Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 101 - Chapter 110

195 Chapters

101. Nyanyian Penolakan

"BUNDA!!!"Kepanikan terjadi. Riga menghambur kepada Bunda yang tergolek tak sadarkan diri. Disusul Kak Elva yang berteriak histeris memanggil-manggil Bunda.Riga bertindak sebagai dokter yang mengobservasi keadaan Bunda saat itu. Memeriksa embus napasnya, kelopak mata Bunda yang terpejam, juga denyut nadi di pergelangan tangan.Melihat Riga piawai melakukannya, sudah barang tentu hal ini pernah terjadi di kehidupannya lalu.Riga belajar menanggapi saat-saat genting seperti ini bila bundanya tak sadarkan diri. Kambuh dengan penyakit jantungnya."Nara, siapkan mobil. Ayo kita bawa Bunda ke rumah sakit!" Riga memerintah.Bergegas Nara melakukan apa yang disuruh padanya. Ia raih kunci di atas rak, berlari ke garasi tempat mobil terparkir.Sedangkan Riga menggendong Bunda dengan otot kekarnya. Ia bawa keluar menuju mobil yang disiapkan Nara. Kak Elva mengekor.Lalu aku ..., aku masih saja tercenung di tempatku. Kejadian yang tiba-t
Read more

102. Aku Ingin Mengucapkan Selamat Tinggal

Di dalam, Bunda menyambutku dengan wajah sedih juga sembab."Bunda, aku minta maaf. Aku gak bermaksud melukai Bunda," lirihku.Aku mendekat. Takut-takut ke sisi ranjangnya."Bunda kecewa padamu, Viana," gumamnya kemudian. "Bunda sudah sangat menyayangimu. Bunda menganggap kamu sebagai anakku sendiri. Tapi kebohongan ini benar-benar membuat Bunda bersedih.""Maaf, Bunda!""Bunda jadi ingat, kamu pernah bilang gak bisa menerima Riga karena ada seseorang yang kamu sukai. Apa maksudmu saat itu Nara?"Aku terisak. "Iya!""Apa kamu pernah sekali saja menyukai Riga, menyukai anakku?""Enggak, Bunda. Aku hanya mencintai suamiku."Bunda menangis lagi. Kali ini ia tidak menyeka air matanya. Sama seperti yang kulakukan ini."Kalau begitu, pergilah Viana. Aku gak mau kamu menyakiti Riga lebih banyak. Aku bundanya, aku tahu dia mencintaimu sangat besar. Awalnya Bunda kira wajar saja dia menyukaimu karena kamu istrinya. Tapi se
Read more

103. Kacau

Teriakan demi teriakan Paman Danavy melengking menyiksa indera pendengaran. Ia tidak berhenti memekik, menunjuk-nunjuk hidungku, mengatakan tentang arti sebuah kebohongan.Aku tidak punya ayah, makanya Paman memposisikan diri sebagai ayahku. Sekalian sebagai bos yang kuasa memerintah untuk mencabut jabatan sebagai direktur utamaku.Paman melakukan itu sehari setelah Bunda keluar dari rumah sakit. Ia mengumumkan di hadapan para karyawanku. Riga Abimahya diturunkan secara tidak terhormat.Kabar mengenai pernikahan pura-puraku terendus. Aku dijuluki si licik yang menghalalkan segala cara. Si penipu yang menjebak istri orang hanya demi mendapatkan tahta.Aku terima itu semua. Merasa pantas diberi gelar tersebut setelah apa yang kuberikan pada mereka. Kebohongan.Tidak ada sesi serah terima jabatan. Tidak ada jabat tangan apalagi ucapan selamat. Posisi itu kosong begitu saja. Ditandai dengan dilemparnya papan nama arklirik milikku oleh Paman Danavy. Ia
Read more

104. Ungkapkan Saja

“Kamu mau bunuh diri? Ayo sini, biar aku menghajarmu sampai mati.”Huh, unik sekali gaya menasehatinya.Aku menyeringai pada Biru. Tertawa dengan lelucon yang disertai kepalan tangan yang nyata darinya.Aku tidak percaya padanya. Seorang Biru, yang membunuh nyamuk saja tidak bisa. Ia sesumbar tentang menghajarku. Kalau Nara yang mengatakannya baru aku tergugah. Biru tidak.“Kamu bisa memukulku, Biru? Lakukan! Jangan seperti Nara, yang menghajarku saja dia gak bisa.”“Jangan mengejekku!” suara gertakan giginya terasa nyata. Juga sorot mata yang menunjukkan ia benar-benar marah padaku.Aku mendengus. Menyepelekannya. Sengaja memancing Biruni Abimahya, sepupuku yang juga kawan di Warnakota. Orang yang sekarang menjabat sebagai direktur utama sebagai penggantiku.Hebat sekali ia tidak perlu menikah dulu untuk dapat jabatan itu. Hanya perlu menggulingkanku. Bravo Biru!“Ayo, hajar s
Read more

105. Selayang Pandang

"Enggak nyangka ya, efeknya jadi heboh begini." Cyan mendelikku tajam."Atau ... dari awal kamu sudah menduga, efeknya akan seperti ini."Tatapan curiga mengarah padaku yang berada tak jauh di sampingnya terduduk."Enggak, lah. Aku gak mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada Nara atau Viana. Ini di luar pemikiranku," sangkalku.Cyan mengendurkan delikan matanya. Nampak menyerah mencurigaiku."Memangnya rencanamu akan sampai kapan pernikahan pura-pura kalian?"Aku menyeringai. "Seumur hidup, kalau bisa.""Gila. Berarti kamu siap gak berpasangan seumur hidup, dong. Karena meskipun orang-orang tahunya kamu sudah beristri, tetap saja Viana bukan istri sahmu."Kuakui pemikiran itu sempat terlintas juga di benakku. Selamanya hanya jadi penonton romantisme mereka.Kupikir setidaknya sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Kami tinggal beralasan tidak cocok lagi, lalu memutuskan cerai. Dan kam
Read more

106. Untuk Dilupakan

Aku berbincang dengan wanita penulis itu. Dibantu Cyan, akhirnya aku tahu nama wanita itu. Adia. Penulis yang sudah menelurkan puluhan buku.Adia sangat kooperatif. Ia mengangguk setuju waktu kutawari untuk bergabung dengan perusahaan baruku.Padahal belum ada fisiknya, masih berada di anganku. Namun Adia yakin hanya dari genggaman tanganku yang kuat, kata-kata yang lugas. Juga tatapan mata tegas.Pertemuan kami berakhir dengan bertukar nomor telepon. Secepatnya akan kukabari setelah perusahaan mulai mengambil langkah awal.Semalaman aku berkutat dengan kertas-kertas. Membangun ide, membuat daftar kebutuhan, menciptakan perusahaan impian.Sampai pagi dan Cyan pamit untuk berangkat kerja, aku masih saja larut dalam coretan bank ide. Kadung mengalir. Kutumpahkan semua memanfaatkan waktu pengasinganku.Meski masih acak, tidak runut, banyak yang perlu penambalan di sana sini. Tapi aku semangat dengan ide yang ter
Read more

107. Dari Rio Sampai Akita

"Baiklah, aku akan ikut pak Riga," jawab Rio setelah cukup lama ia memutar-mutar sedotan di gelas. Berpikir panjang. "Tapi aku punya syarat," lanjutnya."Syarat apa?"Rio memicingkan mata sipitnya padaku. Kabar angin mengatakan tatapan matanya bisa membunuh siapa pun. Itu bukan isapan jempol belaka. Ia sedang melakukan itu padaku.Meski akulah yang mendapuk sebagai atasannya, tapi tatapan mata Rio tak pilih kasih. Mengintimidasi."Aku gak ingin gajiku di Abimahya corp dikurangi. Kalau ditambah sih boleh saja," lanjut Rio tanpa mengubah raut mukanya.Aku menyeringai. Aku suka orang yang punya kepribadian. Daripada menyembunyikan masalah ini, sudah benar ia mengatakannya lebih dulu. Masalah gaji memang sensitif. Dan aku sudah memikirkan perihal yang satu ini."Tenang saja, perusahaanku masih di bawah naungan Abimahya Corp. Gajimu aman, intensif dan biaya lembur masih sama dengan di sini. Hanya beda penempatan kerja."
Read more

108. Aku Suka Di Sini

Perusahaanku sudah berjalan tiga bulan. Belum banyak yang tahu. Masih tahap pengenalan.Biru pernah menawarkan tentang promosi kantor kami menggunakan embel-embel Abimahya Corp, tapi kutolak.Abimahya corp sudah sangat besar, mudah sekali bagi tim mereka mengangkat satu nama ke khalayak ramai. Sayangnya aku tidak tergerak untuk itu.Aku ingin membuktikan bahwa aku dan timku bisa mendongkrak nama baik kami sendiri. Aku ingin berdiri tanpa bantuan mereka.Bunda tahu aku berusaha sangat banyak di perusahaan baru. Ia mengunjungi kantor yang merangkap jadi tempat tinggal ini.Sudah lama aku tidak menemuinya. Mungkin sekitar dua tahun, sejak kuumumkan pernikahan palsu itu padanya. Sejak ia tumbang karena sakit jantungnya.Syukurlah, Bunda terlihat lebih sehat wal afiat. Meski tak bisa dipungkiri kalau raut wajahnya memancarkan kesedihan. Sebab sejak hari itu, aku dikucilkan keluarga Abimahya. Bahkan tidak diizinkan menghadi
Read more

109. Hilang Ditelan Bumi

"Riga ... apa kamu ... masih mengingat Nara dan Viana?"Aku diam. Menolak untuk menjawab. Bohong kalau kubilang aku sudah melupakan mereka. Sebesar apa pun aku mencoba, bayang-bayang mereka tetap ada. Terlebih Viana."Apa kamu ... gak mendapatkan informasi apa pun tentang mereka? Enggak mungkin kan, mereka hilang ditelan bumi."Aku pura-pura terpejam. Tidak mendengar. Aku tidak mau topik ini keluar dari mulutnya. Cukup sekali aku melihat Bunda kambuh dari penyakit jantungnya."Riga ... Bunda gak benar-benar benci mereka. Bunda bisa paham keadaan mereka. Bunda ... ingin minta maaf, terutama pada Viana.""Bun, sudahlah. Aku berjanji pada Nara gak akan mencarinya saat mereka pergi. Aku juga berjanji akan melupakan tentangnya.""Lalu kamu menuruti permintaan Nara? Semudah itu?"Aku mendengus, untuk kemudian bangun dari pangkuan Bunda. Sekarang kami saling menatap. Aku menghela napas di depannya. Menunjukkan ges
Read more

110. Mencari Kemana

"Plat nomor siapa ini?" Rio bertanya."Motor Nara."Rio ataupun Akita tidak ada yang berucap. Aku memang tak mengharapkan reaksi apa-apa dari mereka. Namun ruangan mendadak sunyi. Hanya detak jam yang menengahi.Rio menyabet kertas dari tanganku. Duduk di depan komputer dan mengatakan kata itu dengan culas."Aku gak peduli dengan masalah kalian, yang penting jangan lupa gaji double-ku.""Oke!"Rio mulai mengetik sesuatu di layar. Menampilkan deret-deret huruf dan angka, juga tab yang terbuka di sana sini.Aku makin mendekat ke sisi Rio. Begitu pun Akita. Kami berdua jadi seperti dayang yang berada di kanan kiri Rio.Rio melakukannya dengan cepat, sampai tidak bisa kutangkap apa saja yang ia ketik tadi. Tahu-tahu layar menjadi hitam, lalu muncullah sesuatu seperti google map.Satu ketikan lagi dan melakukan zoom in sendiri. Makin dekat menunjuk di bel
Read more
PREV
1
...
910111213
...
20
DMCA.com Protection Status