Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 141 - Chapter 150

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 141 - Chapter 150

195 Chapters

141. Menenangkan

“Untuk apa cantik tapi gak bisa punya anak. Lebih baik melacur daripada punya ikatan pernikahan dengannya.”Kuakui lelaki itu punya paras tampan. Badannya tegap dengan dada bidang khas Don Juan. Tapi, mulutnya terlalu kotor bila diimbangi dengan wajahnya yang mulus.Aku sadar, rumah tangga Khiva bukan termasuk urusanku. Namun jariku terkepal mendengar kalimat memuakkan dari mantan suami Khiva yang kutahu bernama Reno.Reno mengecup punggung tangan wanita di sebelahnya, memberikan tatapan intens layaknya sepasang dimabuk cinta.“Khiva terlalu lugu, aku gak suka wanita yang seperti itu. Lebih baik aku denganmu yang agresif dan dominan saat di ranjang ini. Sesekali pria juga ingin diserang, bukan terus-terusan menyerang.”Lagi, kalimatnya berhasil memancing emosiku. Khiva sudah kuanggap sebagai teman. Lebih dari itu, dia seperti adikku. Melihat mantan suaminya memperlakukan Khiva seperti ini, ingin sekali kurobek mulut kotornya
Read more

142. Urusan Kenyamanan

“Akan kuberitahukan ini pada Kak Viana, dasar brengsek!”Gumi pergi berlari keluar ruanganku. Menutup pintu dengan keras dan menghenyakkanku.Aku seperti dipaku di tempat. Khiva yang mengusulkan agar aku mengejarnya. Menghentikan Gumi menyampaikan apa yang ia lihat.Tapi ... untuk apa?Mengejar Gumi hanya memberi pemahaman kalau benar terjadi sesuatu antara aku dengan Khiva. Dia yang salah paham, jangan sampai reaksiku justru mendukung apa yang ia sangkakan tersebut.“Sudah biarkan saja,” tenangku pada Khiva yang panik.“Tapi nanti Bu Viana—““Viana gak percaya sama anak itu lagi. Kalau pun Viana termakan omongannya, aku akan menjelaskan pada Viana.”“Duh, Pak. Aku akan bantu bicara seandainya Bu Viana marah. Aku ..., gak enak loh, Pak!”“Enggak apa-apa. Sudahlah!”Kuminta Khiva melanjutkan apa yang mesti ia kerjakan. Hanya satu catatan,
Read more

143. Dinasehati, Ciri Peduli

“Wanita suka pada pria yang memberi perhatian saat ia terpuruk atau menangis. Jangan sampai hal itu membuat Khiva jadi menyukaimu juga. Aku gak mau bersaing dengan siapa-siapa. Aku hanya mau mengingatkan kalau kamu sudah menikah denganku. Tolong jangan terlalu baik dengan wanita mana pun dan buat mereka jadi menginginkanmu.”Perkataan Viana ada benarnya juga. Harusnya aku bisa mengontrol diri. Aku mengabaikan perasaan Khiva setelah apa yang aku lakukan padanya. Beruntung saat itu Gumi datang dan menghentikan kami. Kalau tidak, mungkin Khiva akan sedikit berharap padaku.Sungguh, aku tak mau memainkan perasaan wanita mana pun. Apalagi perasaan istriku sendiri.Aku mengembuskan napas panjang. Lega karena itu yang Viana pikirkan tentangku. Ia marah bukan karena adegan salah paham antara aku dan Khiva. Tapi ia marah karena takut aku tersesat dan memberi orang lain pengharapan.Viana yang dewasa seperti ini membuatku merasa bangga.Aku terse
Read more

144. Ada Kecurigaan

Studio Latia memang sudah lama dibangun. Para member-nya pun sudah banyak. Tapi baru kali ini aku melihat Viana zumba di studionya sendiri. Ia dibimbing salah satu pelatihnya menirukan koreo untuk musik beat. Beberapa orang duduk menonton, beberapa lagi ikut menari di belakang Viana.Aku bersandar di dekat pintu masuk studio. Menyilangkan kedua tanganku di dada melihat Viana yang begitu lincah mengikuti irama musik. Ia tidak menyadariku datang untuk menjemputnya. Aku juga tidak berusaha membuatnya sadar. Aku terpesona melihatnya menari.Viana tertawa-tawa karena salah langkah dan membuatnya hampir oleng karena menginjak kakinya sendiri. Melihatnya tertawa, aku jadi ikut tertawa di tempatku.Aku suka dengan Viana yang bahagia ini. Mirip seperti saat ia berteater dulu. Wajahnya yang seolah tak memiliki beban. Wajah yang selalu kuusahakan untuk terus hadir bersamanya. Viana-ku yang bahagia.Nampaknya Viana sadar dengan keberadaanku setelah
Read more

145. Hubungan Dengan Nara

Aku tahu cafe tempat mereka janji temu. Sengaja kuberikan selang waktu antara kepergiaan Viana, dengan aku yang menyusulnya.Ya, aku berniat mengikuti Viana yang bertemu dengan Lhasa. Aku tak akan memergokinya. Aku tidak akan seurakan itu. Aku hanya penasaran. Kurasa sebagai suaminya aku patut tahu ia hendak kemana dan mau apa.Aku memarkirkan mobil lumayan jauh dari Cafe Cozy. Dari rumah sudah kusiapkan topi juga masker untuk menyembunyikan wajahku. Kupakai semua itu dan berjalan mantap ke cafe yang mengusung tema modern.Dari pintu masuk mataku berkeliling mencari sosok Viana atau Lhasa, yang mana saja yang sudah sampai duluan.Ternyata baru ada Viana di kursi sofa paling pojok, paling tersembunyi. Sambil menundukkan kepala, aku jalan ke dekat kursinya. Mencari posisi tepat untuk bisa mendengar suara mereka berbincang.Aku memilih kursi yang membelakangi Viana.  Hanya terpaut satu meja. Aku bisa leluasa melepas maskerku dan mendengar saat Vi
Read more

146. Kecuali Rio

Aku telah sampai dua jam lalu di rumah. Kupandangi jendela yang bisa melihat pemandangan dari luar rumah.Aku menunggu Viana. Melihatnya menangis sewaktu di Cafe Cozy, aku tidak punya keberanian untuk menghubunginya. Aku berencana pura-pura tidak tahu tentang pertemuannya dengan Lhasa.Lebih baik begitu, kan. Kalau ia ingin hal ini terbuka, ia akan menceritakannya padaku. Sebaliknya, kalau Viana ingin merahasiakannya, maka akan kuikuti sebaik mungkin.Viana, apa pun yang kamu lakukan, aku tidak peduli. Asalkan kamu tetap kembali padaku. Jadi istriku. Meski hatimu masih penuh dengan Nara, tak apa. Kuharap lambat laun namanya akan terkikis. Tinggal namaku yang di sana.Viana belum juga kembali meski sore sudah mampir di langit. Berkali-kali kulirik handphone, memastikan Viana menghubungiku untuk jemput atau tidak. Nyatanya, handphoneku sepi meski telah kupelototi cukup lama.Dua puluh menit kemudian, sebuah taksi berhenti di depan rumah. Dari jendela
Read more

147. Ada yang Lebih Indah dari Sunset

Khiva memilih Pangandaran sebagai objek wisata kantor. Sebenarnya bisa saja kuajukan tempat lain, tapi Khiva punya satu pemikiran unik khusus untuk rekannya, Rio."Sengaja aku pilih Pangandaran karena gak terlalu jauh kalau pakai motor. Iya, Rio akan naik motor ke sana. Dia mabuk darat kalau pakai mobil atau bus, kalau pakai motor enggak, kok. Rio harus ikut pokoknya."Khiva orang tersolider yang kukenal. Bisa saja sih Rio menolak ikut, apalagi hanya untuk capek-capek mengendarai motor sampai Pangandaran.Tapi, Khiva berhasil membujuknya. Khiva berdalih akan ada acara pembagian doorprize dengan hadiah yang fantastis. Mata Rio mendadak hijau. Apalagi saat disebutkan salah satu hadiahnya sepeda. Dia berharap yang dapat itu.Dasar, mudah sekali membujuk Rio.Akhirnya, setelah berbagai protes dari Akita, Cyan dan Ammar, mereka pun setuju dengan wisata dadakan ini.Selama semua biaya ditanggung kantor, tentu saja mereka harus manut saja.
Read more

148. Lekang Waktu

Aku memilih jujur pada Biru. Dia bisa kupercaya mengenai rahasia yang merupakan aib bagi rumah tanggaku ini. Aku sudah lelah menyimpannya seorang diri. Aku juga butuh ditenangkan.“Kamu tahu kan, sebelumnya aku pernah membongkar sandiwara kalian karena kecerobohan Viana. Dia wanita yang sederhana dan mudah sekali ditebak. Dan melihat apa yang sudah dia lakukan denganmu, aku tahu dia jujur tentang perasaannya. Dia benar-benar menyukaimu, Riga. Dan tentang Nara, itu hanya ketakutanmu saja.”Inilah yang ingin kudengar dari Biru. Dia pandai menyimpulkan. Dia menepuk pundakku sekali. Ada bau persahabatan yang kental darinya.“Percaya saja pada istrimu.” Saran yang bagus. Dan akan kulakukan meskipun itu sulit.Biru memasukkan tangan ke saku celananya. Sikapnya jadi lebih santai daripada tadi. Aku pun menirunya dengan mengembuskan napas lega.“Entah kamu sudah tahu tentang ini atau belum. Nara datang ke pernikahanku. Aku meli
Read more

149. Ada Cyan dan Rio

Viana baru kembali ke kamar setelah pagi. Kudapati ia sedang memandangiku yang masih setengah mengantuk di kasur. Aku tersenyum melihat Viana yang sama cerahnya seperti mentari yang jadi latar belakangnya.“Kamu sedang apa, senyum-senyum begitu. Sedang merencanakan hal jahat, ya?” kataku sembari mengelus pipinya yang berada sejangkauanku.“Sedang memandangimu saja. Ternyata suamiku ganteng juga.”“Baru sadar sekarang?”Dia menggeleng. “Hari ini berkali-kali lipat gantengnya.”Viana bisa juga membuat bibirku tergerak senyum. Aku meraih tubuhnya, kubawa masuk ke rangkulanku agar ia ikut tidur di sisi.“Kamu sudah mandi?” tanyaku setelah menghidu wewangian dari rambut juga lehernya.“Sudah, dong. Jalan-jalan, yuk! Yang lain malah sudah main sepeda, loh.”“Boleh gak, istirahat sebentar lagi. Sambil... hmm...,”Viana mencubit pipiku dengan gem
Read more

150. Ucapan Terima Kasih

"Riga, aku hamil."Hening. Bola mataku berlari ke wajah Viana yang mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan napas. Aku diam, masih mencerna baik-baik apa yang baru saja kudengar ini.“Hah? Ha-hamil?” responku kurang gesit.Viana tak nampak kecewa, ia justru dengan sabar mengulang perkataannya lagi. Kali ini ditambah kalimat penunjang yang membuatku yakin kalau Viana tidak sedang bercanda seperti yang biasa kami lakukan.“Tadi pagi aku test pack di kamar Khiva. Hasilnya, dua garis merah muda yang sangat jelas,” imbuhnya lagi.“Du-dua garis? Positif? Kamu benar hamil? Anakku?” setiap pertanyaan yang kulayangkan hanya dapat anggukan kepala dari Viana. Ia mengangguk dengan pasti dan senyum yang tak lepas membayangi.“Iya, Sayang, iya. Kamu akan jadi ayah.”Aku tidak peduli sekarang berada di mana. Siapa saja yang memerhatikan. Atau seseorang menganggapku gila. Kuangkat tubuh Vian
Read more
PREV
1
...
1314151617
...
20
DMCA.com Protection Status