Kami berangkat dengan penerbangan pagi. Katanya Biru dan Cyan sudah menunggu di Bali. Mereka yang reservasi vila untuk kami berlima.
Dan ternyata aku baru tahu kalau merekalah yang mengusulkan liburan ini setelah mendengar aku keguguran. Refreshing memang dibutuhkan untuk mengalihkan rasa sedih.
Tak lama kami pun sampai di bandara. Biru dan Cyan menyambut kami dengan mobil sewaan selama kami di Bali.
Biru yang menyetir, sedangkan Cyan menunjukkan jalan kembali ke vila. Tidak terduga, ternyata Biru lemah urusan menghafal jalan. Ia mengandalkan penuh google map. Tapi kebetulan ponselnya mati. Habis daya. Untunglah Cyan cekatan dan bisa mengingat jalan demi jalan.
“Bikin malu. Kayak baru kali ini saja ke Bali,” gerutu Cyan di samping bangku Biru.
“Aku memang sering ke sini, tapi kan selalu diantar sopir. Mana kuingat jalan ini dan itu.”
“Ya, ya, ya, sekarang kamu mau pamer kalau kamu tuan besar, b
Kami pulang menaiki mobil sewaan. Nara yang mengemudi kali ini. Aku di sampingnya. Sedangkan para pria lain kelelahan di bangku belakang mobil.Biru dan Cyan tidur. Hanya Riga yang masih terjaga, menatap jendela gelap di sisi kanannya.Nara menolehku yang tidak melakukan sesuatu apapun selain cemberut. Salah satu tangannya menggenggam tanganku alih-alih memegang kemudi.Aku balas menoleh pada Nara yang sudah mengembalikan tatapannya ke jalanan di depan mobil."Kamu lelah, Viana?" tanya Nara."Hm? Enggak kok. Aku baik-baik saja," balasku tak mau ia jadi mengkhawatirkanku."Besok, kita di vila saja ya. Kamu butuh istirahat.""Aku gak apa-apa. Ini gak bikin capek. Lagipula aku senang jalan-jalan dengan Warnakota."Di dalam mobil gelap, tapi semburat senyum masih bisa kulihat di bibir Nara. Atau kilat matanya menyorotkan rasa cinta. Sungguh, Nara jadi lebih penuh cinta setelah insiden itu."Viana ...," gumam Nara kemudian.
Tengah malam aku tidak mendapati Nara di sampingku yang tertidur. Aku keluar untuk mencarinya.Entahlah, sejak aku ditinggalkannya dulu, rasa takut kehilangannya lebih besar. Kalau bisa, aku ingin Nara tidak pergi dariku sejengkal pun. Hanya melakukan segala sesuatu denganku. Tidak jauh-jauh.Maka tengah malam yang dingin pun, aku bergegas mencarinya. Keluar kamar dan menjelajah vila yang terasa hening saat malam tiba.Aku mendengar suara orang berbincang dari arah balkon. Aku mendekat, dan mendapati Nara yang berdiri berpangku tangan ke besi pembatas. Bersama Biru yang melakukan hal sama dengan Nara.Pembicaraan mereka cukup serius. Aku jadi tidak ingin muncul ataupun mengganggunya. Sebab yang mereka bincangkan seputar diriku dan Riga.“Jangan diambil hati. Riga hanya sedang mabuk, dia pasti gak sungguh-sungguh mengatakan hal tadi,” sahut Biru diplomatis.“Enggak, dia serius mengatakannya. Dia memang benar-benar menyukai V
Biru dan Cyan menggunakan pesawat yang berbeda dengan kami. Mereka langsung terbang ke Bandung. Cyan pulang ke rumahnya, sedangkan Biru untuk bertemu dengan Nila.Tersisalah kami bertiga dalam keadaan saling diam. Di pesawat, di bandara, ataupun di taksi yang membawa kami pulang ke rumah. Tak ada kalimat berarti yang terucap. Bahkan antara Nara denganku pun tidak. Kami jadi seperti orang bisu.Keadaan menjadi sangat canggung karena esok pengakuan itu akan terungkap di depan keluarga Abimahya.Akhir bulan yang dijanjikan adalah lusa. Kami hanya punya kesempatan satu hari lagi untuk bernapas lega. Untuk beristirahat dari lelah perjalanan jauh. Juga dari tegangnya mengakui kebohongan.Hal ini jauh lebih tegang daripada saat aku hendak memainkan teater di panggung. Karena yang akan kami hadapi nanti bukan sembarang penonton.Berbagai reaksi akan sulit ditebak daripada saat di atas panggung sana. Karena bukan tepuk tangan yang akan kami dapat. Tapi cemo
"Apa ini? Apa kalian menipu Bunda?"Lidahku kelu. Seperti ditembak di tempat. Meski kami berniat menjelaskan perihal pernikahan pura-pura ini, tapi bukan seperti ini. Bukan terkesan kepergok.Bunda berdiri sambil mengulurkan tangan. Menyodorkan buku nikah yang jadi pemancing kemarahannya."Tolong bilang kalau buku nikah ini palsu," marah Bunda.Suaranya yang menggelegar, dominan, memancing Kak Elva mendekat. Penasaran ingin tahu."Apa ini, Viana? Kamu menikah dengan Nara? Bukan Riga?" Suaranya makin naik dua oktaf.Aku membeku. Sementara itu, Kak Elva meraih buku nikah di tangan Bunda. Meneliti dan mencari tahu sendiri penyebab marah-marah bundanya."Loh, kok Albian Nara? Wah, ini pasti salah cetak Bunda," Kak Elva bermaksud membela.Tapi ... sudahlah. Terlanjur basah. Kenapa tidak sekalian. Toh, kami memang berniat membuka rahasia."Enggak salah kok, Kak Elva. Memang Albian Nara. Suamiku memang Nara," ungkapku membuat m
"BUNDA!!!"Kepanikan terjadi. Riga menghambur kepada Bunda yang tergolek tak sadarkan diri. Disusul Kak Elva yang berteriak histeris memanggil-manggil Bunda.Riga bertindak sebagai dokter yang mengobservasi keadaan Bunda saat itu. Memeriksa embus napasnya, kelopak mata Bunda yang terpejam, juga denyut nadi di pergelangan tangan.Melihat Riga piawai melakukannya, sudah barang tentu hal ini pernah terjadi di kehidupannya lalu.Riga belajar menanggapi saat-saat genting seperti ini bila bundanya tak sadarkan diri. Kambuh dengan penyakit jantungnya."Nara, siapkan mobil. Ayo kita bawa Bunda ke rumah sakit!" Riga memerintah.Bergegas Nara melakukan apa yang disuruh padanya. Ia raih kunci di atas rak, berlari ke garasi tempat mobil terparkir.Sedangkan Riga menggendong Bunda dengan otot kekarnya. Ia bawa keluar menuju mobil yang disiapkan Nara. Kak Elva mengekor.Lalu aku ..., aku masih saja tercenung di tempatku. Kejadian yang tiba-t
Di dalam, Bunda menyambutku dengan wajah sedih juga sembab."Bunda, aku minta maaf. Aku gak bermaksud melukai Bunda," lirihku.Aku mendekat. Takut-takut ke sisi ranjangnya."Bunda kecewa padamu, Viana," gumamnya kemudian. "Bunda sudah sangat menyayangimu. Bunda menganggap kamu sebagai anakku sendiri. Tapi kebohongan ini benar-benar membuat Bunda bersedih.""Maaf, Bunda!""Bunda jadi ingat, kamu pernah bilang gak bisa menerima Riga karena ada seseorang yang kamu sukai. Apa maksudmu saat itu Nara?"Aku terisak. "Iya!""Apa kamu pernah sekali saja menyukai Riga, menyukai anakku?""Enggak, Bunda. Aku hanya mencintai suamiku."Bunda menangis lagi. Kali ini ia tidak menyeka air matanya. Sama seperti yang kulakukan ini."Kalau begitu, pergilah Viana. Aku gak mau kamu menyakiti Riga lebih banyak. Aku bundanya, aku tahu dia mencintaimu sangat besar. Awalnya Bunda kira wajar saja dia menyukaimu karena kamu istrinya. Tapi se
Teriakan demi teriakan Paman Danavy melengking menyiksa indera pendengaran. Ia tidak berhenti memekik, menunjuk-nunjuk hidungku, mengatakan tentang arti sebuah kebohongan.Aku tidak punya ayah, makanya Paman memposisikan diri sebagai ayahku. Sekalian sebagai bos yang kuasa memerintah untuk mencabut jabatan sebagai direktur utamaku.Paman melakukan itu sehari setelah Bunda keluar dari rumah sakit. Ia mengumumkan di hadapan para karyawanku. Riga Abimahya diturunkan secara tidak terhormat.Kabar mengenai pernikahan pura-puraku terendus. Aku dijuluki si licik yang menghalalkan segala cara. Si penipu yang menjebak istri orang hanya demi mendapatkan tahta.Aku terima itu semua. Merasa pantas diberi gelar tersebut setelah apa yang kuberikan pada mereka. Kebohongan.Tidak ada sesi serah terima jabatan. Tidak ada jabat tangan apalagi ucapan selamat. Posisi itu kosong begitu saja. Ditandai dengan dilemparnya papan nama arklirik milikku oleh Paman Danavy. Ia
“Kamu mau bunuh diri? Ayo sini, biar aku menghajarmu sampai mati.”Huh, unik sekali gaya menasehatinya.Aku menyeringai pada Biru. Tertawa dengan lelucon yang disertai kepalan tangan yang nyata darinya.Aku tidak percaya padanya. Seorang Biru, yang membunuh nyamuk saja tidak bisa. Ia sesumbar tentang menghajarku. Kalau Nara yang mengatakannya baru aku tergugah. Biru tidak.“Kamu bisa memukulku, Biru? Lakukan! Jangan seperti Nara, yang menghajarku saja dia gak bisa.”“Jangan mengejekku!” suara gertakan giginya terasa nyata. Juga sorot mata yang menunjukkan ia benar-benar marah padaku.Aku mendengus. Menyepelekannya. Sengaja memancing Biruni Abimahya, sepupuku yang juga kawan di Warnakota. Orang yang sekarang menjabat sebagai direktur utama sebagai penggantiku.Hebat sekali ia tidak perlu menikah dulu untuk dapat jabatan itu. Hanya perlu menggulingkanku. Bravo Biru!“Ayo, hajar s
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku