Riga menangkap tanganku yang berada di bahunya. Ia menarikku sampai bahu kami bertubrukan. Sampai wajahnya hanya beberapa inchi dari wajahku.
“Kira-kira Nara marah gak ya, kalau aku cium kamu sekali saja.”
Cukup, Riga sudah berlebihan. Aku tahu dia sedang bercanda karena setelahnya mulut Riga menggembung dan menyemburkan tawa membahana.
Kuhajar kepalanya dengan bogeman mentah. Bertubi-tubi sampai Riga membenamkan kepalanya di antara bantal yang kulemparkan padanya tadi.
Dia pikir lucu mengatakan omong kosong itu. Konyol.
Lihat dia, dia tertawa-tawa seolah puas sudah membuat pipiku bersemu merah.
“Ampun, ampun!” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku.
Aku kadung emosi. Kuputuskan aku saja yang pergi. Begadang saja sekalian daripada harus meladeni si kunyuk ini.
“Viana ... hei. Kamu mau kemana?” teriaknya masih dengan tawa yang tak juga berhenti.
Masa bodoh.
Aku melengos pergi dari kamar. Mengumpa
Kelopak mataku terbuka perlahan. Kehangatan itu masih bisa kurasakan menjalari tubuhku. Butuh sepersekian detik untukku menyadari dimana aku terbangun.Di pelukan Riga. Gawat.Aku terhuyung, menjauhi tubuhnya. Berdebar hebat saat wajah pulas Riga mendominasi pemandanganku.Mana guling yang jadi pemisah kami, dan ... eh, kenapa aku ada di sini. Seingatku, aku ketiduran di sofa. Siapa yang memindahkanku kemari? Apa Riga yang melakukannya?Tak lama, pria yang sedang kutatapi itu menggesek-gesekkan pipinya ke bantal. Ia mendengung.Sebelum kelopak matanya mulai terbuka atau ia terbangun, aku sudah turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi setelah membawa handuk dan baju salin.Riga sepertinya sudah terjaga. Ia melihatku yang bergerak aktif sekitar kamar mandi.“Sedang apa, Viana?” tanya Riga serak.“Mandi. Aku mau pulang.” Kukatakan tanpa menoleh padanya. Pintu pun tertutup keras menggetarkan tembok sekitarn
Aku melingkarkan tanganku di perut Nara yang rata. Menyandarkan kepalaku di punggungnya. Hangat Nara selalu sama. Menguar kemana-mana sampai membujukku untuk tertidur di belakang punggungnya.Motor menderu di atas jalan beraspal seperti lecutan peluru. Kami meliuk-liuk melewati mobil juga kemacetan ibukota. Makin ke sini padatnya kendaraan makin berkurang. Berganti medan dengan jalan berkelok-kelok atau permukaan yang tak rata.Nara membawaku ke suatu tempat di kaki bukit. Pemandangan asri nampak terlihat, tapi motor tak juga berhenti. Masih saja menanjak melewati gunung dengan panorama indah di kanan kiri.Sambil melaju kunikmati perjalanan di boncengan Nara. Mengagumi apa yang kutangkap di sana. Pohon palem yang tinggi, ilalang yang rimbun, gemerisik dedaunan di jalanan, rumah warga dengan kearifan lokal, serta sawah terasering yang diairi sungai jernih.Melihatnya seperti menyegarkan otak. Seolah kembali ke alam setelah belakangan terkontaminasi hirup
Kami menginap di sebuah cottage. Kamar yang nyaman dengan view danau. Kamar satu dan yang lain berdiri seolah melayang di atas air.Teratai jadi dominan permukaan danau. Malam saat kami datang, teratai masih kuncup seolah tertidur. Nara bilang, pagi-pagi teratai akan mekar lengkap dengan embun pagi menyejukkan.Aku dan Nara menghabiskan malam hangat dengan cahaya temaram. Sudah sepatutnya honeymoon kebanyakan, kami melakukan ‘itu’ lebih dari sekali. Lebih intim daripada saat di rumah, lebih liar daripada hari-hari sebelumnya.Pelukan Riga yang sempat buatku kalang kabut, terganti sudah oleh sentuhan Nara yang luar biasa. Berkali-kali ia melontarkan kata cinta. Membisikkan namaku dengan merdu. Malam ini jadi milik kami berdua. Tanpa gangguan, tanpa interupsi.Ini honeymoon terhebat kami. Lelah, peluh, basah dan lengket. Namun nyaman dan menenangkan.Aku tertidur di pelukan Nara. Tanpa sehelai benang pun. Hanya selimut yang melindungi dar
“Teman teater, atau ... Nara?”Dasar, kenapa tidak bilang kalau dia sudah lihat Nara sebelumnya. Aku jadi tidak perlu berbohong begini.Aku sadar, cara kerja berbohong itu sekalinya memulai maka akan muncul kebohongan lainnya. Sialnya, aku sedang melakukan itu sekarang. Viana si pembohong ulung.“Wah, dimana Nara? Apa dia kebetulan di sini juga? Aku gak melihatnya tadi. Dunia ini sempit, ya.”Aku benci melakukan pura-pura ini. Sungguh. Biru pun nampaknya bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Bibirnya terkembang senyum. Namun kuyakin di benaknya ia tahu, aku sedang berakting.“Hmm, dunia ini sempit.” Aku terintimidasi saat Biru mengulang kata-kataku. “Kamu yakin, gak datang bersama Nara?”Siapa pun tolong aku.Aku belajar sesuatu setelah dulu menemuinya di kantor Biru, kalau pria ini pintar membalikkan argumen. Dan Biru sama sekali bukan orang yang bisa ditembus dengan mudah.
“Kalian berhutang penjelasan padaku.”Biru memulai eksekusi. Raut wajahnya tak lagi ramah. Biru bertransformasi jadi hakim yang mendengarkan saksi ahli.“Sejauh apa yang kamu tahu?” Riga mengimbangi.Sedangkan aku menundukkan wajah sambil memilin-milin ujung baju. Aku pasrah kalau harus berakhir dengan cara seperti ini.“Viana bukan punya hubungan denganmu, tapi dengan Nara.”Oke, Biru dapat poin pentingnya.“Sebenarnya aku sudah curiga sejak Viana datang ke kantorku dan malah menanyakan masalah Nara, daripada kamu suaminya. Ditambah sikap khawatirnya di acara reuni. Juga perlakuan canggung kalian di vila Eyang. Ralat aku kalah aku salah. Sebenarnya suami Viana itu Nara, bukan kamu. Iya, kan?”Deduksi yang pintar dan nyaris membuatku ingin bertepuk tangan untuknya. Apa seluruh keluarga Abimahya sepintar Riga dan Biru. Atau otakku saja yang terlalu lemah mengikuti cara berpikir mereka.
Eranganku di atas kasur mendominasi. Meski teriakku kesakitan, Nara tidak juga mau berhenti. Ia menguasai medan. Berkuasa di atas tubuhku. Menjajah setiap inchi demi inchi. Perih dan nikmat menyatu jadi satu.Kulampiaskan dengan menjambak rambut belakang Nara, sesekali menggigit lehernya, jakunnya, atau membuang napas di belakang telinganya. Nara memainkan ritme makin kencang sampai kami berdua akan tiba di gerbang pelepasan.Lebih cepat. Dan makin cepat. Sampai Nara juga ikut berteriak. Akhirnya ... puncak kenikmatan itu kami rayakan dengan beradu bibir. Saling membisikkan nama sebelum membersihkan diri dengan tisu basah yang disiapkan di atas nakas.Seperti malam yang sudah-sudah, sambil menjaga kualitas keharmonisan, kami melakukan pillowtalk. Apa saja kami bicarakan. Kejadian tadi siang, gundah yang masing-masing kami rasa, atau keinginan di masa depan. Apa saja.Para ahli bilang, pasangan menikah perlu melakukan ini. Tidak susah, hanya perlu
“Kalau aku benar-benar suka Nara, lalu kamu mau apa?” desisnya seperti menusuk indera pendengarku.Riga tidak mengedipkan mata. Kebalikan denganku yang dari tadi berkedip-kedip tak terhitung karena wajahnya dekat sekali denganku.“Kita bersaing. Aku gak akan mengalah padamu,” komentarku sambil mengertakkan gigi.“Oh, kamu suka bersaing rupanya.”Bisakah dia hentikan menekan tubuhku ke belakang. Aku mulai tidak nyaman.“Mundur, Riga! Bagaimana kalau Nara bangun dan melihat kita sedang begini. Apa katanya nanti?”“Aku tinggal bilang, aku sedang mengerjaimu.”“HEH!”“Kamu suka aku kerjai, kan? Diam-diam kamu menikmati setiap aku mengganggumu. Atau malah setiap aku menyentuhmu.”“Jangan gila!”“Kamu mau tahu, apa aku menikmati sentuhan denganmu?” Riga membuat suaranya bagaikan desahan di telingaku. “Enggak
‘Walau sandiwara hanya pura-pura,tapi sandiwara bukan hura-hura.Dalam sandiwara banyak perkara,Ada bewara asmara, ada prahara.Bewara tentara perwira, suara rakyat sengsaraAda kisah duka lara, ada cerita gembiraYang direka sutradara.’.Theme song sanggar dilantunkan apik. Lagu itu sudah lama Ketua ciptakan, tapi belum juga kesampaian untuk ditampilkan. Kali ini saja Ketua ingin membawakannya dalam naskah Sekedar Imaji yang kami garap. Siapa sangka theme song lebih menjiwa sebagai pembuka acara. Kuharap naskah ini sukses besar.Hari-hariku kembali ke semula. Kegiatanku di sanggar mulai kentara sibuknya. Naskah Sekedar Imaji mulai mantap dimainkan oleh kami.Aku pun makin mendalami peran Tirani. Karena sedikitnya sifat Tirani sama sepertiku, kecuali konflik kehidupan kami. Amit-amit. Mana mau aku disamakan seperti Tira
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku