Semua Bab Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Bab 91 - Bab 100

195 Bab

91. Panggung Dimulai

"Seandainya Nara tahu kalau anaknya perempuan, apa dia akan senang?"Aku bergumam. Kukira suaraku tidak kedengaran. Namun Riga menjawabku."Tentu saja dia senang. Dia paling ingin anak perempuan, bukan?"Dia mengatakannya dengan enteng. Seolah di antara kami tidak ada pertengkaran apa pun. Apalagi Riga masih bisa tersenyum simpul."Aku jadi membayangkan, Nara akan mengangkat ujung bibirnya ke atas. Mengendikkan dagu sambil bilang, 'sudah kuduga' dengan gayanya yang sok cool."Riga berceloteh riang sambil mempraktekkan apa yang ia bilang. Benar, ia melakukannya sama persis seperti yang Nara lakukan.Ya, Tuhan. Aku jadi merindukan Nara."Viana, hasil USG nya boleh aku yang simpan?" kata Riga seraya menghalangi jalanku dengan tubuhnya."Buat apa?""Mau aku tunjukkan pada Nara.""Heh, kamu mau bilang kalau kamu dengan Nara sudah berbaikan. Sedangkan denganku, Nara masih menolak bertemu, begitu?""Aku belum bert
Baca selengkapnya

92. Aku Boleh Pulang?

"Oh, ya. Aku bawa buket bunga untukmu." Riga membungkuk ke kursi di belakangnya. Mengambil buket bunga mawar untuk ia serahkan padaku.Buket bunga? Melihatnya membuatku ingat Nara pernah melemparkan bunga padaku. Kelopaknya berguguran, pot pecah, dan hatiku ikut remuk karenanya.“Riga, bisa singkirkan itu. Aku mulai enggak suka dengan buket bunga,” jujurku.Riga menaruh buket di belakang tubuhnya. Paham pada trauma yang terjadi padaku di malam hari itu. Saat-saat yang membuat kami jadi tercerai berai.“Maaf!”Setelah kupikir-pikir Riga selalu mengatakan itu. Ia tulus, aku bisa rasakan itu. Sorot matanya lemah. Tidak setegar biasanya yang senang menjahili atau bicara seenaknya padaku.Sedikitnya aku merasa bersalah sudah mengubah Riga jadi seperti ini. Tapi ... bisakah aku terus menyalahkannya?“Riga ... apa aku ... boleh pulang?”Riga membelalak. Mengangguk berkali-kali tapi juga tidak yakin
Baca selengkapnya

93. Maaf

Dalam keadaan itu, Galanta ikut terkaget dengan darah yang membanjir di kakiku. Ia terbelalak. Mundur perlahan. Lalu dengan segera ia berlari seperti seorang pengecut. Meninggalkan aku yang gemetaran karena takut hal buruk terjadi.Apa yang harus kulakukan?Saking takutnya aku hanya bisa gemetaran di lantai. Tidak seperti saat ditendang Gumi dulu. Ia mengenai perutku, tapi tidak ada darah yang keluar. Lalu ini ... apa yang harus kulakukan?Dengan pikiran pendek, sempit, aku meraih handphone yang terlempar tak jauh dari tempatku. Aku tidak bisa menekan layar dengan benar. Bercak darahnya menempel setiap kuketikkan sesuatu di sana.Aku mencari kontak seseorang. Tapi siapa? Siapa yang bisa kuhubungi sekarang? Orang yang bisa memberikan pertolongan padaku segera.Batinku berteriak Nara, tapi nalarku menolaknya. Ponselnya hilang. Ada atau tidak ada ponsel pun Nara selalu sulit kuhubungi.Riga?Aku tidak berpikir banyak untuk Riga. Segera k
Baca selengkapnya

94. Urusan Balas Dendam

Nara selalu di sisiku. Tidak beranjak sama sekali. Menemaniku setiap detiknya. Melayaniku yang kesakitan sisa-sisa operasi. Membantuku menyeka keringat dengan air hangat. Menyuapiku. Juga mengumpulkan tetes demi tetes air mata.“Aku merindukanmu, Nara,” isakku di sela suapan bubur ke mulutku.“Aku juga,” jawabnya.“Nara kemana saja selama ini?”“Aku gak kemana-mana. Aku selalu ada.”“Tapi kamu gak ada untukku. Kamu gak ada sewaktu aku didorong jatuh oleh Galanta. Kamu gak ada sewaktu aku butuh kamu.”Lagi dan lagi aku menangis. Seolah hanya ingin menyalahkan orang lain. Padahal di hati kecilku aku tahu semua ini salahku. Aku yang bodoh.Nara menurunkan tangannya. Menghela napas panjang seolah memikul beban berat di pundaknya.“Maaf, Viana. Aku menyesal sudah meninggalkanmu.” Nara serius tentang maafnya. Itu yang kubaca dari raut muka juga mata nanar dari Na
Baca selengkapnya

95. Masa Berakhir

“Sudah cukup, Riga. Daripada itu, bukankah sebaiknya kita berhenti dengan pernikahan pura-pura ini. Aku sudah mulai lelah.”Aku dan Nara menoleh pada Riga bersamaan. Aku pun sependapat. Aku ingin mengakhiri ini. Setelah semua menjadi kacau, aku ingin lepas dari ikatan yang memberatkan ini.“Ya, ayo kita berhenti. Kita akhiri semuanya,” ucap Riga lugas.Ia pun sama lelahnya seperti Nara, atau sepertiku. Kurasa kami benar-benar harus mengakhiri ini sebelum semua makin berantakan.Kita berpikir tentang kemungkinan buruknya. Riga mungkin akan kehilangan jabatannya, juga kepercayaan orang-orang di dekatnya. Tapi aku dan Nara, kami kehilangan segalanya.“Aku yang memulai ini. Jadi biarkan aku juga yang mengakhirinya. Tapi ... bolehkah kita lakukan ini setelah Viana membaik? Setelah dia keluar dari sini. Dan kabar keguguran itu gak lagi jadi perbincangan keluargaku,” pinta Riga. “Aku punya banyak perasaan yang har
Baca selengkapnya

96. Uluwatu

Kami berangkat dengan penerbangan pagi. Katanya Biru dan Cyan sudah menunggu di Bali. Mereka yang reservasi vila untuk kami berlima.Dan ternyata aku baru tahu kalau merekalah yang mengusulkan liburan ini setelah mendengar aku keguguran. Refreshing memang dibutuhkan untuk mengalihkan rasa sedih.Tak lama kami pun sampai di bandara. Biru dan Cyan menyambut kami dengan mobil sewaan selama kami di Bali.Biru yang menyetir, sedangkan Cyan menunjukkan jalan kembali ke vila. Tidak terduga, ternyata Biru lemah urusan menghafal jalan. Ia mengandalkan penuh google map. Tapi kebetulan ponselnya mati. Habis daya. Untunglah Cyan cekatan dan bisa mengingat jalan demi jalan.“Bikin malu. Kayak baru kali ini saja ke Bali,” gerutu Cyan di samping bangku Biru.“Aku memang sering ke sini, tapi kan selalu diantar sopir. Mana kuingat jalan ini dan itu.”“Ya, ya, ya, sekarang kamu mau pamer kalau kamu tuan besar, b
Baca selengkapnya

97. Nyalang

Kami pulang menaiki mobil sewaan. Nara yang mengemudi kali ini. Aku di sampingnya. Sedangkan para pria lain kelelahan di bangku belakang mobil.Biru dan Cyan tidur. Hanya Riga yang masih terjaga, menatap jendela gelap di sisi kanannya.Nara menolehku yang tidak melakukan sesuatu apapun selain cemberut. Salah satu tangannya menggenggam tanganku alih-alih memegang kemudi.Aku balas menoleh pada Nara yang sudah mengembalikan tatapannya ke jalanan di depan mobil."Kamu lelah, Viana?" tanya Nara."Hm? Enggak kok. Aku baik-baik saja," balasku tak mau ia jadi mengkhawatirkanku."Besok, kita di vila saja ya. Kamu butuh istirahat.""Aku gak apa-apa. Ini gak bikin capek. Lagipula aku senang jalan-jalan dengan Warnakota."Di dalam mobil gelap, tapi semburat senyum masih bisa kulihat di bibir Nara. Atau kilat matanya menyorotkan rasa cinta. Sungguh, Nara jadi lebih penuh cinta setelah insiden itu."Viana ...," gumam Nara kemudian.
Baca selengkapnya

98. Guratan Hati

Tengah malam aku tidak mendapati Nara di sampingku yang tertidur. Aku keluar untuk mencarinya.Entahlah, sejak aku ditinggalkannya dulu, rasa takut kehilangannya lebih besar. Kalau bisa, aku ingin Nara tidak pergi dariku sejengkal pun. Hanya melakukan segala sesuatu denganku. Tidak jauh-jauh.Maka tengah malam yang dingin pun, aku bergegas mencarinya. Keluar kamar dan menjelajah vila yang terasa hening saat malam tiba.Aku mendengar suara orang berbincang dari arah balkon. Aku mendekat, dan mendapati Nara yang berdiri berpangku tangan ke besi pembatas. Bersama Biru yang melakukan hal sama dengan Nara.Pembicaraan mereka cukup serius. Aku jadi tidak ingin muncul ataupun mengganggunya. Sebab yang mereka bincangkan seputar diriku dan Riga.“Jangan diambil hati. Riga hanya sedang mabuk, dia pasti gak sungguh-sungguh mengatakan hal tadi,” sahut Biru diplomatis.“Enggak, dia serius mengatakannya. Dia memang benar-benar menyukai V
Baca selengkapnya

99. Kalimat Pemancing

Biru dan Cyan menggunakan pesawat yang berbeda dengan kami. Mereka langsung terbang ke Bandung. Cyan pulang ke rumahnya, sedangkan Biru untuk bertemu dengan Nila.Tersisalah kami bertiga dalam keadaan saling diam. Di pesawat, di bandara, ataupun di taksi yang membawa kami pulang ke rumah. Tak ada kalimat berarti yang terucap. Bahkan antara Nara denganku pun tidak. Kami jadi seperti orang bisu.Keadaan menjadi sangat canggung karena esok pengakuan itu akan terungkap di depan keluarga Abimahya.Akhir bulan yang dijanjikan adalah lusa. Kami hanya punya kesempatan satu hari lagi untuk bernapas lega. Untuk beristirahat dari lelah perjalanan jauh. Juga dari tegangnya mengakui kebohongan.Hal ini jauh lebih tegang daripada saat aku hendak memainkan teater di panggung. Karena yang akan kami hadapi nanti bukan sembarang penonton.Berbagai reaksi akan sulit ditebak daripada saat di atas panggung sana. Karena bukan tepuk tangan yang akan kami dapat. Tapi cemo
Baca selengkapnya

100. Inilah Akhirnya

"Apa ini? Apa kalian menipu Bunda?"Lidahku kelu. Seperti ditembak di tempat. Meski kami berniat menjelaskan perihal pernikahan pura-pura ini, tapi bukan seperti ini. Bukan terkesan kepergok.Bunda berdiri sambil mengulurkan tangan. Menyodorkan buku nikah yang jadi pemancing kemarahannya."Tolong bilang kalau buku nikah ini palsu," marah Bunda.Suaranya yang menggelegar, dominan, memancing Kak Elva mendekat. Penasaran ingin tahu."Apa ini, Viana? Kamu menikah dengan Nara? Bukan Riga?" Suaranya makin naik dua oktaf.Aku membeku. Sementara itu, Kak Elva meraih buku nikah di tangan Bunda. Meneliti dan mencari tahu sendiri penyebab marah-marah bundanya."Loh, kok Albian Nara? Wah, ini pasti salah cetak Bunda," Kak Elva bermaksud membela.Tapi ... sudahlah. Terlanjur basah. Kenapa tidak sekalian. Toh, kami memang berniat membuka rahasia."Enggak salah kok, Kak Elva. Memang Albian Nara. Suamiku memang Nara," ungkapku membuat m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
89101112
...
20
DMCA.com Protection Status