Share

15. Masa Lalu

Penulis: Liani April
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku diam. Merenung. Mencari pelarian dari kedalaman sorot matanya.

Bunda telah siap mendengarkan. Aku pun tak pelak mempersiapkan diri mengatakan jawaban padanya.

“Sebenarnya, aku ..., aku kangen Riga,” akhirnya aku memilih bohong.

Gila saja kalau aku bilang menangis karena mantan brengsek yang sudah menghilangkan keperawananku, dulu.

Segalau apa pun, otakku tetap jalan. Menceritakan Galanta pada Bunda tentu saja kabar terparah yang didengar. Lebih parah dari kabar pernikahan pura-pura kami.

“Ya Tuhan, sampai nangis-nangis di jalan begitu karena kangen Riga?” Bunda geleng-geleng tapi wajahnya nampak puas. “Riga tugas keluar kota, ya? Cup-cup-cup! Besok Riga pulang, kok!”

Bunda merentangkan kedua tangan. Kepalaku mendarat di dadanya. Merasakan debar jantung yang lembut juga kehangatan khas seorang ibu.

Sudah berapa lama ya, aku tidak merasakan kehangatan sosok ibu. Aku tumbuh besar bersama K

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   16. Rasa Cemas

    Nara menghantam pintu di belakangku. Sangat keras sampai membuatku bergidik ketakutan. Aku menangis. Tapi Nara tidak berbelas kasihan malah makin mendesakku ke belakang.“Lakukan denganku. Lebih banyak dari yang pernah kamu lakukan dengannya.”Aku terkesiap. Tidak menyangka. Nara yang kukenal, bukan pria macam itu. Dia menghormatiku sebagai wanita. Dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang tidak boleh.Setahun berpacaran dengannya bisa kuhitung jumlah kami berciuman. Tiga kali. Itu pun aku duluan yang memulai.“Nara—“ aku bermaksud menyadarkannya.“Kamu sudah tahu caranya bukan?”...Cukup. Aku tidak suka Nara yang begini. Nara yang dilahap emosi.Aku menamparnya. Keras sekali sampai bunyi keplakannya membuat kami sama-sama kaget. Telapak tanganku panas. Juga pipi mulus Nara berubah warna jadi merah.Aku tidak mengatakan apa-apa. Cukup tamparanku saja yang mewakili. Nara mengge

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   17. Menyusun Kembali

    “Kumohon ... aku mau lihat Nara.”Aku mengucapkannya sambil menangis. Bukan air mata palsu. Sungguhan. Rinduku sudah sampai puncak. Sempat senang karena akhirnya bisa dihubungi, tapi Riga yang bercanda membuatku menangis.Riga yang melihat itu langsung duduk di kasurnya. Panik.“Loh, jangan nangis, woy. Ah, elah. Iya, iya, aku ke kamar Nara sekarang.”Terlihat layar handphone bergerak tak karuan. Bukti Riga beringsut seperti katanya.“Udah dong jangan nangis. Nih, aku jalan ke kamar Nara di sebelah. Kalau Nara lihat, dia kira kamu nangis karena aku.”“Memang karena kamu, bodoh!”“Awas kalau kamu ngadu.”Di layar bisa kuperhatikan Riga sedang mengetuk pintu yang katanya kamar Nara.“Nara~ ini, Viana telepon,” nadanya seperti anak-anak mengajak bermain layangan.Tak butuh berapa lama, Nara keluar. Wajahnya bengkak seperti habis

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   18. Kesucian

    Lalu ...Sepasang tangan melingkar di belakangku. Sesuatu yang panas lagi-lagi menyerangku. Kali ini ke leher. Orang di belakangku ini menciumi leherku.Aku berontak, menyikutnya dengan segenap kekuatan. Dan terbelalak ketika sadar orang yang melakukan itu.“GALANTA?!” suaraku meninggi.Dia belum pulang. Sialan.“Lehermu harum sekali,” katanya mesum.“Brengsek! Menjauh dariku atau aku teriak.”Galanta bukannya takut. Dia malah tertawa dengan seringai yang menyebalkan.“Teriak saja, Viana. Enggak ada orang di sini. Semuanya sudah pulang.”Galanta mencoba mendekatiku lagi. Aku mundur dengan sigap. Membuat kuda-kuda kalau dia berani berbuat macam-macam.“Ada Ketua di luar.”“Dia sudah di parkiran. Di sini cuma kita berdua.”“Mundur kataku! Aku bersumpah, sekali saja kamu menyentuhku, aku akan menjebloskanmu ke penjara.”

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   19. Bersiasat

    Hanya tinggal masalah waktu saja Bunda tahu kejadian ini. Ia mendatangi kami di vila setelah berita menggembar-gemborkan masalah penyerangan Galanta. Nama Riga disebut. Juga aku dan Nara.Bunda memarahi dan mengatai kami gerombolan preman. Setelah mengorek penjelasan, akhirnya Bunda tahu apa yang terjadi. Lagi-lagi Riga yang berperan menjelaskan. Dengan catatan tanpa menceritakan dendamku pada Galanta. Kami sepakat tadi malam. Aib itu tidak perlu Bunda tahu.Bunda paling marah pada Nara. Kecerewetannya berkali-kali lipat sampai membuat Nara tidak punya pilihan lain selain menunduk.Harusnya aku tegang, tapi melihat posisi ini membuatku ingin tertawa. Bunda yang duduk melipat kaki di kursi. Dan kami bertiga bertekuk lutut di lantai, berjejer seperti murid-murid nakal yang dimarahi gurunya.“Kalian sudah bukan anak-anak lagi. Harusnya bisa berpikir lebih cepat daripada tangan,” oceh Bunda tidak bisa direm.Kami bertiga tahu, menyela ucapa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   20. Tak Terlupakan

