Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 21 - Chapter 30

195 Chapters

21. Korban

“Maafkan aku yang dulu. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyalahkanmu, padahal Galanta-lah yang salah.” “Enggak apa, kita pernah bodoh karena percaya kata manisnya. Dan syukurlah pasanganmu sepertinya peduli padamu.” “Iya!” Paris tersenyum. Kuanggap sebagai senyum kemenangan. Kami bisa saja berbincang lebih lama, tapi berhubung antrian di bawah podium semakin mengular. Kuputuskan pergi menyusul Milan dan Havana yang sudah turun dari tadi. “Lain kali, aku boleh berbincang denganmu, kan?” Paris menitipkan pesan di sela kepergianku. “Tentu!” balasku seraya mengambil langkah kaki, pergi menuju Milan dan Havana. Pesta berlangsung meriah. Hiasannya, gedung, makanan, juga melodi mengalun di tengah standing party. Semua amat elegan. Sebelas dua belas dengan pestaku dan Riga dulu. Milan dan Havana berburu makanan. Mengantri di stand-stand pencuci mulut. Aku cukup kenyang setelah dua potong cordon bleu. Tidak ikut berburu dengan Milan dan Havana. Aku berdiri di tempat yang bisa me
Read more

22. Mudah Menangis

Aku menunduk. Takut. Riga yang seperti terlihat lain. Mengintimidasi. Tanpa bisa kukontrol, air mataku menitik di pipi. Aku menyekanya takut Riga lihat. Terlambat. Dia sudah melihatnya. Dan sekarang ia menatapku dengan tatapan ambigu. Riga cepat sekali mengontrol emosi. Dalam sekejap, ia kembali jadi Riga yang kukenal. “Jangan nangis,” katanya pelan. Mauku juga tidak menangis seperti katanya. Tapi air mataku tidak mau berkompromi. Meleleh begitu saja setelah disentak seperti tadi. Aku sedang sensitif. “Viana ... jangan nangis.” Riga memintanya sekali lagi. Kali ini ia mencari daguku, mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu. Baru kutahu iris mata Riga berwarna cokelat muda. Terasa amat memikat nan dalam. Kedalamannya tidak bisa kujangkau. Terlalu memesona. “Aku paling bingung kalau wanita menangis. Sudah ya, maafkan aku. Aku terlalu keras, padamu.” Riga bantu menyeka air mataku yang merusak perona pipi. Melakukannya pelan s
Read more

23. X

Pagi itu, aku terbangun berkat kecup basah Nara di belakang telingaku. Ia membisikkan sesuatu, samar dan erotis. Nara menginginkanku atau sesuatu semacam itu. Aku membalikkan wajah padanya. Nara sambut dengan ciuman bertubi-tubi di wajahku. Kunikmati romantisme pagi ini juga kecupan Nara yang kunamai morning kiss. “Memangnya Nara gak kerja?” kataku saat bibir Nara menelusur ke leher. Nara membetulkan posisiku hingga kami berhadapan. Nara di atas tubuhku yang belum terkumpul nyawa seratus persen. “Riga gak akan kemana-mana, jadi aku libur.” Nara melanjutkan aksinya setelah memberi penjelasan singkat. Nara sangat ahli dalam urusan memberi sentuhan. Setiap jemarinya menelusur di kulitku yang terbuka, setiap itu pula aku melenguh. Menikmati. Beberapa hari ini kami memang jarang melakukannya di pagi hari karena Nara sibuk. Dan hari ini kuizinkan Nara bermain-main dengan bagian atas tubuhku. Aku melenguh. Bergelinjan
Read more

