"Hei, Riga. Ada apa?"
Kuabaikan pertanyaannya. Lari secepat yang aku bisa. Aku tak mau kehilangan sosok Nara. Meski itu artinya aku meninggalkan Cyan juga Khiva di belakang sana.
Entah kenapa trotoar penuh pejalan kaki seperti sekarang. Semua tumpah di jalanan. Namun dalam sekejap aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan selintas itu.
Ada bazzar di jalanan ini. Pasar tumpah bahasa umumnya. Semua pedagang mulai dari barang kecil sampai besar, ada di sini. Mengisi sepanjang trotoar.
Kerumunan inilah yang menghalangi pemandangan mataku pada Nara. Serasa makin jauh, timbul tenggelam. Cara jalan Nara yang tak pernah menoleh kanan kiri, membuatku hampir kehilangan siluet dirinya.
Kemudian ... keramaian itu hilang di belokan trotoar. Hanya satu dua orang yang menghalangi. Kini sosok Nara jelas tergambar nyata.
Bila tadi aku masih menerka-nerka. Sekarang aku sangat yakin. Itu Nara yang kukenal.
"NARA!" teriakku bermeter-meter jauhnya di belaka
"Mereka bercerai. Nara dan Viana bercerai. Sudah satu tahun lalu."Berita itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hati. Tidak ada yang kami ucapkan lagi. Saling membisu di tengah laju mobil membelah angin malam.Cyan mengantarku sampai ke kantor yang merangkap rumah itu. Masih saja ia tidak berucap apa pun. Cyan pulang tanpa sempat mengucapkan pamit atau basa-basi tak perlu.Aku pun begitu. Masih terlalu kaget dengan kabar yang tak kupercayai ini.Bagaimana bisa. Viana dan Nara. Hubungan kuat di antara mereka. Rasa cinta yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Mereka bercerai?Hasil dari berita buruk ini aku tak bisa tidur semalaman. Terus saja berguling-guling resah menatapi langit-langit kamar. Kuingat-ingat lagi ekspresi Viana saat bertemu denganku terakhir kali. Ada pancaran sedih yang teramat sangat.Kukira itu karena kami bertemu dengan cara seperti itu. Kalau saja aku tahu mereka bercerai, apa mungkin aku masih menganggap tatapan
Namun, Viana menghentikan langkah kakinya tiba-tiba. Aku turut berhenti juga. Lalu Viana menoleh. Untuk pertama kalinya kudengar ia memanggil namaku lagi.“Riga!" suaranya lirih.Bagiku itu seperti simphoni, atau lagu ninabobo yang menentramkan hati. Aku selalu suka saat ia memanggil namaku."Cukup. Jangan ikuti aku lagi!" lanjutnya kemudian.Aku masih terdiam. Terlalu terpana dengan suara merdu yang ia ucapkan. Sekarang aku berkhayal ia meneriakkan namaku berkali-kali, seperti dulu."Viana." Gantian, aku yang memanggilnya. "Ada yang mau kutanyakan padamu."Sepertinya Viana tahu kalimat apa yang akan meluncur dari mulutku. Sebab ia mengembuskan napas sebelum kalimat pertamaku terucap."Kenapa kamu bercerai dengan Nara?"Viana tidak menjawab. Ia hanya bermain-main dengan napasnya sendiri. Menghela, lalu mengembuskan kembali.Viana tidak berusaha untuk sekedar menjawab pertanyaanku
Aku disuguhi nasi juga lauk dan sayur yang melimpah di meja makan. Istri Kak Kazan bantu mengambilkan piring juga nasi. Selanjutnya menyerahkan padaku untuk mengambil laukku sendiri.Katakanlah aku tidak tahu malu, kubabat semua lauk di meja makan. Semua kepalang enak, membuat lidahku serasa menari dengan cita rasanya.Kami tak bersuara saat aku makan. Hanya bunyi sendok yang bertubrukan dengan piring. Ataupun bunyi menggerus ketika kulahap kerupuk sebagai lauk.Istri kak Kazan duduk di hadapanku. Ia menontoni aksi makanku yang terbilang liar. Pikirnya, aku pasti selapar itu menyantap semua hidangan yang ia suguhkan."Setelah kamu makan ini, pulang ya." Istri Kak Kazan memberi syarat.Aku mengangguk saja seperti penurut. Ia memberikanku minum teh hangat. Asap masih mengepul dari gelas. Bisa kubayangkan akan nikmatnya meminum itu setelah makanku selesai.Sambil makan, aku melihat kanan kiri ruangan ini. Ada banyak foto
"Viana ... aku ingin kamu." Kugunakan intonasi sejelas-jelasnya. Mengatakan yang ingin kukatakan dari lubuk hatiku."Hiduplah denganku. Aku janji akan membuatmu bahagia."Viana menyentak. "Enggak, Riga. Aku gak sudi hidup dengan kamu."Viana menggunakan segenap kekuatan untuk melepaskan diri dariku. Dan ia berhasil. Viana mundur selangkah dariku, ia lempar keresek berisi piyama ke dadaku. Melemparnya dengan keras."Setelah apa yang kamu dan keluargamu lakukan padaku, kamu masih berani bilang begitu?" nadanya menanjak."Aku minta maaf.""Jangan minta maaf. Itu sudah terlambat, Riga. Kamu dan keluargamu jahat. Aku benci kalian." Viana siap menangis.Istri Kak Kazan benar, Viana kehilangan keceriaannya. Jadi lebih mudah menangis. Jadi lebih sensitif. Seandainya ada yang bisa kulakukan untuk mengubah itu."Aku sudah didepak keluarga Abimahya. Aku juga sudah kehilangan semuanya. Bisakah kita hidup ber
Hari-hariku berubah cerah setelah mendapat senyuman Viana. Seperti doping. Membangkitkan semangat saat ingatanku kembali ke hari itu.Memang bukan senyum secara langsung. Tak masalah. Itu saja sudah membuatku bahagia.Di kantor, kami sedang mengadakan meeting.Kemarin, Khiva memberi kabar kalau terjadi lonjakan pengguna user di aplikasi kami.Hal itu terjadi setelah Cyan memasang iklan bahwa setiap penulis yang rutin mengupdate cerita di aplikasi kami, akan mendapatkan bonus, atau bahasa lainnya gaji. Tapi tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang tak merugikan pihak mana pun.Sumber dananya sendiri berasal dari sponsor yang kami temui di Surabaya sana. Mereka menjanjikan dana yang besar asalkan rating aplikasi kami tinggi. Dan sejauh ini nilai kami memang terbilang besar, 4,9 dari 5.Kami menguraikan lagi sistematis aplikasi, merundingkan bagian-bagian yang dirasa kurang, juga untung rugi.
Kuabaikan segala pemikiran. Kuraih dagu Viana untuk mendongak. Lalu ... kucium ia. Tepat di bibirnya.Viana berontak. Tapi kutangkap tengkuknya, mendorong lebih dalam hingga ciuman kami lebih melekat.Rasa asin dari air mata Viana jadi dominan di indera pengecapku. Hal itu tidak membuatku berhenti. Kulumat bibir tipisnya hingga Viana tak berkutik lagi.Bahkan kubawa pinggangnya masuk ke lingkaran tubuhku. Awalnya Viana menarik-narik diri, meninju dadaku. Namun, perlahan ia mulai pasrah dan menikmati ritme sentuhan di bibir kami.Sama seperti waktu itu. Sebuah khilaf yang mengawali tercerai berainya kami. Sekarang aku tidak peduli. Tidak ada Nara yang harus kujaga hatinya. Hanya Viana seorang yang ada di pikiranku.Kuakhiri ciuman kami. Masih kupeluk Viana agar tidak kabur. Wanita itu menunduk lagi. Sembunyi di dadaku."Mari kita gak perumit ini lagi, Viana. Aku menyukaimu. Kamu juga menyukaiku. Kita hanya harus saling
Tak bisa dipungkiri, perusahaanku bergerak maju. Bahkan cukup melejit untuk ukuran perusahaan yang baru seumur jagung.Satu per satu mulai bertambah karyawan baru. Bagian back office seperti administrasi dan keuangan, juga customer service dan SPG.Kami tidak lagi tinggal di kantor yang merangkap rumah. Perlahan aku bisa membangun gedung bertingkat tiga yang layak dijadikan kantor bergengsi.Aku bisa membeli rumah di kawasan real estate. Rio dan Akita menyewa kontrakan tak jauh dari rumahku.Kemajuan dalam urusan pekerjaan, berbanding lurus dengan urusan percintaanku dengan Viana.Ia tidak lagi meracau tentang apa ia pantas bahagia, atau apakah tak adil pada Nara. Viana kini lebih cenderung terbuka. Menerimaku dengan lapang dada.Pernah satu waktu, saat aku mengunjungi lagi di tempatnya bekerja. Viana hendak pulang, baru bubar dan berpamitan. Ia berpapasan denganku yang saat itu berdiri dekat pagar.Aku mela
"Riga, aku mau beli itu." Viana menunjuk salah satu stand. Harumanis."Kamu suka harumanis?"Viana mengangguk seperti anak kecil. "Aku selalu ingin coba harumanis yang besar, tapi malu kalau beli dengan teman.""Kenapa malu?""Nanti dikatai seperti anak kecil.""Di depanku, kamu gak malu.""Karena kamu lebih seperti anak kecil untukku."Maksudnya memuji atau menyindirku, nih?Viana terkekeh sedangkan dahiku mengernyit padanya. Viana menarik tangan kami yang menggenggam.Kami jalan ke stand harumanis. Membeli satu dengan bentuk bunga yang besar. Mata Viana membulat juga mulut ternganga ketika harumanis berada di tangannya.Coba lihat, siapa yang seperti anak kecil sekarang?Kami mengitari pasar malam. Melihat banyak atraksi, wahana yang dinaiki anak-anak, juga pedagang demi pedagang yang mencuci mata.Selama itu Viana tak lepas menggenggam tanganku. Harumanis juga sudah habis setengahnya.Aku d
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku