Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 111 - Chapter 120

195 Chapters

111. Esensi Pertemuan

Aku menatapi Viana yang berada sekitar dua meter dariku. Tiap jengkal wajahnya. Tiap lekuk demi lekuk. Itu benar Viana yang kukenal.Tidak banyak yang berubah dari Viana. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, juga bukan waktu yang lama.Namun melihatnya masih sama, membuatku merasa waktu mendadak berhenti. Seperti baru kemarin ia pergi dengan Nara.Rombongan wanita itu berjalan makin dekat. Dan Viana belum juga menyadari keberadaanku. Jalannya menunduk, poni panjang menyembunyikan kelopak matanya dari penglihatanku.Orang-orang di depan Viana menatapku sambil berbisik. Terkikik geli. Seolah di wajahku ada sesuatu menempel. Atau hal-hal lain yang lucu.Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah Viana merespon kekehan teman-teman di depannya. Ia terpancing dan ... akhirnya melihat ke arahku.Viana berada sejajar dengan bahuku ketika tatapan kami bersirobok. Matanya membelalak. Seperti melihat hantu di siang bolong.Bisa kuselami kedalam
Read more

112. Nampak Nyata

"Hei, Riga. Ada apa?"Kuabaikan pertanyaannya. Lari secepat yang aku bisa. Aku tak mau kehilangan sosok Nara. Meski itu artinya aku meninggalkan Cyan juga Khiva di belakang sana.Entah kenapa trotoar penuh pejalan kaki seperti sekarang. Semua tumpah di jalanan. Namun dalam sekejap aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan selintas itu.Ada bazzar di jalanan ini. Pasar tumpah bahasa umumnya. Semua pedagang mulai dari barang kecil sampai besar, ada di sini. Mengisi sepanjang trotoar.Kerumunan inilah yang menghalangi pemandangan mataku pada Nara. Serasa makin jauh, timbul tenggelam. Cara jalan Nara yang tak pernah menoleh kanan kiri, membuatku hampir kehilangan siluet dirinya.Kemudian ... keramaian itu hilang di belokan trotoar. Hanya satu dua orang yang menghalangi. Kini sosok Nara jelas tergambar nyata.Bila tadi aku masih menerka-nerka. Sekarang aku sangat yakin. Itu Nara yang kukenal."NARA!" teriakku bermeter-meter jauhnya di belaka
Read more

113. Yang Menyulam

"Mereka bercerai. Nara dan Viana bercerai. Sudah satu tahun lalu."Berita itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hati. Tidak ada yang kami ucapkan lagi. Saling membisu di tengah laju mobil membelah angin malam.Cyan mengantarku sampai ke kantor yang merangkap rumah itu. Masih saja ia tidak berucap apa pun. Cyan pulang tanpa sempat mengucapkan pamit atau basa-basi tak perlu.Aku pun begitu. Masih terlalu kaget dengan kabar yang tak kupercayai ini.Bagaimana bisa. Viana dan Nara. Hubungan kuat di antara mereka. Rasa cinta yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Mereka bercerai?Hasil dari berita buruk ini aku tak bisa tidur semalaman. Terus saja berguling-guling resah menatapi langit-langit kamar. Kuingat-ingat lagi ekspresi Viana saat bertemu denganku terakhir kali. Ada pancaran sedih yang teramat sangat.Kukira itu karena kami bertemu dengan cara seperti itu. Kalau saja aku tahu mereka bercerai, apa mungkin aku masih menganggap tatapan
Read more

114. Enggak Cukupkah?

Namun, Viana menghentikan langkah kakinya tiba-tiba. Aku turut berhenti juga. Lalu Viana menoleh. Untuk pertama kalinya kudengar ia memanggil namaku lagi.“Riga!" suaranya lirih.Bagiku itu seperti simphoni, atau lagu ninabobo yang menentramkan hati. Aku selalu suka saat ia memanggil namaku."Cukup. Jangan ikuti aku lagi!" lanjutnya kemudian.Aku masih terdiam. Terlalu terpana dengan suara merdu yang ia ucapkan. Sekarang aku berkhayal ia meneriakkan namaku berkali-kali, seperti dulu."Viana." Gantian, aku yang memanggilnya. "Ada yang mau kutanyakan padamu."Sepertinya Viana tahu kalimat apa yang akan meluncur dari mulutku. Sebab ia mengembuskan napas sebelum kalimat pertamaku terucap."Kenapa kamu bercerai dengan Nara?"Viana tidak menjawab. Ia hanya bermain-main dengan napasnya sendiri. Menghela, lalu mengembuskan kembali.Viana tidak berusaha untuk sekedar menjawab pertanyaanku
Read more

115. Rencana Ke Depan

Aku disuguhi nasi juga lauk dan sayur yang melimpah di meja makan. Istri Kak Kazan bantu mengambilkan piring juga nasi. Selanjutnya menyerahkan padaku untuk mengambil laukku sendiri.Katakanlah aku tidak tahu malu, kubabat semua lauk di meja makan. Semua kepalang enak, membuat lidahku serasa menari dengan cita rasanya.Kami tak bersuara saat aku makan. Hanya bunyi sendok yang bertubrukan dengan piring. Ataupun bunyi menggerus ketika kulahap kerupuk sebagai lauk.Istri kak Kazan duduk di hadapanku. Ia menontoni aksi makanku yang terbilang liar. Pikirnya, aku pasti selapar itu menyantap semua hidangan yang ia suguhkan."Setelah kamu makan ini, pulang ya." Istri Kak Kazan memberi syarat.Aku mengangguk saja seperti penurut. Ia memberikanku minum teh hangat. Asap masih mengepul dari gelas. Bisa kubayangkan akan nikmatnya meminum itu setelah makanku selesai.Sambil makan, aku melihat kanan kiri ruangan ini. Ada banyak foto
Read more

116. Andai Kau Bahagia

"Viana ... aku ingin kamu." Kugunakan intonasi sejelas-jelasnya. Mengatakan yang ingin kukatakan dari lubuk hatiku."Hiduplah denganku. Aku janji akan membuatmu bahagia."Viana menyentak. "Enggak, Riga. Aku gak sudi hidup dengan kamu."Viana menggunakan segenap kekuatan untuk melepaskan diri dariku. Dan ia berhasil. Viana mundur selangkah dariku, ia lempar keresek berisi piyama ke dadaku. Melemparnya dengan keras."Setelah apa yang kamu dan keluargamu lakukan padaku, kamu masih berani bilang begitu?" nadanya menanjak."Aku minta maaf.""Jangan minta maaf. Itu sudah terlambat, Riga. Kamu dan keluargamu jahat. Aku benci kalian." Viana siap menangis.Istri Kak Kazan benar, Viana kehilangan keceriaannya. Jadi lebih mudah menangis. Jadi lebih sensitif. Seandainya ada yang bisa kulakukan untuk mengubah itu."Aku sudah didepak keluarga Abimahya. Aku juga sudah kehilangan semuanya. Bisakah kita hidup ber
Read more

117. Hadiah

Hari-hariku berubah cerah setelah mendapat senyuman Viana. Seperti doping. Membangkitkan semangat saat ingatanku kembali ke hari itu.Memang bukan senyum secara langsung. Tak masalah. Itu saja sudah membuatku bahagia.Di kantor, kami sedang mengadakan meeting.Kemarin, Khiva memberi kabar kalau terjadi lonjakan pengguna user di aplikasi kami.Hal itu terjadi setelah Cyan memasang iklan bahwa setiap penulis yang rutin mengupdate cerita di aplikasi kami, akan mendapatkan bonus, atau bahasa lainnya gaji. Tapi tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang tak merugikan pihak mana pun.Sumber dananya sendiri berasal dari sponsor yang kami temui di Surabaya sana. Mereka menjanjikan dana yang besar asalkan rating aplikasi kami tinggi. Dan sejauh ini nilai kami memang terbilang besar, 4,9 dari 5.Kami menguraikan lagi sistematis aplikasi, merundingkan bagian-bagian yang dirasa kurang, juga untung rugi.
Read more

