“Maafkan aku yang dulu. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyalahkanmu, padahal Galanta-lah yang salah.” “Enggak apa, kita pernah bodoh karena percaya kata manisnya. Dan syukurlah pasanganmu sepertinya peduli padamu.” “Iya!” Paris tersenyum. Kuanggap sebagai senyum kemenangan. Kami bisa saja berbincang lebih lama, tapi berhubung antrian di bawah podium semakin mengular. Kuputuskan pergi menyusul Milan dan Havana yang sudah turun dari tadi. “Lain kali, aku boleh berbincang denganmu, kan?” Paris menitipkan pesan di sela kepergianku. “Tentu!” balasku seraya mengambil langkah kaki, pergi menuju Milan dan Havana. Pesta berlangsung meriah. Hiasannya, gedung, makanan, juga melodi mengalun di tengah standing party. Semua amat elegan. Sebelas dua belas dengan pestaku dan Riga dulu. Milan dan Havana berburu makanan. Mengantri di stand-stand pencuci mulut. Aku cukup kenyang setelah dua potong cordon bleu. Tidak ikut berburu dengan Milan dan Havana. Aku berdiri di tempat yang bisa me
Read more