“Hmm ... itu sih ...”
Riga seperti mencari keberadaanku. Ia mendapatiku di dekat kursi sofa. Menaikkan sebelah alisnya, bertanya secara kilat padaku.
Aku mengendikkan bahu.
Gila saja. Kak Elva menginap berarti aku mesti sekamar dengan Riga untuk pura-pura. Aku tidak mau. Kumohon tolak itu, Riga.
“Ya sudah, Kakak menginap saja.”
Aarrrggg!!! Riga sengaja, ya. Tidak cukupkah dia mengerjaiku seharian ini? Dia juga mau membuatku tidak tidur karena terus dikerjai.
Lalu bagaimana dengan Nara. Dia berpikir sampai sana tidak, sih?
“Kakak tidur di kamar bareng Viana. Biar aku di kamar sebelahnya,” tutur Riga.
Dadaku mencelos. Oh, iya ya. Ada opsi begitu juga. Aku tidak mesti sekamar dengan Riga. Bodohnya aku tidak berpikir ke sana.
Kak Elva memerhatikanku yang berdiri kaku. Pipinya masih basah oleh air mata. Itu bukan air mata buatan. Nampaknya kehidupan rumah tangga Kak Elva sesuram kedengarannya.
“Boleh, Viana?”
Aku lari terburu-buru, tidak melihat jauh. Tahu-tahu menabrak dada seseorang dan terpental beberapa senti. Orang itu adalah Riga yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku oleng sedikit, tapi ditangkap Riga dengan sigap. Aku bisa berdiri tegak berkat satu tangannya menangkap pinggulku. “Rusuh sekali. Pagi-pagi sudah berlarian,” katanya sambil melepaskan tangannya dariku. Mungkin ia takut kena pukul seperti kemarin. Aku berdehem karena sempat terlena dengan pemandangan wajahnya. Riga sudah mandi. Rambutnya basah. Butiran air berada di ujung rambutnya. Lalu menetes ketika ia acak-acak pelan. “Nara sudah bangun?” tanya Riga, sadar aku baru saja berasal dari kamarnya. Aku mengangguk cepat. Bersamaan itu, Kak Elva juga keluar dari kamar. Ia melihat ke arah kami berdua. Untungnya pria di depanku Riga, bukan Nara. Harus sembunyi bagaimana lagi nanti. “Pagi!” serunya riang. Sepertinya Kak Elva punya kebiasaan menyapa semua orang di pagi
“Sudah kuduga. Bunda sangat menyukaimu.” Aku diam sebentar. Kurang paham hubungan antara pertanyaan dan jawaban barusan. “Bunda itu tipikal orang yang susah dekat dengan orang baru, kecuali ia sangat menyukainya. Bunda bahkan gak memberiku bingkai bagus ini untuk foto pernikahanku dengan Mas Zam. Soalnya dari awal Bunda gak suka Mas Zam.” Sedikitnya aku tidak kaget dengan kesimpulan putri sulung Bunda ini. Sudah kelihatan di awal, sih. Tapi aku baru tahu kalau Bunda tidak suka pada Mas Zam, suaminya Kak Elva. “Dulu, aku dipilihkan Bunda seorang lelaki tampan, baik, juga mapan sebagai calon suami. Aku menolaknya karena yang kusuka waktu itu Mas Zam. Dan bilang pada Bunda kalau aku akan menikah dengan Mas Zam.” Kak Elva leluasa menceritakan kisahnya denganku. Aku membetulkan posisi dudukku. Siap mendengarkan kisah yang kuyakin akan sangat panjang. “Bunda sempat marah, gak menyetujui hubungan kami. Bahkan mengancam gak merestui pernikahan
Aku diperbolehkan lagi ke sanggar. Sudah cukup kondusif di sana. Berita Galanta pun sudah bergeser dari headline news. Kalah oleh gosip-gosip murahan milik artis papan atas. Nama Galanta hilang. Seperti kabarnya yang entah sekarang mendekam di penjara, atau dibebas-bersyaratkan. Masa bodoh. Aku diantar Nara sampai ke depan sanggar. Kami berpisah setelah kudatangi Ketua yang menungguku di halaman. Di sini, Ketua satu-satunya orang yang tahu kejadian sebenarnya. Ketua menutup mulutnya rapat-rapat. Mungkin itulah pembelaan terakhirnya untuk Galanta. Juga demi melindungi harga diriku. Anggota yang lain hanya spekulasi palsu atau menebak-nebak. Bahkan Milan dan Havana pun hanya tahu kalau Galanta menyerangku, titik. Mereka tidak tahu kisah di balik ini. Kisah lama tentang aib. Ketua menepuk bahuku yang menghela napas panjang ketika akan mulai memasuki sanggar lagi. Ketua masuk duluan, memberi tepuk tangan keras agar anggota lain memerhatikannya. “A
Pagi-pagi. Nara duluan yang mandi. Suara kecipak air kedengaran sampai ke kasur tempatku bermalas-malasan. Aku masih kepikiran Nara yang aneh kemarin. Aku penasaran. Sampai tidak bisa tidur karenanya. Kuputuskan cari tahu sendiri dari handphone Nara. Kemarin Biru bilang tentang pesan, biar aku yang menyimpulkan sendiri kalau Nara tidak juga mau menjelaskan. Handphone Nara tergeletak begitu saja di atas nakas. Kuraih handphone. Menekan tombol nyala. Password handphone Nara tidak pernah berubah sejak pertama aku mengenalnya. 1105. Sebelas Mei. Hari jadian kami. Layar dengan gambar latte art muncul. Mendadak aku bingung harus memulainya dari mana. Pesan masuk? Ada sekitar 20 pesan, salah satunya dari Biru. Dia cuma bertanya, ‘sudah lihat grup chat?’ Pesan Biru seperti menggiringku ke grup chat. Wow, pesan yang tidak terbaca ada sampai 3000 bubble chat. Memangnya Nara tidak pernah membukanya sama sekali?
Latihan hari ini selesai lebih cepat. Satu per satu kami menghambur ke luar gedung. Di kanan kiriku ada Milan dan Havana yang mengajakku ke toko kue di persimpangan. Langkahku terhenti melihat seseorang yang menungguku di atas motornya. Orang yang kukenal. Kak Kazan. “Kakak?” laki-laki yang merupakan keluargaku satu-satunya itu menoleh. Ia turun dari motornya. Menghampiriku bersama Milan dan Havana. Kak Kazan mengangguk sekali pada dua temanku itu. Memberi salam dengan sopan. Aku melewati sesi basa-basi. Langsung menyembur Kak Kazan dengan rasa ingin tahuku. “Kenapa Kakak di sini,” “Kakak cuma khawatir dengan keadaanmu setelah melihat berita di TV. Maaf Kakak baru bisa menemuimu sekarang. Kamu gak apa-apa, kan?” Sadar pertemuan kami sifatnya serius, Milan dan Havana undur diri dan berbisik akan mengajakku lain kali. Aku melambaikan tangan pada keduanya sebelum memberi penjelasan pada Kak Kazan. “Aku gak apa-apa, Kak. Ak
Pembagian naskah. Kali ini Ketua yang membuat naskah. Spesial ditujukan untuk pementasan di hadapan petinggi negeri. Sebuah naskah kental kritik sosial berbalut drama teater. Hari itu kami berkumpul untuk pembacaan naskah. Sekaligus penentuan siapa menjadi siapa. Aku mendapat peran cukup penting. Sebagai Tirani, napi wanita yang menunggu eksekusi hukuman mati. Wanita polos yang terlibat pembunuhan kedua orang tuanya karena pelecehan yang dilakukan bertahun-tahun. Tirani yang merasa lelah, mencari pembebasan diri dengan mengakhiri nyawa ibu bapaknya. Ia tertangkap. Dipenjara. Divonis hukuman mati. Berbanding terbalik dengan Kama, napi lain yang satu jeruji dengan Tirani. Kama seorang korup. Miliaran rupiah masuk ke kantong pribadi. Mencekik orang-orang miskin, memotong dana bantuan. Hukuman Kama hanya dua tahun penjara. Di dalam jeruji besi pun Kama mendapat keistimewaan. Bebas menentukan menu makan, tidur di kasur empuk. Juga sesekali diperbol
Aksi marahan kami berlanjut sampai malam. Aku sudah pulang duluan. Tidak seperti biasa kusambut Nara di pintu. Aku bergelung di bawah selimut ketika ia datang. Saat Nara duduk di tepi ranjang pun aku bergerak makin ke sisi agar tidak bersentuhan dengannya. Aku tidur cepat, meminimalisir kontak di antara kami. Jangan salahkan aku. Dia yang mau. Sudah jelas aku mogok menatapnya seperti ini. Nara tidak juga berusaha membujukku untuk baikan. Berarti dia memang mau meneruskan perang dingin ini. Oke, kalau itu maunya. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan membantu Mbok Minah di dapur. Nara dan Riga hampir keluar kamar bersamaan. Keduanya sudah mandi dan meminta makan untuk perutnya yang lapar. Aku menyiduk nasi ke piring Riga. Menaruhnya lembut lengkap dengan sapaan selamat pagi. Sedangkan Nara, kuberikan piring kosong untuknya sambil memalingkan wajah darinya yang duduk di sampingku. Kugeser kursi, menjauhinya. Tidak peduli wajahku terlihat
“Tumben. Kamu datang kemari untuk masalah pribadi atau pekerjaan?” Aku berdehem. “Sejak kapan aku membahas pekerjaan denganmu,” jawabku sedikit berkelit. Biru tersenyum. Nampaknya suka pada pilihan kataku. “Oke, berarti masalah pribadi. Ayo masuk!” ajak Biru ke ruangannya. Aku pun mengekor. Duduk di sofa yang ditunjuk Biru. Sedangkan pria dengan senyum lucu dan baby face itu bersantai di kursi empuknya. Karena kami bahas masalah pribadi, tentu Biru mengendurkan sifat seriusnya sewaktu menghadapiku. Biru bahkan memutar-mutarkan kursi, membuat rileks tubuhnya. “Riga tahu kamu datang kemari?” Biru bertanya. “Enggak!” “Apa kamu mau curhat denganku masalah Riga?” “Sebenarnya bukan tentang Riga.” “Lalu?” “Nara. Dia juga sahabatmu, kan?” Biru menaruh dua tangannya di atas meja. Tak lagi memutar-mutarkan kursi. Ia serius memerhatikan wajahku yang minta Biru jujur. “Hal apa yang i
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku