Pembagian naskah. Kali ini Ketua yang membuat naskah. Spesial ditujukan untuk pementasan di hadapan petinggi negeri. Sebuah naskah kental kritik sosial berbalut drama teater.
Hari itu kami berkumpul untuk pembacaan naskah. Sekaligus penentuan siapa menjadi siapa.
Aku mendapat peran cukup penting. Sebagai Tirani, napi wanita yang menunggu eksekusi hukuman mati. Wanita polos yang terlibat pembunuhan kedua orang tuanya karena pelecehan yang dilakukan bertahun-tahun.
Tirani yang merasa lelah, mencari pembebasan diri dengan mengakhiri nyawa ibu bapaknya. Ia tertangkap. Dipenjara. Divonis hukuman mati.
Berbanding terbalik dengan Kama, napi lain yang satu jeruji dengan Tirani. Kama seorang korup. Miliaran rupiah masuk ke kantong pribadi. Mencekik orang-orang miskin, memotong dana bantuan.
Hukuman Kama hanya dua tahun penjara. Di dalam jeruji besi pun Kama mendapat keistimewaan. Bebas menentukan menu makan, tidur di kasur empuk. Juga sesekali diperbol
Aksi marahan kami berlanjut sampai malam. Aku sudah pulang duluan. Tidak seperti biasa kusambut Nara di pintu. Aku bergelung di bawah selimut ketika ia datang. Saat Nara duduk di tepi ranjang pun aku bergerak makin ke sisi agar tidak bersentuhan dengannya. Aku tidur cepat, meminimalisir kontak di antara kami. Jangan salahkan aku. Dia yang mau. Sudah jelas aku mogok menatapnya seperti ini. Nara tidak juga berusaha membujukku untuk baikan. Berarti dia memang mau meneruskan perang dingin ini. Oke, kalau itu maunya. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan membantu Mbok Minah di dapur. Nara dan Riga hampir keluar kamar bersamaan. Keduanya sudah mandi dan meminta makan untuk perutnya yang lapar. Aku menyiduk nasi ke piring Riga. Menaruhnya lembut lengkap dengan sapaan selamat pagi. Sedangkan Nara, kuberikan piring kosong untuknya sambil memalingkan wajah darinya yang duduk di sampingku. Kugeser kursi, menjauhinya. Tidak peduli wajahku terlihat
“Tumben. Kamu datang kemari untuk masalah pribadi atau pekerjaan?” Aku berdehem. “Sejak kapan aku membahas pekerjaan denganmu,” jawabku sedikit berkelit. Biru tersenyum. Nampaknya suka pada pilihan kataku. “Oke, berarti masalah pribadi. Ayo masuk!” ajak Biru ke ruangannya. Aku pun mengekor. Duduk di sofa yang ditunjuk Biru. Sedangkan pria dengan senyum lucu dan baby face itu bersantai di kursi empuknya. Karena kami bahas masalah pribadi, tentu Biru mengendurkan sifat seriusnya sewaktu menghadapiku. Biru bahkan memutar-mutarkan kursi, membuat rileks tubuhnya. “Riga tahu kamu datang kemari?” Biru bertanya. “Enggak!” “Apa kamu mau curhat denganku masalah Riga?” “Sebenarnya bukan tentang Riga.” “Lalu?” “Nara. Dia juga sahabatmu, kan?” Biru menaruh dua tangannya di atas meja. Tak lagi memutar-mutarkan kursi. Ia serius memerhatikan wajahku yang minta Biru jujur. “Hal apa yang i
“Aku mau ikut reuni kalian.” Kurasa kalimatku cukup jelas. Pagi itu saat mereka bersiap, aku pun selesai mendandani diri, siap pergi. Riga yang mengernyitkan dahi paling lama. Kegiatannya mengikat tali sepatu pun sempat berhenti hanya untuk melirikku yang berdiri mantap di depan mereka. Nara nampak tidak terganggu. Ia sudah tahu karena kukatakan kalimat itu sesaat sebelum tidur malam. Di dalam pelukannya aku menggumamkan terus menerus sampai Nara tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Dan pagi saat kusampaikan maksudku pada Riga, Nara seolah tahu harus apa. Diam. Riga teruskan mengikat tali sepatunya. Setelah selesai barulah ia berdiri tepat di hadapanku yang melipat kedua tangan, sambil mendongak dengan angkuhnya. “Baiklah kalau kamu mau ikut. Tapi kamu tahu batasannya, kan. Kamu datang ke sana sebagai istriku. Jangan terlihat menonjol sambil bergelayutan sama Nara cuma karena mereka teman-teman lamaku,” Riga memberi syarat.
