Aku berbincang dengan wanita penulis itu. Dibantu Cyan, akhirnya aku tahu nama wanita itu. Adia. Penulis yang sudah menelurkan puluhan buku.
Adia sangat kooperatif. Ia mengangguk setuju waktu kutawari untuk bergabung dengan perusahaan baruku.Padahal belum ada fisiknya, masih berada di anganku. Namun Adia yakin hanya dari genggaman tanganku yang kuat, kata-kata yang lugas. Juga tatapan mata tegas.Pertemuan kami berakhir dengan bertukar nomor telepon. Secepatnya akan kukabari setelah perusahaan mulai mengambil langkah awal.Semalaman aku berkutat dengan kertas-kertas. Membangun ide, membuat daftar kebutuhan, menciptakan perusahaan impian.Sampai pagi dan Cyan pamit untuk berangkat kerja, aku masih saja larut dalam coretan bank ide. Kadung mengalir. Kutumpahkan semua memanfaatkan waktu pengasinganku.Meski masih acak, tidak runut, banyak yang perlu penambalan di sana sini. Tapi aku semangat dengan ide yang ter"Baiklah, aku akan ikut pak Riga," jawab Rio setelah cukup lama ia memutar-mutar sedotan di gelas. Berpikir panjang. "Tapi aku punya syarat," lanjutnya."Syarat apa?"Rio memicingkan mata sipitnya padaku. Kabar angin mengatakan tatapan matanya bisa membunuh siapa pun. Itu bukan isapan jempol belaka. Ia sedang melakukan itu padaku.Meski akulah yang mendapuk sebagai atasannya, tapi tatapan mata Rio tak pilih kasih. Mengintimidasi."Aku gak ingin gajiku di Abimahya corp dikurangi. Kalau ditambah sih boleh saja," lanjut Rio tanpa mengubah raut mukanya.Aku menyeringai. Aku suka orang yang punya kepribadian. Daripada menyembunyikan masalah ini, sudah benar ia mengatakannya lebih dulu. Masalah gaji memang sensitif. Dan aku sudah memikirkan perihal yang satu ini."Tenang saja, perusahaanku masih di bawah naungan Abimahya Corp. Gajimu aman, intensif dan biaya lembur masih sama dengan di sini. Hanya beda penempatan kerja."
Perusahaanku sudah berjalan tiga bulan. Belum banyak yang tahu. Masih tahap pengenalan.Biru pernah menawarkan tentang promosi kantor kami menggunakan embel-embel Abimahya Corp, tapi kutolak.Abimahya corp sudah sangat besar, mudah sekali bagi tim mereka mengangkat satu nama ke khalayak ramai. Sayangnya aku tidak tergerak untuk itu.Aku ingin membuktikan bahwa aku dan timku bisa mendongkrak nama baik kami sendiri. Aku ingin berdiri tanpa bantuan mereka.Bunda tahu aku berusaha sangat banyak di perusahaan baru. Ia mengunjungi kantor yang merangkap jadi tempat tinggal ini.Sudah lama aku tidak menemuinya. Mungkin sekitar dua tahun, sejak kuumumkan pernikahan palsu itu padanya. Sejak ia tumbang karena sakit jantungnya.Syukurlah, Bunda terlihat lebih sehat wal afiat. Meski tak bisa dipungkiri kalau raut wajahnya memancarkan kesedihan. Sebab sejak hari itu, aku dikucilkan keluarga Abimahya. Bahkan tidak diizinkan menghadi
"Riga ... apa kamu ... masih mengingat Nara dan Viana?"Aku diam. Menolak untuk menjawab. Bohong kalau kubilang aku sudah melupakan mereka. Sebesar apa pun aku mencoba, bayang-bayang mereka tetap ada. Terlebih Viana."Apa kamu ... gak mendapatkan informasi apa pun tentang mereka? Enggak mungkin kan, mereka hilang ditelan bumi."Aku pura-pura terpejam. Tidak mendengar. Aku tidak mau topik ini keluar dari mulutnya. Cukup sekali aku melihat Bunda kambuh dari penyakit jantungnya."Riga ... Bunda gak benar-benar benci mereka. Bunda bisa paham keadaan mereka. Bunda ... ingin minta maaf, terutama pada Viana.""Bun, sudahlah. Aku berjanji pada Nara gak akan mencarinya saat mereka pergi. Aku juga berjanji akan melupakan tentangnya.""Lalu kamu menuruti permintaan Nara? Semudah itu?"Aku mendengus, untuk kemudian bangun dari pangkuan Bunda. Sekarang kami saling menatap. Aku menghela napas di depannya. Menunjukkan ges
"Plat nomor siapa ini?" Rio bertanya."Motor Nara."Rio ataupun Akita tidak ada yang berucap. Aku memang tak mengharapkan reaksi apa-apa dari mereka. Namun ruangan mendadak sunyi. Hanya detak jam yang menengahi.Rio menyabet kertas dari tanganku. Duduk di depan komputer dan mengatakan kata itu dengan culas."Aku gak peduli dengan masalah kalian, yang penting jangan lupa gaji double-ku.""Oke!"Rio mulai mengetik sesuatu di layar. Menampilkan deret-deret huruf dan angka, juga tab yang terbuka di sana sini.Aku makin mendekat ke sisi Rio. Begitu pun Akita. Kami berdua jadi seperti dayang yang berada di kanan kiri Rio.Rio melakukannya dengan cepat, sampai tidak bisa kutangkap apa saja yang ia ketik tadi. Tahu-tahu layar menjadi hitam, lalu muncullah sesuatu seperti google map.Satu ketikan lagi dan melakukan zoom in sendiri. Makin dekat menunjuk di bel
Aku menatapi Viana yang berada sekitar dua meter dariku. Tiap jengkal wajahnya. Tiap lekuk demi lekuk. Itu benar Viana yang kukenal.Tidak banyak yang berubah dari Viana. Dua tahun bukan waktu yang sebentar, juga bukan waktu yang lama.Namun melihatnya masih sama, membuatku merasa waktu mendadak berhenti. Seperti baru kemarin ia pergi dengan Nara.Rombongan wanita itu berjalan makin dekat. Dan Viana belum juga menyadari keberadaanku. Jalannya menunduk, poni panjang menyembunyikan kelopak matanya dari penglihatanku.Orang-orang di depan Viana menatapku sambil berbisik. Terkikik geli. Seolah di wajahku ada sesuatu menempel. Atau hal-hal lain yang lucu.Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanyalah Viana merespon kekehan teman-teman di depannya. Ia terpancing dan ... akhirnya melihat ke arahku.Viana berada sejajar dengan bahuku ketika tatapan kami bersirobok. Matanya membelalak. Seperti melihat hantu di siang bolong.Bisa kuselami kedalam
"Hei, Riga. Ada apa?"Kuabaikan pertanyaannya. Lari secepat yang aku bisa. Aku tak mau kehilangan sosok Nara. Meski itu artinya aku meninggalkan Cyan juga Khiva di belakang sana.Entah kenapa trotoar penuh pejalan kaki seperti sekarang. Semua tumpah di jalanan. Namun dalam sekejap aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan selintas itu.Ada bazzar di jalanan ini. Pasar tumpah bahasa umumnya. Semua pedagang mulai dari barang kecil sampai besar, ada di sini. Mengisi sepanjang trotoar.Kerumunan inilah yang menghalangi pemandangan mataku pada Nara. Serasa makin jauh, timbul tenggelam. Cara jalan Nara yang tak pernah menoleh kanan kiri, membuatku hampir kehilangan siluet dirinya.Kemudian ... keramaian itu hilang di belokan trotoar. Hanya satu dua orang yang menghalangi. Kini sosok Nara jelas tergambar nyata.Bila tadi aku masih menerka-nerka. Sekarang aku sangat yakin. Itu Nara yang kukenal."NARA!" teriakku bermeter-meter jauhnya di belaka
"Mereka bercerai. Nara dan Viana bercerai. Sudah satu tahun lalu."Berita itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hati. Tidak ada yang kami ucapkan lagi. Saling membisu di tengah laju mobil membelah angin malam.Cyan mengantarku sampai ke kantor yang merangkap rumah itu. Masih saja ia tidak berucap apa pun. Cyan pulang tanpa sempat mengucapkan pamit atau basa-basi tak perlu.Aku pun begitu. Masih terlalu kaget dengan kabar yang tak kupercayai ini.Bagaimana bisa. Viana dan Nara. Hubungan kuat di antara mereka. Rasa cinta yang tak bisa dikalahkan oleh apa pun. Mereka bercerai?Hasil dari berita buruk ini aku tak bisa tidur semalaman. Terus saja berguling-guling resah menatapi langit-langit kamar. Kuingat-ingat lagi ekspresi Viana saat bertemu denganku terakhir kali. Ada pancaran sedih yang teramat sangat.Kukira itu karena kami bertemu dengan cara seperti itu. Kalau saja aku tahu mereka bercerai, apa mungkin aku masih menganggap tatapan
Namun, Viana menghentikan langkah kakinya tiba-tiba. Aku turut berhenti juga. Lalu Viana menoleh. Untuk pertama kalinya kudengar ia memanggil namaku lagi.“Riga!" suaranya lirih.Bagiku itu seperti simphoni, atau lagu ninabobo yang menentramkan hati. Aku selalu suka saat ia memanggil namaku."Cukup. Jangan ikuti aku lagi!" lanjutnya kemudian.Aku masih terdiam. Terlalu terpana dengan suara merdu yang ia ucapkan. Sekarang aku berkhayal ia meneriakkan namaku berkali-kali, seperti dulu."Viana." Gantian, aku yang memanggilnya. "Ada yang mau kutanyakan padamu."Sepertinya Viana tahu kalimat apa yang akan meluncur dari mulutku. Sebab ia mengembuskan napas sebelum kalimat pertamaku terucap."Kenapa kamu bercerai dengan Nara?"Viana tidak menjawab. Ia hanya bermain-main dengan napasnya sendiri. Menghela, lalu mengembuskan kembali.Viana tidak berusaha untuk sekedar menjawab pertanyaanku
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku