Hanya tinggal masalah waktu saja Bunda tahu kejadian ini. Ia mendatangi kami di vila setelah berita menggembar-gemborkan masalah penyerangan Galanta. Nama Riga disebut. Juga aku dan Nara.
Bunda memarahi dan mengatai kami gerombolan preman. Setelah mengorek penjelasan, akhirnya Bunda tahu apa yang terjadi. Lagi-lagi Riga yang berperan menjelaskan. Dengan catatan tanpa menceritakan dendamku pada Galanta. Kami sepakat tadi malam. Aib itu tidak perlu Bunda tahu.
Bunda paling marah pada Nara. Kecerewetannya berkali-kali lipat sampai membuat Nara tidak punya pilihan lain selain menunduk.
Harusnya aku tegang, tapi melihat posisi ini membuatku ingin tertawa. Bunda yang duduk melipat kaki di kursi. Dan kami bertiga bertekuk lutut di lantai, berjejer seperti murid-murid nakal yang dimarahi gurunya.
“Kalian sudah bukan anak-anak lagi. Harusnya bisa berpikir lebih cepat daripada tangan,” oceh Bunda tidak bisa direm.
Kami bertiga tahu, menyela ucapa
Media infotainment ramai membicarakan Galanta dan kelakuan bejatnya. Benar, tanpa perlu Riga mengeluarkan bukti rekamannya, sifat busuk Galanta naik ke permukaan. Seperti karma.Hanya butuh satu laporan untuk memulai, lalu berurutan wanita yang menjadi korbannya berani unjuk gigi. Galanta sudah kalah. Telak.Ia mencari pelarian ke agensi. Tapi sayang sekali, sebelum ia merajuk, Riga sudah memberi lampu hijau pada kepala agensi. Galanta diberhentikan. Dituding melakukan wanprestasi. Itu mengharuskan Galanta mengganti biaya kontrak beserta denda.Galanta turun pamor, jatuh ke jurang, dan bangkrut. Itu balasan setimpal untuknya.Meskipun masalah Galanta dianggap selesai. Bunda masih mewanti-wanti agar aku tidak masuk sanggar dulu. Masih ada satu dua wartawan yang mencium kasus pelecehan Galanta. Seperti ingin menabur garam pada luka Galanta. Ingin menjerumuskan makin dalam.Ah sudahlah. Riga benar. Dengan itu saja Galanta sudah mati. Tidak perlu lagi
“Maafkan aku yang dulu. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyalahkanmu, padahal Galanta-lah yang salah.” “Enggak apa, kita pernah bodoh karena percaya kata manisnya. Dan syukurlah pasanganmu sepertinya peduli padamu.” “Iya!” Paris tersenyum. Kuanggap sebagai senyum kemenangan. Kami bisa saja berbincang lebih lama, tapi berhubung antrian di bawah podium semakin mengular. Kuputuskan pergi menyusul Milan dan Havana yang sudah turun dari tadi. “Lain kali, aku boleh berbincang denganmu, kan?” Paris menitipkan pesan di sela kepergianku. “Tentu!” balasku seraya mengambil langkah kaki, pergi menuju Milan dan Havana. Pesta berlangsung meriah. Hiasannya, gedung, makanan, juga melodi mengalun di tengah standing party. Semua amat elegan. Sebelas dua belas dengan pestaku dan Riga dulu. Milan dan Havana berburu makanan. Mengantri di stand-stand pencuci mulut. Aku cukup kenyang setelah dua potong cordon bleu. Tidak ikut berburu dengan Milan dan Havana. Aku berdiri di tempat yang bisa me
Aku menunduk. Takut. Riga yang seperti terlihat lain. Mengintimidasi. Tanpa bisa kukontrol, air mataku menitik di pipi. Aku menyekanya takut Riga lihat. Terlambat. Dia sudah melihatnya. Dan sekarang ia menatapku dengan tatapan ambigu. Riga cepat sekali mengontrol emosi. Dalam sekejap, ia kembali jadi Riga yang kukenal. “Jangan nangis,” katanya pelan. Mauku juga tidak menangis seperti katanya. Tapi air mataku tidak mau berkompromi. Meleleh begitu saja setelah disentak seperti tadi. Aku sedang sensitif. “Viana ... jangan nangis.” Riga memintanya sekali lagi. Kali ini ia mencari daguku, mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu. Baru kutahu iris mata Riga berwarna cokelat muda. Terasa amat memikat nan dalam. Kedalamannya tidak bisa kujangkau. Terlalu memesona. “Aku paling bingung kalau wanita menangis. Sudah ya, maafkan aku. Aku terlalu keras, padamu.” Riga bantu menyeka air mataku yang merusak perona pipi. Melakukannya pelan s
Pagi itu, aku terbangun berkat kecup basah Nara di belakang telingaku. Ia membisikkan sesuatu, samar dan erotis. Nara menginginkanku atau sesuatu semacam itu. Aku membalikkan wajah padanya. Nara sambut dengan ciuman bertubi-tubi di wajahku. Kunikmati romantisme pagi ini juga kecupan Nara yang kunamai morning kiss. “Memangnya Nara gak kerja?” kataku saat bibir Nara menelusur ke leher. Nara membetulkan posisiku hingga kami berhadapan. Nara di atas tubuhku yang belum terkumpul nyawa seratus persen. “Riga gak akan kemana-mana, jadi aku libur.” Nara melanjutkan aksinya setelah memberi penjelasan singkat. Nara sangat ahli dalam urusan memberi sentuhan. Setiap jemarinya menelusur di kulitku yang terbuka, setiap itu pula aku melenguh. Menikmati. Beberapa hari ini kami memang jarang melakukannya di pagi hari karena Nara sibuk. Dan hari ini kuizinkan Nara bermain-main dengan bagian atas tubuhku. Aku melenguh. Bergelinjan
“Oh ya, Viana. Bunda penasaran.” Aku menolehnya. “Penasaran apa?” “Foto honeyemoon kalian di Cancun.” Ludahku tertelan dramatis. Tiba-tiba jadi bisu. Kenapa Riga tidak memprediksi tentang ini. tanpa sadar tanganku menepuk lengan Riga yang mulai masuk ke alam mimpinya. Ia tersadar dan bergumam. Aku mengulang pertanyaan Bunda tadi untuk ia pikirkan alasannya. Aku tidak ada ide. Blank. “Enggak ada foto, Bunda.” “Loh, kenapa? Pemandangan Cancun indah, kan. Masa kalian gak mengabadikan momen di sana.” “Justru karena terlalu indah, kami mengabadikannya di otak.” Riga mengatakannya dengan mata tertutup. “Sayang sekali. Kamu gak bisa pamer sama temanmu sudah honeymoon ke tempat hebat.” “Untuk apa pamer bisa pergi ke Cancun. Semua temanku bisa pergi ke sana.” Riga memiringkan badannya dari sofa, hingga kepala kami cukup dekat dan saling memandang. “Lebih baik pamer punya istri yang cantik seperti Viana. Mereka pa
“Hmm ... itu sih ...” Riga seperti mencari keberadaanku. Ia mendapatiku di dekat kursi sofa. Menaikkan sebelah alisnya, bertanya secara kilat padaku. Aku mengendikkan bahu. Gila saja. Kak Elva menginap berarti aku mesti sekamar dengan Riga untuk pura-pura. Aku tidak mau. Kumohon tolak itu, Riga. “Ya sudah, Kakak menginap saja.” Aarrrggg!!! Riga sengaja, ya. Tidak cukupkah dia mengerjaiku seharian ini? Dia juga mau membuatku tidak tidur karena terus dikerjai. Lalu bagaimana dengan Nara. Dia berpikir sampai sana tidak, sih? “Kakak tidur di kamar bareng Viana. Biar aku di kamar sebelahnya,” tutur Riga. Dadaku mencelos. Oh, iya ya. Ada opsi begitu juga. Aku tidak mesti sekamar dengan Riga. Bodohnya aku tidak berpikir ke sana. Kak Elva memerhatikanku yang berdiri kaku. Pipinya masih basah oleh air mata. Itu bukan air mata buatan. Nampaknya kehidupan rumah tangga Kak Elva sesuram kedengarannya. “Boleh, Viana?”
Aku lari terburu-buru, tidak melihat jauh. Tahu-tahu menabrak dada seseorang dan terpental beberapa senti. Orang itu adalah Riga yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku oleng sedikit, tapi ditangkap Riga dengan sigap. Aku bisa berdiri tegak berkat satu tangannya menangkap pinggulku. “Rusuh sekali. Pagi-pagi sudah berlarian,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku. Mungkin ia takut kena pukul seperti kemarin. Aku berdehem karena sempat terlena dengan pemandangan wajahnya. Riga sudah mandi. Rambutnya basah. Butiran air berada di ujung rambutnya. Lalu menetes ketika ia acak-acak pelan. “Nara sudah bangun?” tanya Riga, sadar aku baru saja berasal dari kamarnya. Aku mengangguk cepat. Bersamaan itu, Kak Elva juga keluar dari kamar. Ia melihat ke arah kami berdua. Untungnya pria di depanku Riga, bukan Nara. Harus sembunyi bagaimana lagi nanti. “Pagi!” serunya riang. Sepertinya Kak Elva punya kebiasaan menyapa semua orang di pagi
“Sudah kuduga. Bunda sangat menyukaimu.” Aku diam sebentar. Kurang paham hubungan antara pertanyaan dan jawaban barusan. “Bunda itu tipikal orang yang susah dekat dengan orang baru, kecuali ia sangat menyukainya. Bunda bahkan gak memberiku bingkai bagus ini untuk foto pernikahanku dengan Mas Zam. Soalnya dari awal Bunda gak suka Mas Zam.” Sedikitnya aku tidak kaget dengan kesimpulan putri sulung Bunda ini. Sudah kelihatan di awal, sih. Tapi aku baru tahu kalau Bunda tidak suka pada Mas Zam, suaminya Kak Elva. “Dulu, aku dipilihkan Bunda seorang lelaki tampan, baik, juga mapan sebagai calon suami. Aku menolaknya karena yang kusuka waktu itu Mas Zam. Dan bilang pada Bunda kalau aku akan menikah dengan Mas Zam.” Kak Elva leluasa menceritakan kisahnya denganku. Aku membetulkan posisi dudukku. Siap mendengarkan kisah yang kuyakin akan sangat panjang. “Bunda sempat marah, gak menyetujui hubungan kami. Bahkan mengancam gak merestui pernikahan
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku