"Riga, aku mau beli itu." Viana menunjuk salah satu stand. Harumanis.
"Kamu suka harumanis?"
Viana mengangguk seperti anak kecil. "Aku selalu ingin coba harumanis yang besar, tapi malu kalau beli dengan teman."
"Kenapa malu?"
"Nanti dikatai seperti anak kecil."
"Di depanku, kamu gak malu."
"Karena kamu lebih seperti anak kecil untukku."
Maksudnya memuji atau menyindirku, nih?
Viana terkekeh sedangkan dahiku mengernyit padanya. Viana menarik tangan kami yang menggenggam.
Kami jalan ke stand harumanis. Membeli satu dengan bentuk bunga yang besar. Mata Viana membulat juga mulut ternganga ketika harumanis berada di tangannya.
Coba lihat, siapa yang seperti anak kecil sekarang?
Kami mengitari pasar malam. Melihat banyak atraksi, wahana yang dinaiki anak-anak, juga pedagang demi pedagang yang mencuci mata.
Selama itu Viana tak lepas menggenggam tanganku. Harumanis juga sudah habis setengahnya.
Aku d
"Viana ... menikahlah denganku. Aku ... ingin melakukan 'itu' denganmu."Viana tidak menjawab. Ia sedang berada di atas awan, sedang sakau berkat ciuman panasku.Jemariku bermain di pelipisnya, terus turun sampai ke dagu. Barulah Viana tersadarkan dan membuka kelopak mata.Aku merasa tidak perlu mengulang perkataanku. Ia pasti mendengarku, hanya tidak bisa merespon dengan benar.“Enggak boleh. Batas kita hanya sampai ciuman. Kamu mau kita kepergok dan diarak warga?” Viana malah mengancam.“Makanya kubilang ayo menikah. Jadikan hubungan kita halal dan aku bebas melakukan ini itu.”Viana merengut. Ia bahkan memundurkan tubuhnya dariku.“Aku ... masih trauma dengan hubungan pernikahan,” ungkapnya tanpa menutup-nutupi.Aku jadi merasa bersalah sudah membuat Viana muram dan menundukkan kepala dalam-dalam. Harusnya aku tahu ini. Pernikahan Viana tak berjalan mulus, membincangkan satu masalah ini ak
Pada akhirnya aku pulang ke rumah Bunda. Aku memberitahunya di telepon bahwa akan pulang sore ini.Bunda senang bukan main. Ia bahkan menghidangkan berbagai masakan kesukaanku. Menyambutku dengan hangatnya juga pelukan yang tidak kulakukan sesering dulu.“Makan yang banyak. Kamu jadi kelihatan kurus sekarang,” perintah Bunda sambil menyendokkan nasi ke piringku.Aku mengangguk. Tidak keberatan menghabiskan semua masakan yang sengaja ia buat dari pagi ini. Kalau pun tersisa akan kubawa ke rumah untuk kubagi dengan Rio dan Akita.Bunda memandangiku dengan tatapan rindu selagi aku makan. Bola matanya nanar dan kutebak ia akan menangis kalau saja aku tidak menghentikannya menatapiku seperti akulah pria yang paling malang sedunia.“Bun, jangan menatapku seperti itu. Aku datang kemari bukan mau melihat Bunda menangis.”Bunda buru-buru menyeka butir air di ujung matanya. Ia tidak sempat jatuh. Bunda menekannya dengan senyum
Lalu ... Viana muncul di pintu. Ia mengucapkan salam. Dan serempak pandangan kami tertuju padanya.Yang pertama berdiri adalah Bunda. Tatapannya juga tatapan Viana saling mencari satu sama lain. Baru kemudian aku mendekat pada Viana yang mematung dekat pintu.Keresek di tangannya terkepal. Raut wajahnya pias bersama bola mata yang nanar. Aku membawakan keresek di tangan Viana sebelum makin mengkerut karena ia remas dengan segenap kekuatan.“Bu-bunda?” katanya terbata.Bunda mengangguk sekali. Ia menangis tanpa tendeng aling-aling. Selanjutnya Bunda berlari ke arah Viana. Memeluknya tepat di hadapanku.“Maafkan Bunda, Sayang. Bunda selalu ingin menemuimu. Bunda merasa bersalah pernah memintamu pergi.” Bunda terisak. Hal itu memancing air mata Viana juga jatuh.Viana tidak membalas pelukan Bunda. Ia masih kaget dengan pertemuan tiba-tiba ini. Atau mungkin, Viana sedang berpikir untuk tidak memaaf
Semua orang berkumpul di rumahku. Berkutat dengan tugas yang kuminta dikerjakan sebelum kami pergi ke Sukabumi.Kotak-kotak seserahan sudah dihias. Isinya beragam hasil pilihan Khiva, Akita dan Rio. Mereka turut di sini, mempercantik beberapa bagian. Menyempurnakan detail yang bisa luput dari pengawasanku."Pak Riga, bunga mawar merah atau mawar pink?" Akita bertanya."Merah, bagus. Hmm ... tapi pink saja. Dia punya kenangan buruk dengan bunga merah.""Oke, aku bawa buket ini ke mobil."Akita melengos bersamaan dengan Khiva menghampiriku."Pak Riga, gaunnya mana yang mau kubungkus?"Khiva membandingkan gaun putih di kiri tangannya, sedangkan gaun kuning di kanan."Hmm ... dua-duanya bagus. Dua-duanya saja.""Baiklah, aku masukan saja keduanya di kotak, ya."Dua orang itu bersemangat. Sejak kemarin saat kuberitahu semua orang aku akan melamar Viana akhir pek
"Maaf, Riga. Viana pergi waktu kuberitahu kamu dan keluargamu datang untuk melamar. Dia ... menolak lamaranmu. Dia ... gak mau menikah denganmu."Satu per satu pasang mata dari manusia yang berada di ruangan itu menatapku jeri. Tidak kubalasi pandangan mereka selain meremas kotak cincin di tanganku."Aku akan membujuknya lagi. Setidaknya agar Viana bisa datang kemari menemui kalian dulu," usul Kak Kazan."Enggak perlu." Aku berdiri setelah selesai bergumul dengan pikiranku sendiri. "Biar aku yang cari Viana. Aku yang akan bicara padanya."Kotak cincin kumasukan ke saku celana. Mulai pergi keluar rumah berjalan mengikuti kaki ini pergi.Aku memang tak tahu dimana Viana berada. Bisa saja ia sembunyi di sudut yang tak terlihat. Atau ke tempat yang tidak aku tahu.Aku hanya merasa perlu keluar dari rumah itu. Atau semua yang datang merasa kasihan, mencecarku dengan kalimat iba.Tempo hari aku pernah berkeliling
Kami bergandengan tangan sampai ke rumah Viana. Bisa kulihat yang lain menunggu kami dengan harap-harap cemas. Bukan saja karena langit telah berubah menjadi gelap, tapi juga khawatir aku tak bisa membujuk Viana. Lebih buruk dari itu, aku tak bisa menemukan Viana.Kugenggam kuat tangannya, takut ia melarikan diri lagi. Berkali-kali aku menengok Viana di sampingku. Sekadar memeriksa raut wajahnya juga sembab yang membuatku merasa bersalah.Aku yang pertama melangkahkan kaki ke dalam rumah. Viana berada di belakang, dengan tangan kami masih bergenggaman. Sembunyi di punggungku yang bidang."Bagaimana, Riga?" seru seseorang dari dalam. Biru.Aku memunculkan Viana dari belakangku. Lengkap dengan tangan kami yang menggenggam. Kuacungkan ke udara hingga yang lain bersorak seperti memenangkan kejuaran tinju.Sorakan 'yeah' juga tepukan tangan jadi perayaan atas berhasilnya membujuk Viana untuk datang juga menerima lamaranku.
Pagi-pagi aku dibangunkan oleh aroma masakan yang masuk lewat jendela kamar. Aku keluar dan ternyata kesibukan telah terjadi dari orang-orang rumah.Istri Kak Kazan memasak. Viana menyapu ruangan. Sedangkan Kak Kazan sudah bersiap pergi bertani.Aku sendiri duduk di kursi dekat dapur yang bisa melihat Viana menyapu hingga keluar rumah."Aku pergi dulu ya," sahut Kak Kazan sembari menghampiri istrinya di dapur."Nanti kuantarkan sarapanmu ke sawah," seru istri Kak Kazan merdu.Kulihat dengan pandangan malu-malu, mereka saling mengecup kening juga punggung tangan. Selanjutnya mengucapkan salam yang lazim diucapkan ketika berpisah.Bagiku, ini pemandangan yang indah di pagi hari. Aku jadi iri. Apa pagi hariku nanti dengan Viana akan seperti mereka juga?Kak Kazan menoleh padaku saat ia berjalan menuju keluar."Cobalah lain kali main ke sawah. Sekarang musim panen, sesekali kamu bisa membantuku menga
Hari ini pernikahan Biru dan Nila berlangsung. Pesta dilaksanakan di Bandung. Seluruh keluarga Abimahya berkumpul. Pertama kalinya aku turut serta dalam pertemuan keluarga besar setelah insiden itu.Mau tidak mau, sebab tak mungkin aku tidak datang di pernikahan Biru.Gedung yang dipilih Biru terbilang megah. Dekorasi setiap detailnya mencerminkan sosok direktur utama keluarga Abimahya yang tersohor.Setiap tamu yang datang bukan orang sembarangan. Kenalan dari para petinggi. Orang-orang penting. Biru membuktikan bahwa keluarga kami memang orang terpandang.Viana kuajak juga kemari. Ini kesempatanku membawa masuk Viana sekali lagi sebagai pasanganku. Bukan pura-pura. Kali ini benar-benar sebagai calon istriku.Viana mengenakan gaun biru tua, selaras dengan jas milikku yang dipilihkan Kak Elva. Viana didandani dengan sangat memesona. Riasan natural jadi pilihannya atau semua mata akan tertuju pada si bunga desa dari Sukabumi.
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku