Semua Bab Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Bab 121 - Bab 130

195 Bab

121. Untuk Syarat

"Viana ... menikahlah denganku. Aku ... ingin melakukan 'itu' denganmu."Viana tidak menjawab. Ia sedang berada di atas awan, sedang sakau berkat ciuman panasku.Jemariku bermain di pelipisnya, terus turun sampai ke dagu. Barulah Viana tersadarkan dan membuka kelopak mata.Aku merasa tidak perlu mengulang perkataanku. Ia pasti mendengarku, hanya tidak bisa merespon dengan benar.“Enggak boleh. Batas kita hanya sampai ciuman. Kamu mau kita kepergok dan diarak warga?” Viana malah mengancam.“Makanya kubilang ayo menikah. Jadikan hubungan kita halal dan aku bebas melakukan ini itu.”Viana merengut. Ia bahkan memundurkan tubuhnya dariku.“Aku ... masih trauma dengan hubungan pernikahan,” ungkapnya tanpa menutup-nutupi.Aku jadi merasa bersalah sudah membuat Viana muram dan menundukkan kepala dalam-dalam. Harusnya aku tahu ini. Pernikahan Viana tak berjalan mulus, membincangkan satu masalah ini ak
Baca selengkapnya

122. Lihat Lebih Dekat

Pada akhirnya aku pulang ke rumah Bunda. Aku memberitahunya di telepon bahwa akan pulang sore ini.Bunda senang bukan main. Ia bahkan menghidangkan berbagai masakan kesukaanku. Menyambutku dengan hangatnya juga pelukan yang tidak kulakukan sesering dulu.“Makan yang banyak. Kamu jadi kelihatan kurus sekarang,” perintah Bunda sambil menyendokkan nasi ke piringku.Aku mengangguk. Tidak keberatan menghabiskan semua masakan yang sengaja ia buat dari pagi ini. Kalau pun tersisa akan kubawa ke rumah untuk kubagi dengan Rio dan Akita.Bunda memandangiku dengan tatapan rindu selagi aku makan. Bola matanya nanar dan kutebak ia akan menangis kalau saja aku tidak menghentikannya menatapiku seperti akulah pria yang paling malang sedunia.“Bun, jangan menatapku seperti itu. Aku datang kemari bukan mau melihat Bunda menangis.”Bunda buru-buru menyeka butir air di ujung matanya. Ia tidak sempat jatuh. Bunda menekannya dengan senyum
Baca selengkapnya

123. Implementasi

Lalu ... Viana muncul di pintu. Ia mengucapkan salam. Dan serempak pandangan kami tertuju padanya.Yang pertama berdiri adalah Bunda. Tatapannya juga tatapan Viana saling mencari satu sama lain. Baru kemudian aku mendekat pada Viana yang mematung dekat pintu.Keresek di tangannya terkepal. Raut wajahnya pias bersama bola mata yang nanar. Aku membawakan keresek di tangan Viana sebelum makin mengkerut karena ia remas dengan segenap kekuatan.“Bu-bunda?” katanya terbata.Bunda mengangguk sekali. Ia menangis tanpa tendeng aling-aling. Selanjutnya Bunda berlari ke arah Viana. Memeluknya tepat di hadapanku.“Maafkan Bunda, Sayang. Bunda selalu ingin menemuimu. Bunda merasa bersalah pernah memintamu pergi.” Bunda terisak. Hal itu memancing air mata Viana juga jatuh.Viana tidak membalas pelukan Bunda. Ia masih kaget dengan pertemuan tiba-tiba ini. Atau mungkin, Viana sedang berpikir untuk tidak memaaf
Baca selengkapnya

124. Setengah Jalan

Semua orang berkumpul di rumahku. Berkutat dengan tugas yang kuminta dikerjakan sebelum kami pergi ke Sukabumi.Kotak-kotak seserahan sudah dihias. Isinya beragam hasil pilihan Khiva, Akita dan Rio. Mereka turut di sini, mempercantik beberapa bagian. Menyempurnakan detail yang bisa luput dari pengawasanku."Pak Riga, bunga mawar merah atau mawar pink?" Akita bertanya."Merah, bagus. Hmm ... tapi pink saja. Dia punya kenangan buruk dengan bunga merah.""Oke, aku bawa buket ini ke mobil."Akita melengos bersamaan dengan Khiva menghampiriku."Pak Riga, gaunnya mana yang mau kubungkus?"Khiva membandingkan gaun putih di kiri tangannya, sedangkan gaun kuning di kanan."Hmm ... dua-duanya bagus. Dua-duanya saja.""Baiklah, aku masukan saja keduanya di kotak, ya."Dua orang itu bersemangat. Sejak kemarin saat kuberitahu semua orang aku akan melamar Viana akhir pek
Baca selengkapnya

125. Ilalang

"Maaf, Riga. Viana pergi waktu kuberitahu kamu dan keluargamu datang untuk melamar. Dia ... menolak lamaranmu. Dia ... gak mau menikah denganmu."Satu per satu pasang mata dari manusia yang berada di ruangan itu menatapku jeri. Tidak kubalasi pandangan mereka selain meremas kotak cincin di tanganku."Aku akan membujuknya lagi. Setidaknya agar Viana bisa datang kemari menemui kalian dulu," usul Kak Kazan."Enggak perlu." Aku berdiri setelah selesai bergumul dengan pikiranku sendiri. "Biar aku yang cari Viana. Aku yang akan bicara padanya."Kotak cincin kumasukan ke saku celana. Mulai pergi keluar rumah berjalan mengikuti kaki ini pergi.Aku memang tak tahu dimana Viana berada. Bisa saja ia sembunyi di sudut yang tak terlihat. Atau ke tempat yang tidak aku tahu.Aku hanya merasa perlu keluar dari rumah itu. Atau semua yang datang merasa kasihan, mencecarku dengan kalimat iba.Tempo hari aku pernah berkeliling
Baca selengkapnya

126. Terbawa Mimpi

Kami bergandengan tangan sampai ke rumah Viana. Bisa kulihat yang lain menunggu kami dengan harap-harap cemas. Bukan saja karena langit telah berubah menjadi gelap, tapi juga khawatir aku tak bisa membujuk Viana. Lebih buruk dari itu, aku tak bisa menemukan Viana.Kugenggam kuat tangannya, takut ia melarikan diri lagi. Berkali-kali aku menengok Viana di sampingku. Sekadar memeriksa raut wajahnya juga sembab yang membuatku merasa bersalah.Aku yang pertama melangkahkan kaki ke dalam rumah. Viana berada di belakang, dengan tangan kami masih bergenggaman. Sembunyi di punggungku yang bidang."Bagaimana, Riga?" seru seseorang dari dalam. Biru.Aku memunculkan Viana dari belakangku. Lengkap dengan tangan kami yang menggenggam. Kuacungkan ke udara hingga yang lain bersorak seperti memenangkan kejuaran tinju.Sorakan 'yeah' juga tepukan tangan jadi perayaan atas berhasilnya membujuk Viana untuk datang juga menerima lamaranku.
Baca selengkapnya

127. Ucapkan Sekali Lagi

Pagi-pagi aku dibangunkan oleh aroma masakan yang masuk lewat jendela kamar. Aku keluar dan ternyata kesibukan telah terjadi dari orang-orang rumah.Istri Kak Kazan memasak. Viana menyapu ruangan. Sedangkan Kak Kazan sudah bersiap pergi bertani.Aku sendiri duduk di kursi dekat dapur yang bisa melihat Viana menyapu hingga keluar rumah."Aku pergi dulu ya," sahut Kak Kazan sembari menghampiri istrinya di dapur."Nanti kuantarkan sarapanmu ke sawah," seru istri Kak Kazan merdu.Kulihat dengan pandangan malu-malu, mereka saling mengecup kening juga punggung tangan. Selanjutnya mengucapkan salam yang lazim diucapkan ketika berpisah.Bagiku, ini pemandangan yang indah di pagi hari. Aku jadi iri. Apa pagi hariku nanti dengan Viana akan seperti mereka juga?Kak Kazan menoleh padaku saat ia berjalan menuju keluar."Cobalah lain kali main ke sawah. Sekarang musim panen, sesekali kamu bisa membantuku menga
Baca selengkapnya

128. Siluet

Hari ini pernikahan Biru dan Nila berlangsung. Pesta dilaksanakan di Bandung. Seluruh keluarga Abimahya berkumpul. Pertama kalinya aku turut serta dalam pertemuan keluarga besar setelah insiden itu.Mau tidak mau, sebab tak mungkin aku tidak datang di pernikahan Biru.Gedung yang dipilih Biru terbilang megah. Dekorasi setiap detailnya mencerminkan sosok direktur utama keluarga Abimahya yang tersohor.Setiap tamu yang datang bukan orang sembarangan. Kenalan dari para petinggi. Orang-orang penting. Biru membuktikan bahwa keluarga kami memang orang terpandang.Viana kuajak juga kemari. Ini kesempatanku membawa masuk Viana sekali lagi sebagai pasanganku. Bukan pura-pura. Kali ini benar-benar sebagai calon istriku.Viana mengenakan gaun biru tua, selaras dengan jas milikku yang dipilihkan Kak Elva. Viana didandani dengan sangat memesona. Riasan natural jadi pilihannya atau semua mata akan tertuju pada si bunga desa dari Sukabumi.
Baca selengkapnya

129. Untuk Istriku

Selagi Viana di Bandung, aku mengajaknya berkunjung ke kantorku.Kukenalkan ia sebagai tunanganku. Pada semua staf. Dengan rasa bangga dan jumawa.Tadi kami baru saja memutar di ruang marketing yang dikepalai oleh Ammar dari kantor pusat.Juga tim keuangan dan administrasi. Kali ini kami berada di ruang IT. Tempat Rio dan Akita terpekur dengan komputer juga perangkat lunaknya."Kamu pasti sudah kenal mereka, bukan. Aku gak perlu mengenalkan mereka lagi," kataku ketika di pintu dan memerhatikan Rio ataupun Akita sibuk mengetikkan sesuatu di komputer."Iya, aku kenal mereka. Apalagi Akita." Viana tertawa kecil.Mendengar namanya disebutkan, Akita menoleh pada kami. Kepalanya mendongak untuk melihat Viana."Eh, ada Ibu CEO. Halo, Bu. Senang melihatmu di sini," sapa Akita tanpa beranjak dari mejanya.Dari kemarin ia dan Rio memang punya PR penting menyangkut prototipe baru yang diluncurkan. Mereka bermaksud menyelesaikannya hari in
Baca selengkapnya

130. Lari Lagi?

Kami melakukan sesi pre-wedding di Taman Hutan Raya Dago. Hutannya yang asri, pohon tinggi menjulang, serta efek alamnya memberi kesan mewah.Viana didandani Kak Elva. Mengganti sampai tiga kostum di dalam mobil.Sejauh ini pemotretan berlangsung lancar. Tim fotografer mengarahkan pose demi pose. Membuat momen bahagia menyambut pernikahan kami.Pada pernikahan sebelumnya tidak ada sesi pre-wedding. Jelas saja, yang menikah Viana dengan Nara. Waktu itu pun aku tidak kepikiran melakukan hal-hal semacam ini. Ingin segera melompat saja ke acara ijab kabul yang menegangkan kami semua.Sekarang, dengan sukacita aku menyambut setiap step by step. Menuruti saran Kak Elva dan Bunda, juga teman-teman di kantor. Pre-wedding ini juga ide mereka.Juga honeymoon kami nanti, lagi-lagi dipilihkan Kak Elva. Namun akan kupastikan honeymoon kali ini benar-benar aku yang pergi. Bukan Nara.Kami hendak melaku
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
20
DMCA.com Protection Status