Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 11 - Chapter 20

195 Chapters

11. Curiga

Meski sudah tiga bulan pernikahan pura-puraku dengan Riga. Belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke kantornya. Kalau bukan karena Bunda yang mengajak, mungkin aku tidak akan pernah datang. Bunda bermaksud pamer pada anak bungsunya. Bahwa menantunya ini telah ia ubah, di make over. Rambut lurusku dipotong sampai se-dada dan sudah berubah warnanya jadi coklat. Ada poni setinggi alis yang kadang menggelitik keningku. Aku didandani. Memakai gincu merah muda dan perona pipi. Setelanku turut diganti. Rok sepan selutut dengan kemeja santai berbahan chiffon. Bunda juga memberikan tas selempang yang langsung tercangklong di bahuku. Sebenarnya untuk apa aku berdandan begini. Bunda tidak juga mau memberitahuku. Kami sudah berada di lobi kantor dengan tujuh lantai itu. Sekretarisnya memberitahu kalau Pak Riga sedang rapat dengan para manager. Jadilah sambil menunggu, kami diantarkan ke ruangan Riga. Ruangan Riga ada di lantai kelima. Ruan
Read more

12. Menjengkelkan

“Aku pulang dengan Bunda saja, deh. Mumpung Bunda belum jauh.” Aku membalikkan badan berniat pergi. Namun Riga dengan cepat menghampiriku. Menarik tanganku sampai badanku bertubrukan dengan dadanya. “Jangan—“ cegahnya dengan wajah berada beberapa senti saja dariku. Aku membeku, seperti habis tersiram air dingin. “Nanti Bunda makin cerewet. Kamu pulang bareng Nara saja, ya,” kata Riga sembari mundur selangkah karena sadar kami terlalu dekat. Mendengar nama Nara, bibirku auto tersenyum. Aku mengangguk tanda setuju. Riga melakukan sesuatu lagi dengan interkomnya. Kali ini memanggil Nara. “Nara, tolong ke ruanganku dulu, ya!” Aku berharap Nara menjawab. Aku penasaran suara Nara di interkom bagaimana bunyinya. Tapi tidak, setelah bunyi BIP! Tak ada sahutan lagi. Riga seperti tahu, Nara tidak akan menjawab. Ia kembali ke berkas-berkasnya. Tidak sampai semenit, Nara datang. Aku berjingkrak kegirangan saat Nara masuk da
Read more

13. Naif

 “Pulangnya kapan?” Kedua tanganku melingkar di perut Nara. “Lusa. Riga sudah menyewa hotel untuk kami.” Tahu akan ditinggalkan dua hari olehnya, aku cemberut. Nara peka. Ia ciumi bibirku. Terus dan terus sampai cemberutku hilang. “Kamu mau ngapain saat aku pergi?” “Ke sanggar, mungkin. Ada wawancara untuk anggota baru. Aku ditunjuk Ketua jadi jurinya.” Mungkin cuma perasaanku. Tapi setiap aku membicarakan sanggar, Nara nampak tidak tertarik. Ia pun mengganti pertanyaannya. “Hmm, di rumah sendirian gak apa-apa?” “Enggak apa. Kan, ada Mbok Minah.” “Oke, kalau ke sanggar jangan pulang malam-malam, ya. Aku gak bisa menjemputmu kali ini.” “Oke, Nara.” Aku mengangguk-angguk. Kami berdua tahu, dua hari tidak bertemu berarti harus ada stok ciuman. Nara sedang menimbun jatah ciumanku per hari. Seluruh wajahku dikecupnya, kening, pipi, pelipis, yang terakhir bibir. Yang itu lebih intens. Bibir kami b
Read more

14. On And On

Aku diam. Terhanyut. Dan ...daguku diangkat seseorang. Lalu sesuatu yang panas mengecup bibirku. Tiba-tiba.Aku tersentak dan membuka mata. Rupanya Galanta pelakunya. Ia memanfaatkan keheningan. Saat seluruh mata tertutup berkonsentrasi, termasuk aku. Ia menyerang personal space-ku tanpa perlawanan. Sangat pengecut.Galanta menaruh telunjuknya di bibir, isyarat agar aku tidak berisik. Atau orang-orang akan tersadar dan melihat si brengsek ini menciumku.Aku tidak menurut. Kuhajar wajah mulusnya. Berdiri dan berteriak dengan dramatis.“KURANG AJAR!”Tentu saja, semua mata terbuka dan menolehku. Mata-mata itu menatapku keheranan.Tahu si brengsek Galanta ini melakukan apa? Dia berakting. Berwajah bingung seperti yang lain. Dan dengan entengnya mengatakan.“Kenapa, Viana?”Dia ....Oh, aku lupa dia aktor papan atas. Pasti mudah baginya memerankan adegan seorang yang kebingungan.
Read more

15. Masa Lalu

Aku diam. Merenung. Mencari pelarian dari kedalaman sorot matanya.Bunda telah siap mendengarkan. Aku pun tak pelak mempersiapkan diri mengatakan jawaban padanya.“Sebenarnya, aku ..., aku kangen Riga,” akhirnya aku memilih bohong.Gila saja kalau aku bilang menangis karena mantan brengsek yang sudah menghilangkan keperawananku, dulu.Segalau apa pun, otakku tetap jalan. Menceritakan Galanta pada Bunda tentu saja kabar terparah yang didengar. Lebih parah dari kabar pernikahan pura-pura kami.“Ya Tuhan, sampai nangis-nangis di jalan begitu karena kangen Riga?” Bunda geleng-geleng tapi wajahnya nampak puas. “Riga tugas keluar kota, ya? Cup-cup-cup! Besok Riga pulang, kok!”Bunda merentangkan kedua tangan. Kepalaku mendarat di dadanya. Merasakan debar jantung yang lembut juga kehangatan khas seorang ibu.Sudah berapa lama ya, aku tidak merasakan kehangatan sosok ibu. Aku tumbuh besar bersama K
Read more

16. Rasa Cemas

Nara menghantam pintu di belakangku. Sangat keras sampai membuatku bergidik ketakutan. Aku menangis. Tapi Nara tidak berbelas kasihan malah makin mendesakku ke belakang.“Lakukan denganku. Lebih banyak dari yang pernah kamu lakukan dengannya.”Aku terkesiap. Tidak menyangka. Nara yang kukenal, bukan pria macam itu. Dia menghormatiku sebagai wanita. Dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang tidak boleh.Setahun berpacaran dengannya bisa kuhitung jumlah kami berciuman. Tiga kali. Itu pun aku duluan yang memulai.“Nara—“ aku bermaksud menyadarkannya.“Kamu sudah tahu caranya bukan?”...Cukup. Aku tidak suka Nara yang begini. Nara yang dilahap emosi.Aku menamparnya. Keras sekali sampai bunyi keplakannya membuat kami sama-sama kaget. Telapak tanganku panas. Juga pipi mulus Nara berubah warna jadi merah.Aku tidak mengatakan apa-apa. Cukup tamparanku saja yang mewakili. Nara mengge
Read more

17. Menyusun Kembali

“Kumohon ... aku mau lihat Nara.”Aku mengucapkannya sambil menangis. Bukan air mata palsu. Sungguhan. Rinduku sudah sampai puncak. Sempat senang karena akhirnya bisa dihubungi, tapi Riga yang bercanda membuatku menangis.Riga yang melihat itu langsung duduk di kasurnya. Panik.“Loh, jangan nangis, woy. Ah, elah. Iya, iya, aku ke kamar Nara sekarang.”Terlihat layar handphone bergerak tak karuan. Bukti Riga beringsut seperti katanya.“Udah dong jangan nangis. Nih, aku jalan ke kamar Nara di sebelah. Kalau Nara lihat, dia kira kamu nangis karena aku.”“Memang karena kamu, bodoh!”“Awas kalau kamu ngadu.”Di layar bisa kuperhatikan Riga sedang mengetuk pintu yang katanya kamar Nara.“Nara~ ini, Viana telepon,” nadanya seperti anak-anak mengajak bermain layangan.Tak butuh berapa lama, Nara keluar. Wajahnya bengkak seperti habis
Read more

18. Kesucian

Lalu ...Sepasang tangan melingkar di belakangku. Sesuatu yang panas lagi-lagi menyerangku. Kali ini ke leher. Orang di belakangku ini menciumi leherku.Aku berontak, menyikutnya dengan segenap kekuatan. Dan terbelalak ketika sadar orang yang melakukan itu.“GALANTA?!” suaraku meninggi.Dia belum pulang. Sialan.“Lehermu harum sekali,” katanya mesum.“Brengsek! Menjauh dariku atau aku teriak.”Galanta bukannya takut. Dia malah tertawa dengan seringai yang menyebalkan.“Teriak saja, Viana. Enggak ada orang di sini. Semuanya sudah pulang.”Galanta mencoba mendekatiku lagi. Aku mundur dengan sigap. Membuat kuda-kuda kalau dia berani berbuat macam-macam.“Ada Ketua di luar.”“Dia sudah di parkiran. Di sini cuma kita berdua.”“Mundur kataku! Aku bersumpah, sekali saja kamu menyentuhku, aku akan menjebloskanmu ke penjara.”
Read more

19. Bersiasat

Hanya tinggal masalah waktu saja Bunda tahu kejadian ini. Ia mendatangi kami di vila setelah berita menggembar-gemborkan masalah penyerangan Galanta. Nama Riga disebut. Juga aku dan Nara.Bunda memarahi dan mengatai kami gerombolan preman. Setelah mengorek penjelasan, akhirnya Bunda tahu apa yang terjadi. Lagi-lagi Riga yang berperan menjelaskan. Dengan catatan tanpa menceritakan dendamku pada Galanta. Kami sepakat tadi malam. Aib itu tidak perlu Bunda tahu.Bunda paling marah pada Nara. Kecerewetannya berkali-kali lipat sampai membuat Nara tidak punya pilihan lain selain menunduk.Harusnya aku tegang, tapi melihat posisi ini membuatku ingin tertawa. Bunda yang duduk melipat kaki di kursi. Dan kami bertiga bertekuk lutut di lantai, berjejer seperti murid-murid nakal yang dimarahi gurunya.“Kalian sudah bukan anak-anak lagi. Harusnya bisa berpikir lebih cepat daripada tangan,” oceh Bunda tidak bisa direm.Kami bertiga tahu, menyela ucapa
Read more

20. Tak Terlupakan

Media infotainment ramai membicarakan Galanta dan kelakuan bejatnya. Benar, tanpa perlu Riga mengeluarkan bukti rekamannya, sifat busuk Galanta naik ke permukaan. Seperti karma.Hanya butuh satu laporan untuk memulai, lalu berurutan wanita yang menjadi korbannya berani unjuk gigi. Galanta sudah kalah. Telak.Ia mencari pelarian ke agensi. Tapi sayang sekali, sebelum ia merajuk, Riga sudah memberi lampu hijau pada kepala agensi. Galanta diberhentikan. Dituding melakukan wanprestasi. Itu mengharuskan Galanta mengganti biaya kontrak beserta denda.Galanta turun pamor, jatuh ke jurang, dan bangkrut. Itu balasan setimpal untuknya.Meskipun masalah Galanta dianggap selesai. Bunda masih mewanti-wanti agar aku tidak masuk sanggar dulu. Masih ada satu dua wartawan yang mencium kasus pelecehan Galanta. Seperti ingin menabur garam pada luka Galanta. Ingin menjerumuskan makin dalam.Ah sudahlah. Riga benar. Dengan itu saja Galanta sudah mati. Tidak perlu lagi
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status