118. Mendapatkan Hatinya

Kuabaikan segala pemikiran. Kuraih dagu Viana untuk mendongak. Lalu ... kucium ia. Tepat di bibirnya.Viana berontak. Tapi kutangkap tengkuknya, mendorong lebih dalam hingga ciuman kami lebih melekat.Rasa asin dari air mata Viana jadi dominan di indera pengecapku. Hal itu tidak membuatku berhenti. Kulumat bibir tipisnya hingga Viana tak berkutik lagi.Bahkan kubawa pinggangnya masuk ke lingkaran tubuhku. Awalnya Viana menarik-narik diri, meninju dadaku. Namun, perlahan ia mulai pasrah dan menikmati ritme sentuhan di bibir kami.Sama seperti waktu itu. Sebuah khilaf yang mengawali tercerai berainya kami. Sekarang aku tidak peduli. Tidak ada Nara yang harus kujaga hatinya. Hanya Viana seorang yang ada di pikiranku.Kuakhiri ciuman kami. Masih kupeluk Viana agar tidak kabur. Wanita itu menunduk lagi. Sembunyi di dadaku."Mari kita gak perumit ini lagi, Viana. Aku menyukaimu. Kamu juga menyukaiku. Kita hanya harus saling
Read more

119. Entitas Malam Minggu

Tak bisa dipungkiri, perusahaanku bergerak maju. Bahkan cukup melejit untuk ukuran perusahaan yang baru seumur jagung.Satu per satu mulai bertambah karyawan baru. Bagian back office seperti administrasi dan keuangan, juga customer service dan SPG.Kami tidak lagi tinggal di kantor yang merangkap rumah. Perlahan aku bisa membangun gedung bertingkat tiga yang layak dijadikan kantor bergengsi.Aku bisa membeli rumah di kawasan real estate. Rio dan Akita menyewa kontrakan tak jauh dari rumahku.Kemajuan dalam urusan pekerjaan, berbanding lurus dengan urusan percintaanku dengan Viana.Ia tidak lagi meracau tentang apa ia pantas bahagia, atau apakah tak adil pada Nara. Viana kini lebih cenderung terbuka. Menerimaku dengan lapang dada.Pernah satu waktu, saat aku mengunjungi lagi di tempatnya bekerja. Viana hendak pulang, baru bubar dan berpamitan. Ia berpapasan denganku yang saat itu berdiri dekat pagar.Aku mela
Read more

120. Nikmat Surgawi

"Riga, aku mau beli itu." Viana menunjuk salah satu stand. Harumanis."Kamu suka harumanis?"Viana mengangguk seperti anak kecil. "Aku selalu ingin coba harumanis yang besar, tapi malu kalau beli dengan teman.""Kenapa malu?""Nanti dikatai seperti anak kecil.""Di depanku, kamu gak malu.""Karena kamu lebih seperti anak kecil untukku."Maksudnya memuji atau menyindirku, nih?Viana terkekeh sedangkan dahiku mengernyit padanya. Viana menarik tangan kami yang menggenggam.Kami jalan ke stand harumanis. Membeli satu dengan bentuk bunga yang besar. Mata Viana membulat juga mulut ternganga ketika harumanis berada di tangannya.Coba lihat, siapa yang seperti anak kecil sekarang?Kami mengitari pasar malam. Melihat banyak atraksi, wahana yang dinaiki anak-anak, juga pedagang demi pedagang yang mencuci mata.Selama itu Viana tak lepas menggenggam tanganku. Harumanis juga sudah habis setengahnya.Aku d
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
20
DMCA.com Protection Status