu. Meski tampilannya berubah, tapi aku yakin dialah Lhasa yang muncul di layar ketika reuni kampus Nara tempo hari.Untuk apa dia kemari, ke kantornya Biru? Menemui Biru?Lhasa kembali. Dengan itu saja dadaku bergemuruh seolah ada badai di dalam perutku.Seiring dengan meluncurnya mobil sedan merah keluar dari pelataran kan
Read more

65. Aku Butuh Tanganmu

Lagi. Tengah malam aku terbangun untuk muntah. Daripada morning sickness, aku lebih sering muntah di tengah malam. Rasanya melelahkan, sakit sampai ke kerongkongan. Setelah keluar bukan perasaan lega yang kudapat malah makin mual.Banyak yang bilang tri semester pertama memang bagaikan neraka. Mungkin karena tubuhku beradaptasi dengan kehadiran sesuatu yang asing di perut. Tapi sungguh, perubahan-perubahan ini kadang membuatku frustrasi. Ditambah emosi labil dan sakit di sekujur tubuh.Seluar biasa inikah menjadi seorang ibu?Nara tidak terbangunkan oleh suaraku ke toilet. Ia tidur dengan nyenyaknya. Ia pasti kelelahan sehabis menjalankan motor ke Bandung.Mulutku pahit, cairan asam lambung turut serta saat aku muntah tadi. Aku butuh sesuatu untuk melumasi mulutku. Tapi tidak berani membangunkan Nara. Makanya aku keluar sendiri, menuju dapur dan membuat teh manis hangat untuk diriku sendiri.Denting sendok dengan cangkir membuatku ingat ke
Read more

66. Karena Gumi

Tatapan kami bersinggungan. Dengan mata lemahnya ia menelusur ke dalam bola mataku. Dan begitu juga dengan yang kulakukan padanya.Bukan hanya itu, tanganku di dadanya ia genggam erat-erat hingga debar jantungnya bisa kurasakan berkedut di telapak tanganku.Napas Riga berat. Pasti karena demam yang ia rasa. Tangannya panas. Pasti karena itu juga. Tapi genggaman tangannya makin erat. Aku ragu ia melakukannya karena itu pula.“Ri-Riga?” panggilku pelan. Riga seolah hilang kesadaran dalam keadaan terbangun.Aku tidak tahu kenapa, tapi aku ingin menikmati sebentar momen ini. Melihat Riga yang sakit, merasai tangan Riga yang panas, juga tatapan sayu dimana ada pantulan diriku di matanya.Kenapa aku begitu terlena. Kenapa aku menikmati sesuatu yang kutahu salah ini. Kenapa pria yang panas begitu ... menggiurkan.Riga melepaskan tangannya. Ia mundur sedikit dari posisi pertama kami. Seperti tersadarkan, kami sama-sama berdeham dan kemba
Read more

67. Undangan Kemarahan

“Kita ke ruang USG sekarang!”Aku dituntun oleh perawat. Begitu sampai di ruangan kecil dengan peralatan USG, aku diolesi cairan, dan dokter mulai memeriksa dengan cermat.Aku gemetaran karena takut terjadi sesuatu yang gawat. Kulihat Ketua pun sama cemasnya denganku.“Enggak apa-apa. Plasentanya masih utuh, detak jantungnya juga ada. Bayi anda baik-baik saja,” ucapan dokter membuatku lega.Kulihat Ketua juga menyemburkan napas lega sambil berpegangan pada meja. Ia pasti tegang bukan main. Bukan saja karena aku anggota sanggar yang menjadi tanggung jawabnya, tapi karena Ketua sudah menganggapku adiknya.Aku diperbolehkan bangun dan duduk di kursi menghadap dokter. Ketua menemaniku.“Tri semesta awal ini memang termasuk rentan untuk ibu hamil. Diharap anda bisa ekstra hati-hati karena ia masih lemah dan belum kuat menempel dengan rahim.”Aku mengangguk-angguk mendengar petuah dokter.“Se
Read more

68. Beraninya

“Beraninya kamu membahayakan istri dan anakku,” marah Nara.Gumi memegangi tangan Nara karena cekikan yang keras. Ia meronta-ronta. Meminta Nara melepas cekikan di lehernya sebab Gumi jadi tidak bisa bernapas.“Aku gak akan menahan diri meskipun kamu perempuan. Siapa yang macam-macam dengan Viana, harus berurusan denganku.”Aku mendekat. Walaupun aku sama marahnya dengan Nara, tapi nalarku masih jalan. Cekikan Nara bisa saja membunuh Gumi. Amarah Nara, sorot matanya, itu harus dihentikan sebelum terlambat.“NARA!” aku berteriak sekaligus memisahkan Nara dengan Gumi.Cengkeraman tangan Nara dilepas. Sekarang aku berada di hadapannya. Memintanya mundur sambil mengelus dadanya agar sedikit menurunkan tensi.“Pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi,” ancam Nara pada Gumi yang terbatuk-batuk setelah lepas dari cengkeraman tangan Nara.“PERGI!”Gumi gemetar ketakutan.
Read more

69. Emosi

“Hei Viana, anakmu ... boleh kucatutkan nama Abimahya di belakangnya, kan?” kata Riga.Aku terdiam memandangi Riga. Dan kuyakin Nara pun melakukan hal yang sama di posisinya.“Bagaimanapun bagi Bunda dan yang lainnya, anak itu adalah anakku. Dia bagian dari keluarga Abimahya.”Benar, bisa-bisanya aku tidak memikirkan sudut pandang dari keluarga Abimahya. Aku terlalu senang punya anak dari Nara, sampai lupa kalau bagi mereka, anak yang kukandung adalah anaknya Riga.“Jangan tanya aku. Tanya Nara saja,” operku karena tidak bisa menjawab pertanyaan kompleks itu.“Boleh kan, Nara?” Riga berharap.Nara tidak lantas menjawab. Ia kembali melanjutkan mengupas mangga setelah tadi sempat terjeda karena kaget dengan ucapan Riga.“Hanya nama saja, kan. Aku gak masalah.” Nara mengucapkannya tanpa menoleh sama sekali pada Riga.“Dan ... bolehkah aku dipanggil Papa?” lanj
Read more

70. Ratapan

“Hari ini aku mau jalan-jalan. Aku bosan di rumah.”“Oke, aku mandi dulu. Kuantarkan kemana pun kamu mau,” balas Nara.“Aku gak bilang aku mau pergi denganmu. Aku mau pergi dengan Riga.”Nara diam. Wajahnya terlalu datar untuk bisa kukomentari. Hanya bola matanya yang bergerak-gerak ke arahku. Juga angin yang tiba-tiba berembus dan menyibak rambutku hingga harus kugunakan tangan untuk membuatnya berhenti.“Oh!” Nara melewati bahuku. Jalan menjauh dan meninggalkanku yang tiba-tiba merasakan berat di dada.Aku tidak menoleh ke arah Nara karena kuyakin dia pun tak akan melakukan hal yang sama.Kata ‘oh’ barusan bukti kalau ia marah padaku. Memangnya hanya dia saja yang marah. Aku juga marah. Marah pada jawaban Nara tentang Lhasa.Apanya yang ingin menanyai kabar Lhasa bahagia atau tidak. Memangnya kalau Lhasa tidak bahagia, dia mau kembali lagi padanya?Nara bodoh.
Read more
PREV
1
...
56789
...
20
DMCA.com Protection Status