"Hai, Nara!" Wanita itu menyapa Nara dengan suara lantang dan percaya diri. Dan Nara menganga dibuatnya, seakan lupa caranya berkedip. Uh, siapa wanita itu? Bukan hanya Nara. Cyan juga nampak terpana pada si cantik yang membuatku iri. “Aku ditunjuk jadi MC di acara ini. Kamu gak keberatan kan, memberi sambutan sepatah dua patah kata?” Si cantik itu menawari Nara. Aku menepuk paha Riga heboh. Riga sempat mengaduh, tapi perhatiannya jadi condong padaku. Riga satu-satunya yang bisa menjawab penasaranku terhadap wanita itu. “Dia siapa, Riga?” bisikku. Riga tahu aku cemburu. Matanya menatap tempat yang sama pemandangan di hadapan kami. Ia sengaja mempermainkanku dengan menunda-nunda jawaban. Sementara itu, Nara berhasil dibujuk si wanita untuk maju ke panggung kecil yang dipersiapkan. Sepertinya Nara dijadikan perwakilan untuk membuka acara. Wanita itu tahu saja mengambil atensi peserta dengan menaruh magnet utama ke panggun
Lhasa, dua tahun lebih tua dari Nara. Nara kenal Lhasa jauh sebelum mereka di bangku kuliah. Malahan, alasan Nara masuk ke kampus itu karena ada Lhasa di dalamnya. Sejak awal, Nara tahu Lhasa sudah punya pacar. Lhasa berencana menikah setelah lulus kuliah. Nara terlanjur cinta mati pada gadis berambut sebahu itu. Nara rela jadi orang ketiga dan terluka berkali-kali asalkan bisa melihat Lhasa di sekitarnya. Pacar Lhasa lima tahun lebih tua darinya. Ia bekerja sebagai pilot. Pulang pergi ke luar negeri dan tidak sebentar. Rasa rindu kadang membuat Lhasa hampir menyerah. Saat itulah peran Nara dimulai. Ia jadi selingkuhan Lhasa. Sebagai tambal rindu wanita itu pada pacarnya. Nara tidak keberatan. Apa pun akan ia lakukan demi Lhasa bahagia. Lalu, hubungan keduanya mulai terendus pacar Lhasa. Pertengkaran hebat terjadi dan mengharuskan Lhasa memilih salah satu dari dua pria yang mencintainya. Sayang, Lhasa memilih pacarnya. Baginya, Nara hanya peng
Kami memutuskan pulang ke ibukota. Reuni dengan teman kampus telah kami tinggalkan. Pada Cyan, Riga berjanji akan mengatur reuni Warnakota saja, lebih eksklusif. Juga lebih intim pastinya. Riga yang menyetir saat pulang. Aku dan Nara duduk di belakang. Bahu Nara kujadikan bantal. Tidur saat Riga memutarkan musik mendayu-dayu dari tape mobil radio. Seperti dininabobokan. Sepanjang perjalanan aku nyaris terlelap. Sesekali bangun ketika kepalaku hilang sandaran. Tapi langsung Nara betulkan hingga tidurku nyaman kembali. Sayup-sayup kudengar Riga bernyanyi-nyanyi ikuti suara dari radio. Sesekali mengajak Nara berbicara, tapi pria itu hanya menjawab sekedarnya. “Untung saja Viana ikut datang ke reuni. Aku gak tahu harus melakukan apa kalau kamu kalap seperti itu lagi,” desis Riga yang kutangkap saat kesadaranku tipis. Aku memang sudah lama bangun, tapi pura-pura tidur karena enggan beranjak dari bahu Nara. “Kenapa kalian begitu takut. Aku g
Tidak selalu hubungan sembunyi-sembunyi menyesakkan atau melelahkan. Justru ada sensasi mendebarkan dengan mata lebih awas ketika tangan kami bertautan. Atau ketika curi-curi pandang dan saling berbalas senyum. Untungnya Kak Elva punya kebiasaan selalu ingin berjalan lebih depan dariku yang notabene lebih muda darinya. Bagi Kak Elva, penting seorang kakak melindungi adiknya dari sesuatu yang menerjang di depan. Saat kerumunan, Kak Elva membelah lautan orang-orang hingga jalanku menjadi nyaman tanpa perlu berdesakkan dengan yang lain. Atau saat harus putar arah karena jalanan padat dan tak memungkinkan dilewati. Kak Elva penunjuk jalan ulung. Ia jadi seperti navigator profesional yang mengenal seluk beluk mall yang sedang kami sambangi ini. Mungkin ia lebih sering jalan-jalan di sini daripada jalanan di kampusnya dulu. Dan selama Kak Elva berjalan di depan itulah, aku dan Nara leluasa berpegangan tangan. Seolah kami sedang kencan berdua dan Kak Elva
Sepulangnya jalan-jalanm Nara langsung menyerbu leherku dengan ciuman. Padahal kami baru beberapa langkah di pintu masuk. Sepertinya Nara tidak tahan karena aroma bunga yang kupakai saat sauna tadi. Semerbak harum melekat di seluruh tubuhku. Setiap jengkalnya tanpa terlewati. Nara cukup bersabar dengan mengantarkan Kak Elva dulu ke rumahnya. Lalu tancap gas ke rumah kami. Ia langsung mencari badanku dengan diburu nafsu. Nara menyandarkanku ke tembok. Menghidu aromaku dengan rakus. Leherku habis dijajah bibir tipis Nara. Juga rambutku yang di-creambath meninggalkan wangi menenangkan hidung. Nara sukses membuatku buka tutup mata hanya dengan ciuman kilat. Sambil berdiri pula. Kedua tanganku melingkar di lehernya. Menikmati tiap langkah Nara menjajaki bagian atasku. Lalu, aku dikejutkan sebuah sosok tak jauh dari ruang tamu tempat kami berada. Bukan sosok gaib, tapi Riga. Ia memandangi kami dengan mata nyalang dan rambut kusut masai. Aku
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku