Share

108. Aku Suka Di Sini

Penulis: Liani April
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Perusahaanku sudah berjalan tiga bulan. Belum banyak yang tahu. Masih tahap pengenalan.

Biru pernah menawarkan tentang promosi kantor kami menggunakan embel-embel Abimahya Corp, tapi kutolak.

Abimahya corp sudah sangat besar, mudah sekali bagi tim mereka mengangkat satu nama ke khalayak ramai. Sayangnya aku tidak tergerak untuk itu.

Aku ingin membuktikan bahwa aku dan timku bisa mendongkrak nama baik kami sendiri. Aku ingin berdiri tanpa bantuan mereka.

Bunda tahu aku berusaha sangat banyak di perusahaan baru. Ia mengunjungi kantor yang merangkap jadi tempat tinggal ini.

Sudah lama aku tidak menemuinya. Mungkin sekitar dua tahun, sejak kuumumkan pernikahan palsu itu padanya. Sejak ia tumbang karena sakit jantungnya.

Syukurlah, Bunda terlihat lebih sehat wal afiat. Meski tak bisa dipungkiri kalau raut wajahnya memancarkan kesedihan. Sebab sejak hari itu, aku dikucilkan keluarga Abimahya. Bahkan tidak diizinkan menghadi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   109. Hilang Ditelan Bumi

    "Riga ... apa kamu ... masih mengingat Nara dan Viana?"Aku diam. Menolak untuk menjawab. Bohong kalau kubilang aku sudah melupakan mereka. Sebesar apa pun aku mencoba, bayang-bayang mereka tetap ada. Terlebih Viana."Apa kamu ... gak mendapatkan informasi apa pun tentang mereka? Enggak mungkin kan, mereka hilang ditelan bumi."Aku pura-pura terpejam. Tidak mendengar. Aku tidak mau topik ini keluar dari mulutnya. Cukup sekali aku melihat Bunda kambuh dari penyakit jantungnya."Riga ... Bunda gak benar-benar benci mereka. Bunda bisa paham keadaan mereka. Bunda ... ingin minta maaf, terutama pada Viana.""Bun, sudahlah. Aku berjanji pada Nara gak akan mencarinya saat mereka pergi. Aku juga berjanji akan melupakan tentangnya.""Lalu kamu menuruti permintaan Nara? Semudah itu?"Aku mendengus, untuk kemudian bangun dari pangkuan Bunda. Sekarang kami saling menatap. Aku menghela napas di depannya. Menunjukkan ges

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   110. Mencari Kemana

    "Plat nomor siapa ini?" Rio bertanya."Motor Nara."Rio ataupun Akita tidak ada yang berucap. Aku memang tak mengharapkan reaksi apa-apa dari mereka. Namun ruangan mendadak sunyi. Hanya detak jam yang menengahi.Rio menyabet kertas dari tanganku. Duduk di depan komputer dan mengatakan kata itu dengan culas."Aku gak peduli dengan masalah kalian, yang penting jangan lupa gaji double-ku.""Oke!"Rio mulai mengetik sesuatu di layar. Menampilkan deret-deret huruf dan angka, juga tab yang terbuka di sana sini.Aku makin mendekat ke sisi Rio. Begitu pun Akita. Kami berdua jadi seperti dayang yang berada di kanan kiri Rio.Rio melakukannya dengan cepat, sampai tidak bisa kutangkap apa saja yang ia ketik tadi. Tahu-tahu layar menjadi hitam, lalu muncullah sesuatu seperti google map.Satu ketikan lagi dan melakukan zoom in sendiri. Makin dekat menunjuk di bel

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   111. Esensi Pertemuan

    Aku menatapi Viana yang berada sekitar dua meter dariku. Tiap jengkal wajahnya. Tiap lekuk demi lekuk. Itu benar Viana yang kukenal.Tidak banyak yang berubah dari Viana. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, juga bukan waktu yang lama.Namun melihatnya masih sama, membuatku merasa waktu mendadak berhenti. Seperti baru kemarin ia pergi dengan Nara.Rombongan wanita itu berjalan makin dekat. Dan Viana belum juga menyadari keberadaanku. Jalannya menunduk, poni panjang menyembunyikan kelopak matanya dari penglihatanku.Orang-orang di depan Viana menatapku sambil berbisik. Terkikik geli. Seolah di wajahku ada sesuatu menempel. Atau hal-hal lain yang lucu.Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah Viana merespon kekehan teman-teman di depannya. Ia terpancing dan ... akhirnya melihat ke arahku.Viana berada sejajar dengan bahuku ketika tatapan kami bersirobok. Matanya membelalak. Seperti melihat hantu di siang bolong.Bisa kuselami kedalam

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   112. Nampak Nyata

    "Hei, Riga. Ada apa?"Kuabaikan pertanyaannya. Lari secepat yang aku bisa. Aku tak mau kehilangan sosok Nara. Meski itu artinya aku meninggalkan Cyan juga Khiva di belakang sana.Entah kenapa trotoar penuh pejalan kaki seperti sekarang. Semua tumpah di jalanan. Namun dalam sekejap aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan selintas itu.Ada bazzar di jalanan ini. Pasar tumpah bahasa umumnya. Semua pedagang mulai dari barang kecil sampai besar, ada di sini. Mengisi sepanjang trotoar.Kerumunan inilah yang menghalangi pemandangan mataku pada Nara. Serasa makin jauh, timbul tenggelam. Cara jalan Nara yang tak pernah menoleh kanan kiri, membuatku hampir kehilangan siluet dirinya.Kemudian ... keramaian itu hilang di belokan trotoar. Hanya satu dua orang yang menghalangi. Kini sosok Nara jelas tergambar nyata.Bila tadi aku masih menerka-nerka. Sekarang aku sangat yakin. Itu Nara yang kukenal."NARA!" teriakku bermeter-meter jauhnya di belaka

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   113. Yang Menyulam

    "Mereka bercerai. Nara dan Viana bercerai. Sudah satu tahun lalu."Berita itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hati. Tidak ada yang kami ucapkan lagi. Saling membisu di tengah laju mobil membelah angin malam.Cyan mengantarku sampai ke kantor yang merangkap rumah itu. Masih saja ia tidak berucap apa pun. Cyan pulang tanpa sempat mengucapkan pamit atau basa-basi tak perlu.Aku pun begitu. Masih terlalu kaget dengan kabar yang tak kupercayai ini.Bagaimana bisa. Viana dan Nara. Hubungan kuat di antara mereka. Rasa cinta yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Mereka bercerai?Hasil dari berita buruk ini aku tak bisa tidur semalaman. Terus saja berguling-guling resah menatapi langit-langit kamar. Kuingat-ingat lagi ekspresi Viana saat bertemu denganku terakhir kali. Ada pancaran sedih yang teramat sangat.Kukira itu karena kami bertemu dengan cara seperti itu. Kalau saja aku tahu mereka bercerai, apa mungkin aku masih menganggap tatapan

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   114. Enggak Cukupkah?

    Namun, Viana menghentikan langkah kakinya tiba-tiba. Aku turut berhenti juga. Lalu Viana menoleh. Untuk pertama kalinya kudengar ia memanggil namaku lagi.“Riga!" suaranya lirih.Bagiku itu seperti simphoni, atau lagu ninabobo yang menentramkan hati. Aku selalu suka saat ia memanggil namaku."Cukup. Jangan ikuti aku lagi!" lanjutnya kemudian.Aku masih terdiam. Terlalu terpana dengan suara merdu yang ia ucapkan. Sekarang aku berkhayal ia meneriakkan namaku berkali-kali, seperti dulu."Viana." Gantian, aku yang memanggilnya. "Ada yang mau kutanyakan padamu."Sepertinya Viana tahu kalimat apa yang akan meluncur dari mulutku. Sebab ia mengembuskan napas sebelum kalimat pertamaku terucap."Kenapa kamu bercerai dengan Nara?"Viana tidak menjawab. Ia hanya bermain-main dengan napasnya sendiri. Menghela, lalu mengembuskan kembali.Viana tidak berusaha untuk sekedar menjawab pertanyaanku

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   115. Rencana Ke Depan

    Aku disuguhi nasi juga lauk dan sayur yang melimpah di meja makan. Istri Kak Kazan bantu mengambilkan piring juga nasi. Selanjutnya menyerahkan padaku untuk mengambil laukku sendiri.Katakanlah aku tidak tahu malu, kubabat semua lauk di meja makan. Semua kepalang enak, membuat lidahku serasa menari dengan cita rasanya.Kami tak bersuara saat aku makan. Hanya bunyi sendok yang bertubrukan dengan piring. Ataupun bunyi menggerus ketika kulahap kerupuk sebagai lauk.Istri kak Kazan duduk di hadapanku. Ia menontoni aksi makanku yang terbilang liar. Pikirnya, aku pasti selapar itu menyantap semua hidangan yang ia suguhkan."Setelah kamu makan ini, pulang ya." Istri Kak Kazan memberi syarat.Aku mengangguk saja seperti penurut. Ia memberikanku minum teh hangat. Asap masih mengepul dari gelas. Bisa kubayangkan akan nikmatnya meminum itu setelah makanku selesai.Sambil makan, aku melihat kanan kiri ruangan ini. Ada banyak foto

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   116. Andai Kau Bahagia

    "Viana ... aku ingin kamu." Kugunakan intonasi sejelas-jelasnya. Mengatakan yang ingin kukatakan dari lubuk hatiku."Hiduplah denganku. Aku janji akan membuatmu bahagia."Viana menyentak. "Enggak, Riga. Aku gak sudi hidup dengan kamu."Viana menggunakan segenap kekuatan untuk melepaskan diri dariku. Dan ia berhasil. Viana mundur selangkah dariku, ia lempar keresek berisi piyama ke dadaku. Melemparnya dengan keras."Setelah apa yang kamu dan keluargamu lakukan padaku, kamu masih berani bilang begitu?" nadanya menanjak."Aku minta maaf.""Jangan minta maaf. Itu sudah terlambat, Riga. Kamu dan keluargamu jahat. Aku benci kalian." Viana siap menangis.Istri Kak Kazan benar, Viana kehilangan keceriaannya. Jadi lebih mudah menangis. Jadi lebih sensitif. Seandainya ada yang bisa kulakukan untuk mengubah itu."Aku sudah didepak keluarga Abimahya. Aku juga sudah kehilangan semuanya. Bisakah kita hidup ber

Bab terbaru

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   195. My Happy Ending

    "Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   194. Menunggumu

    "Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   193. Keputusan

    Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   192. Kembali

    "Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   191. Stres dan Trauma

    “Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   190. Harusnya

    Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   189. Diamlah!

    “Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   188. Melamar

    Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   187. Asal Restu

    Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku

DMCA.com Protection Status