    Media infotainment ramai membicarakan Galanta dan kelakuan bejatnya. Benar, tanpa perlu Riga mengeluarkan bukti rekamannya, sifat busuk Galanta naik ke permukaan. Seperti karma.Hanya butuh satu laporan untuk memulai, lalu berurutan wanita yang menjadi korbannya berani unjuk gigi. Galanta sudah kalah. Telak.Ia mencari pelarian ke agensi. Tapi sayang sekali, sebelum ia merajuk, Riga sudah memberi lampu hijau pada kepala agensi. Galanta diberhentikan. Dituding melakukan wanprestasi. Itu mengharuskan Galanta mengganti biaya kontrak beserta denda.Galanta turun pamor, jatuh ke jurang, dan bangkrut. Itu balasan setimpal untuknya.Meskipun masalah Galanta dianggap selesai. Bunda masih mewanti-wanti agar aku tidak masuk sanggar dulu. Masih ada satu dua wartawan yang mencium kasus pelecehan Galanta. Seperti ingin menabur garam pada luka Galanta. Ingin menjerumuskan makin dalam.Ah sudahlah. Riga benar. Dengan itu saja Galanta sudah mati. Tidak perlu lagi

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   21. Korban

    “Maafkan aku yang dulu. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyalahkanmu, padahal Galanta-lah yang salah.” “Enggak apa, kita pernah bodoh karena percaya kata manisnya. Dan syukurlah pasanganmu sepertinya peduli padamu.” “Iya!” Paris tersenyum. Kuanggap sebagai senyum kemenangan. Kami bisa saja berbincang lebih lama, tapi berhubung antrian di bawah podium semakin mengular. Kuputuskan pergi menyusul Milan dan Havana yang sudah turun dari tadi. “Lain kali, aku boleh berbincang denganmu, kan?” Paris menitipkan pesan di sela kepergianku. “Tentu!” balasku seraya mengambil langkah kaki, pergi menuju Milan dan Havana. Pesta berlangsung meriah. Hiasannya, gedung, makanan, juga melodi mengalun di tengah standing party. Semua amat elegan. Sebelas dua belas dengan pestaku dan Riga dulu. Milan dan Havana berburu makanan. Mengantri di stand-stand pencuci mulut. Aku cukup kenyang setelah dua potong cordon bleu. Tidak ikut berburu dengan Milan dan Havana. Aku berdiri di tempat yang bisa me

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   22. Mudah Menangis

    Aku menunduk. Takut. Riga yang seperti terlihat lain. Mengintimidasi. Tanpa bisa kukontrol, air mataku menitik di pipi. Aku menyekanya takut Riga lihat. Terlambat. Dia sudah melihatnya. Dan sekarang ia menatapku dengan tatapan ambigu. Riga cepat sekali mengontrol emosi. Dalam sekejap, ia kembali jadi Riga yang kukenal. “Jangan nangis,” katanya pelan. Mauku juga tidak menangis seperti katanya. Tapi air mataku tidak mau berkompromi. Meleleh begitu saja setelah disentak seperti tadi. Aku sedang sensitif. “Viana ... jangan nangis.” Riga memintanya sekali lagi. Kali ini ia mencari daguku, mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu. Baru kutahu iris mata Riga berwarna cokelat muda. Terasa amat memikat nan dalam. Kedalamannya tidak bisa kujangkau. Terlalu memesona. “Aku paling bingung kalau wanita menangis. Sudah ya, maafkan aku. Aku terlalu keras, padamu.” Riga bantu menyeka air mataku yang merusak perona pipi. Melakukannya pelan s

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   23. X

    Pagi itu, aku terbangun berkat kecup basah Nara di belakang telingaku. Ia membisikkan sesuatu, samar dan erotis. Nara menginginkanku atau sesuatu semacam itu. Aku membalikkan wajah padanya. Nara sambut dengan ciuman bertubi-tubi di wajahku. Kunikmati romantisme pagi ini juga kecupan Nara yang kunamai morning kiss. “Memangnya Nara gak kerja?” kataku saat bibir Nara menelusur ke leher. Nara membetulkan posisiku hingga kami berhadapan. Nara di atas tubuhku yang belum terkumpul nyawa seratus persen. “Riga gak akan kemana-mana, jadi aku libur.” Nara melanjutkan aksinya setelah memberi penjelasan singkat. Nara sangat ahli dalam urusan memberi sentuhan. Setiap jemarinya menelusur di kulitku yang terbuka, setiap itu pula aku melenguh. Menikmati. Beberapa hari ini kami memang jarang melakukannya di pagi hari karena Nara sibuk. Dan hari ini kuizinkan Nara bermain-main dengan bagian atas tubuhku. Aku melenguh. Bergelinjan

Bab terbaru

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   195. My Happy Ending

    "Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   194. Menunggumu

    "Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   193. Keputusan

    Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   192. Kembali

    "Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   191. Stres dan Trauma

    “Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   190. Harusnya

    Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   189. Diamlah!

    “Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   188. Melamar

    Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   187. Asal Restu

    Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku

DMCA.com Protection Status