24. Kamu

“Oh ya, Viana. Bunda penasaran.” Aku menolehnya. “Penasaran apa?” “Foto honeyemoon kalian di Cancun.” Ludahku tertelan dramatis. Tiba-tiba jadi bisu. Kenapa Riga tidak memprediksi tentang ini. tanpa sadar tanganku menepuk lengan Riga yang mulai masuk ke alam mimpinya. Ia tersadar dan bergumam. Aku mengulang pertanyaan Bunda tadi untuk ia pikirkan alasannya. Aku tidak ada ide. Blank. “Enggak ada foto, Bunda.” “Loh, kenapa? Pemandangan Cancun indah, kan. Masa kalian gak mengabadikan momen di sana.” “Justru karena terlalu indah, kami mengabadikannya di otak.” Riga mengatakannya dengan mata tertutup. “Sayang sekali. Kamu gak bisa pamer sama temanmu sudah honeymoon ke tempat hebat.” “Untuk apa pamer bisa pergi ke Cancun. Semua temanku bisa pergi ke sana.” Riga memiringkan badannya dari sofa, hingga kepala kami cukup dekat dan saling memandang. “Lebih baik pamer punya istri yang cantik seperti Viana. Mereka pa
Read more

25. Zona

“Hmm ... itu sih ...” Riga seperti mencari keberadaanku. Ia mendapatiku di dekat kursi sofa. Menaikkan sebelah alisnya, bertanya secara kilat padaku. Aku mengendikkan bahu. Gila saja. Kak Elva menginap berarti aku mesti sekamar dengan Riga untuk pura-pura. Aku tidak mau. Kumohon tolak itu, Riga. “Ya sudah, Kakak menginap saja.” Aarrrggg!!! Riga sengaja, ya. Tidak cukupkah dia mengerjaiku seharian ini? Dia juga mau membuatku tidak tidur karena terus dikerjai. Lalu bagaimana dengan Nara. Dia berpikir sampai sana tidak, sih? “Kakak tidur di kamar bareng Viana. Biar aku di kamar sebelahnya,” tutur Riga. Dadaku mencelos. Oh, iya ya. Ada opsi begitu juga. Aku tidak mesti sekamar dengan Riga. Bodohnya aku tidak berpikir ke sana. Kak Elva memerhatikanku yang berdiri kaku. Pipinya masih basah oleh air mata. Itu bukan air mata buatan. Nampaknya kehidupan rumah tangga Kak Elva sesuram kedengarannya. “Boleh, Viana?”
Read more

26. Hei, Abimahya Bersaudara

Aku lari terburu-buru, tidak melihat jauh. Tahu-tahu menabrak dada seseorang dan terpental beberapa senti. Orang itu adalah Riga yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku oleng sedikit, tapi ditangkap Riga dengan sigap. Aku bisa berdiri tegak berkat satu tangannya menangkap pinggulku. “Rusuh sekali. Pagi-pagi sudah berlarian,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku. Mungkin ia takut kena pukul seperti kemarin. Aku berdehem karena sempat terlena dengan pemandangan wajahnya. Riga sudah mandi. Rambutnya basah. Butiran air berada di ujung rambutnya. Lalu menetes ketika ia acak-acak pelan. “Nara sudah bangun?” tanya Riga, sadar aku baru saja berasal dari kamarnya. Aku mengangguk cepat. Bersamaan itu, Kak Elva juga keluar dari kamar. Ia melihat ke arah kami berdua. Untungnya pria di depanku Riga, bukan Nara. Harus sembunyi bagaimana lagi nanti. “Pagi!” serunya riang. Sepertinya Kak Elva punya kebiasaan menyapa semua orang di pagi
Read more

27. Antara Cinta dan Pilihan

“Sudah kuduga. Bunda sangat menyukaimu.” Aku diam sebentar. Kurang paham hubungan antara pertanyaan dan jawaban barusan. “Bunda itu tipikal orang yang susah dekat dengan orang baru, kecuali ia sangat menyukainya. Bunda bahkan gak memberiku bingkai bagus ini untuk foto pernikahanku dengan Mas Zam. Soalnya dari awal Bunda gak suka Mas Zam.” Sedikitnya aku tidak kaget dengan kesimpulan putri sulung Bunda ini. Sudah kelihatan di awal, sih. Tapi aku baru tahu kalau Bunda tidak suka pada Mas Zam, suaminya Kak Elva. “Dulu, aku dipilihkan Bunda seorang lelaki tampan, baik, juga mapan sebagai calon suami. Aku menolaknya karena yang kusuka waktu itu Mas Zam. Dan bilang pada Bunda kalau aku akan menikah dengan Mas Zam.” Kak Elva leluasa menceritakan kisahnya denganku. Aku membetulkan posisi dudukku. Siap mendengarkan kisah yang kuyakin akan sangat panjang. “Bunda sempat marah, gak menyetujui hubungan kami. Bahkan mengancam gak merestui pernikahan
Read more

28. Interaksi

Aku diperbolehkan lagi ke sanggar. Sudah cukup kondusif di sana. Berita Galanta pun sudah bergeser dari headline news. Kalah oleh gosip-gosip murahan milik artis papan atas. Nama Galanta hilang. Seperti kabarnya yang entah sekarang mendekam di penjara, atau dibebas-bersyaratkan. Masa bodoh. Aku diantar Nara sampai ke depan sanggar. Kami berpisah setelah kudatangi Ketua yang menungguku di halaman. Di sini, Ketua satu-satunya orang yang tahu kejadian sebenarnya. Ketua menutup mulutnya rapat-rapat. Mungkin itulah pembelaan terakhirnya untuk Galanta. Juga demi melindungi harga diriku. Anggota yang lain hanya spekulasi palsu atau menebak-nebak. Bahkan Milan dan Havana pun hanya tahu kalau Galanta menyerangku, titik. Mereka tidak tahu kisah di balik ini. Kisah lama tentang aib. Ketua menepuk bahuku yang menghela napas panjang ketika akan mulai memasuki sanggar lagi. Ketua masuk duluan, memberi tepuk tangan keras agar anggota lain memerhatikannya. “A
Read more

29. Kawan Lama

Pagi-pagi. Nara duluan yang mandi. Suara kecipak air kedengaran sampai ke kasur tempatku bermalas-malasan. Aku masih kepikiran Nara yang aneh kemarin. Aku penasaran. Sampai tidak bisa tidur karenanya. Kuputuskan cari tahu sendiri dari handphone Nara. Kemarin Biru bilang tentang pesan, biar aku yang menyimpulkan sendiri kalau Nara tidak juga mau menjelaskan. Handphone Nara tergeletak begitu saja di atas nakas. Kuraih handphone. Menekan tombol nyala. Password handphone Nara tidak pernah berubah sejak pertama aku mengenalnya. 1105. Sebelas Mei. Hari jadian kami. Layar dengan gambar latte art muncul. Mendadak aku bingung harus memulainya dari mana. Pesan masuk? Ada sekitar 20 pesan, salah satunya dari Biru. Dia cuma bertanya, ‘sudah lihat grup chat?’ Pesan Biru seperti menggiringku ke grup chat. Wow, pesan yang tidak terbaca ada sampai 3000 bubble chat. Memangnya Nara tidak pernah membukanya sama sekali?
Read more

30. Aku Kakaknya

Latihan hari ini selesai lebih cepat. Satu per satu kami menghambur ke luar gedung. Di kanan kiriku ada Milan dan Havana yang mengajakku ke toko kue di persimpangan. Langkahku terhenti melihat seseorang yang menungguku di atas motornya. Orang yang kukenal. Kak Kazan. “Kakak?” laki-laki yang merupakan keluargaku satu-satunya itu menoleh. Ia turun dari motornya. Menghampiriku bersama Milan dan Havana. Kak Kazan mengangguk sekali pada dua temanku itu. Memberi salam dengan sopan. Aku melewati sesi basa-basi. Langsung menyembur Kak Kazan dengan rasa ingin tahuku. “Kenapa Kakak di sini,” “Kakak cuma khawatir dengan keadaanmu setelah melihat berita di TV. Maaf Kakak baru bisa menemuimu sekarang. Kamu gak apa-apa, kan?” Sadar pertemuan kami sifatnya serius, Milan dan Havana undur diri dan berbisik akan mengajakku lain kali. Aku melambaikan tangan pada keduanya sebelum memberi penjelasan pada Kak Kazan. “Aku gak apa-apa, Kak. Ak
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status