“Kita ke ruang USG sekarang!”
Aku dituntun oleh perawat. Begitu sampai di ruangan kecil dengan peralatan USG, aku diolesi cairan, dan dokter mulai memeriksa dengan cermat.
Aku gemetaran karena takut terjadi sesuatu yang gawat. Kulihat Ketua pun sama cemasnya denganku.
“Enggak apa-apa. Plasentanya masih utuh, detak jantungnya juga ada. Bayi anda baik-baik saja,” ucapan dokter membuatku lega.
Kulihat Ketua juga menyemburkan napas lega sambil berpegangan pada meja. Ia pasti tegang bukan main. Bukan saja karena aku anggota sanggar yang menjadi tanggung jawabnya, tapi karena Ketua sudah menganggapku adiknya.
Aku diperbolehkan bangun dan duduk di kursi menghadap dokter. Ketua menemaniku.
“Tri semesta awal ini memang termasuk rentan untuk ibu hamil. Diharap anda bisa ekstra hati-hati karena ia masih lemah dan belum kuat menempel dengan rahim.”
Aku mengangguk-angguk mendengar petuah dokter.
“Se
“Beraninya kamu membahayakan istri dan anakku,” marah Nara.Gumi memegangi tangan Nara karena cekikan yang keras. Ia meronta-ronta. Meminta Nara melepas cekikan di lehernya sebab Gumi jadi tidak bisa bernapas.“Aku gak akan menahan diri meskipun kamu perempuan. Siapa yang macam-macam dengan Viana, harus berurusan denganku.”Aku mendekat. Walaupun aku sama marahnya dengan Nara, tapi nalarku masih jalan. Cekikan Nara bisa saja membunuh Gumi. Amarah Nara, sorot matanya, itu harus dihentikan sebelum terlambat.“NARA!” aku berteriak sekaligus memisahkan Nara dengan Gumi.Cengkeraman tangan Nara dilepas. Sekarang aku berada di hadapannya. Memintanya mundur sambil mengelus dadanya agar sedikit menurunkan tensi.“Pergi! Jangan pernah muncul di hadapanku lagi,” ancam Nara pada Gumi yang terbatuk-batuk setelah lepas dari cengkeraman tangan Nara.“PERGI!”Gumi gemetar ketakutan.
“Hei Viana, anakmu ... boleh kucatutkan nama Abimahya di belakangnya, kan?” kata Riga.Aku terdiam memandangi Riga. Dan kuyakin Nara pun melakukan hal yang sama di posisinya.“Bagaimanapun bagi Bunda dan yang lainnya, anak itu adalah anakku. Dia bagian dari keluarga Abimahya.”Benar, bisa-bisanya aku tidak memikirkan sudut pandang dari keluarga Abimahya. Aku terlalu senang punya anak dari Nara, sampai lupa kalau bagi mereka, anak yang kukandung adalah anaknya Riga.“Jangan tanya aku. Tanya Nara saja,” operku karena tidak bisa menjawab pertanyaan kompleks itu.“Boleh kan, Nara?” Riga berharap.Nara tidak lantas menjawab. Ia kembali melanjutkan mengupas mangga setelah tadi sempat terjeda karena kaget dengan ucapan Riga.“Hanya nama saja, kan. Aku gak masalah.” Nara mengucapkannya tanpa menoleh sama sekali pada Riga.“Dan ... bolehkah aku dipanggil Papa?” lanj
“Hari ini aku mau jalan-jalan. Aku bosan di rumah.”“Oke, aku mandi dulu. Kuantarkan kemana pun kamu mau,” balas Nara.“Aku gak bilang aku mau pergi denganmu. Aku mau pergi dengan Riga.”Nara diam. Wajahnya terlalu datar untuk bisa kukomentari. Hanya bola matanya yang bergerak-gerak ke arahku. Juga angin yang tiba-tiba berembus dan menyibak rambutku hingga harus kugunakan tangan untuk membuatnya berhenti.“Oh!” Nara melewati bahuku. Jalan menjauh dan meninggalkanku yang tiba-tiba merasakan berat di dada.Aku tidak menoleh ke arah Nara karena kuyakin dia pun tak akan melakukan hal yang sama.Kata ‘oh’ barusan bukti kalau ia marah padaku. Memangnya hanya dia saja yang marah. Aku juga marah. Marah pada jawaban Nara tentang Lhasa.Apanya yang ingin menanyai kabar Lhasa bahagia atau tidak. Memangnya kalau Lhasa tidak bahagia, dia mau kembali lagi padanya?Nara bodoh.
“Kalau Nara benar-benar masih menyukai Lhasa, apa kamu akan menyerah?”Tunggu. Aku mencium sesuatu yang salah di sini. Aku seperti masuk dalam sebuah perangkap yang disiapkan Riga. Aku menyadarinya karena tatapan Riga sedikit memaksa. Meski pandangan lurus ke jalanan. Tapi tujuan kalimatnya seolah menggiringku ke jurang yang bernama ketidakpercayaan.“Riga ... kamu sengaja melakukan ini, ya. Kamu tahu aku di sana saat kalian membicarakan Lhasa. Kamu ingin membuatku marah pada Nara karena dia masih memikirkan Lhasa. Iya, kan?” terkaku.“Hmp, untuk apa aku melakukannya?”“Justru aku yang mau tanya. Untuk apa kamu melakukannya?”Aku lupa kalau dia si pemilik strategi yang ulung. Dia perencana yang bisa menebak jalan cerita di depan kami. Bukan mustahil dia juga bisa menebak jawaban Nara, juga reaksiku pada Nara di lapangan tadi.“Ternyata Biru benar, kamu lebih menyeramkan karena pu
Saat kami kembali, Riga tidak ada di kamarnya atau di sudut mana pun di rumah ini. Mbok Minah bilang, Riga ke paviliun. Mungkin berniat tidur di sana. Menghindari kami, atau lebih tepatnya menghindariku.Untungnya Nara tidak bertanya alasan kami bertengkar. Aku tak sanggup memberitahunya kalau Riga punya sedikit perasaan padaku. Aku juga masih belum terlalu percaya. Riga yang itu? Mana mungkin.Aku membetoni diri kalau dia lagi-lagi sedang mengerjaiku. Atau kalaupun itu benar, akan kupastikan ia menghilangkan perasaan itu secepat ia datang.Pagi menjelang dan mata sembabku jadi luar biasa payahnya. Ditambah mual dan muntah menyerang serta sakit kepala ikut-ikutan menyiksa pagiku.Nara dengan sabar bantu mengelus pundakku, memijat kepalaku, juga membuatkan teh manis dan obat penghilang mual.Hari ini aku tidak ke sanggar. Aku memilih menuruti Ketua untuk beristirahat saja di rumah. Dua hari sepertinya tak apa. Melihat repotnya hamil muda ini, aku ja
Entah berita baik atau buruk, Gumi memutuskan keluar dari sanggar. Ia mengkonfirmasi hal itu pada Ketua yang menghubunginya via telepon. Aku bisa mengerti alasannya, campuran antara marah, malu, dan takut padaku.Sejenak aku merasa lega karena perihal perkataan Nara yang mengaku pada Gumi bisa disembunyikan sekali lagi. Berkali-kali aku melakukan kesalahan, dan berkali-kali pula aku ditolong. Entah sampai kapan pertolongan ini akan terus bertahan.Mengenai pengganti peran Kama yang dimainkan Gumi, Ketua melakukan audisi lagi saat kemarin aku tak masuk karena izin. Rupanya Havana yang terpilih.Yeay~ aku lebih bisa membangun chemistry dengan Havana dibanding yang lain.Adegan menjambak pun tak masalah dimunculkan kembali. Havana tahu bagaimana berakting menjambak yang baik, tidak kasar dan mengkhawatirkan seperti Gumi. Oke, catat satu lagi hal baik di hari ini.“Huhu, sayangnya aku masih jadi seksi kostum dan propert
“Suaminya ... adalah kakakku.”Suara Nara pelan terkesan berbisik. Tapi tetap saja bisa kudengar ketika kalimat itu lolos dari mulutnya.“Apa?”Responku lambat. Pertama, karena tidak percaya. Kedua, karena alasan Nara terlalu mengada-ada. Dibuat-buat.“Aku gak tahu Nara punya kakak,” ucapku sangsi.Itu membuat Nara jadi terdiam. Hanya matanya yang nanar, berkedip-kedip sekaligus menampakkan kesedihan di tiap detik sorot mata lemahnya.“Ya, karena aku memang gak mau menceritakannya padamu.”“Kenapa begitu, apa kamu menganggapku orang asing?”“Karena gak ada satu pun darinya hal baik untuk kuceritakan padamu.”Aku sangat yakin, Nara sedang berusaha menahan tangis. Meski mulutnya mengatakan penolakan, tapi sorot matanya tidak. Hubungan mereka pasti lebih dalam dari itu.Jadi ... mereka adik kakak yang menyukai orang yang sama?“Orang
Karena yang bercerita adalah Riga, maka akan kuceritakan dengan sudut pandang Riga. bagaimana dia berucap, bagaimana dia berpikir, aku akan menirunya. Sebuah kisah ketika ia kelas 3 SMA. Awal yang membuat Riga berubah 180 derajat. Atau pertemuan pertama Riga dan Nara.Riga menarik napas dalam-dalam, siap menceritakan masa lalu suram yang ia tata dengan baik hingga tersembunyi menjadi rahasia.Dengarkan baik-baik. Ini kisahnya .....Sudah jadi rahasia umum di kalangan anak SMA tempat Riga menimba ilmu. Riga seperti ATM berjalan. Dompetnya selalu penuh lembaran kertas merah bergambar presiden pertama RI juga wakilnya. Barang-barang branded, kebanyakan limited edition.Maklum, seratus persen ia didandani Bunda yang notabene glamour dan tahu mode. Baginya penampilan selalu yang utama.Riga tidak peduli visi misi Bunda atas apa yang melekat di tubuhnya. Bagi Riga, semua itu sebagai faktor utama yang membuatnya terjerat dalam lin
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku