Semua Bab Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Bab 161 - Bab 170

195 Bab

161. Adaptasi Baru

Aku diantarkan ke dalam lingkungan sekolah. Murid-murid sedang beristirahat, ada yang bermain olahraga di lapangan, bergosip di depan kelas, atau pun memenuhi lorong sambil bersenda gurau. Melihat mereka, membangkitkan masa mudaku sewaktu masih belia seperti mereka.Lab komputer berada di sebelah perpustakaan sekolah. Guru tadi mengantarkanku hanya sampai pintu depan lab. Selanjutnya, tanpa perlu susah payah, pemandangan Nara dengan kemeja putih, duduk di depan komputer sambil dikerubungi murid-murid perempuan, tersaji di depan mataku.Nara sedang menimpali guyonan murid-murid yang sebagian besar berisi rayuan untuk guru tampan macam Nara.Kulihat, Nara banyak tersenyum bersama mereka. Tertawa dengan seringai lebar di bibirnya. Tawa yang tidak pernah kutemukan saat bersamaku dulu.Nara juga lebih banyak bicara dan kesan ramah melekat padanya. Dia sempurna berubah seratus delapan puluh derajat dari Nara yang dulu.Kupandangi Nara di mulut pintu. Seo
Baca selengkapnya

162. Memaafkan Butuh Keberanian

“Kumohon, kembalilah pada Viana.”Suaraku seperti menggema. Di kantin yang sepi. Di hadapan Nara yang mengubah raut wajahnya jadi serius. Pandangan mata kami bersirobok. Pintaku membuat kami jadi canggung kembali, sama seperti saat di rumah sakit kemarin.“Setelah dia bertemu denganmu kemarin, Viana jadi kehilangan gairah. Dia memikirkan banyak hal tentang masa lalu denganmu. Termasuk, merasa bersalah karena membuatmu terluka sangat banyak.”Aku tidak tahu apa yang kukatakan pada Nara. Aku hanya sedang mengungkapkan kegundahanku selama ini. Aku merasa Nara perlu tahu tentang ini.“Dia ingin bertemu denganmu sekali lagi. Mungkin ingin mengutarakan maaf, atau sesuatu yang lain yang belum tuntas antara hubungannya denganmu.”Aku terus bicara. Tidak mengizinkan Nara memotongku dengan kalimatnya yang mungkin akan sangat dewasa, tidak sepertiku yang kekanakkan dan pengecut.“Aku gak mungkin membawa Viana k
Baca selengkapnya

163. Erase

“Viana ... sayang ... aku pulang!”Tidak ada sahutan dari Viana. Mungkin ia sudah tertidur. Atau kalaupun ia bangun, ia lebih memilih pura-pura tidur. Daripada menjawabku yang empat hari meninggalkannya seorang diri.Kupeluk tubuh Viana dari belakang. Melingkarkan tanganku di perutnya. Juga menempelkan kepala pada punggungnya yang berbalut piyama.Kutitipkan segala rindu yang melantun terus menerus sepanjang perjalanan menuju kemari. Aku merindukan Viana.Aku tidak peduli lagi bagaimana Viana mengerucutkan bibir, atau menangis karena pilu. Aku hanya harus memastikannya bahagia, bersamaku.“Maafkan aku. Aku gak sungguh-sungguh saat aku bilang kamu boleh kembali pada Nara,” ujarku pelan.Aku tahu Viana bangun. Saat tanganku mengelus perutnya, Viana sedikit bergerak. Napasnya menghela berat, namun seluruh tubuhnya pasrah dipeluk olehku yang dingin terkena angin malam."Aku cemburu. Aku terlalu takut kehilanganmu.
Baca selengkapnya

164. Sebut Aku Papa

Hari demi hari. Kandungan Viana makin sehat saja. Viana mulai rutin mengikuti senam hamil. Ia melakukannya di Sanggar Latia. Kelas khusus ia buka untuk ibu-ibu hamil lainnya. Jadi ia tidak sendirian.Aku menyukai setiap Viana menikmati kehamilannya yang sudah berusia 8 bulan itu. Ia jadi lebih positif daripada saat terakhir kali.Dan berawal dari pikiran positif, maka janin di perutnya pun akan sehat.Satu yang berubah dari Viana yang biasanya. Dia jadi lebih manja. Tidak mau jauh terlalu lama. Hobinya tidur di pelukanku. Menjadikan lenganku bantalnya. Tubuhku sebagai gulingnya. Dan menghidu aroma tubuhku yang ia bilang harum musky.Dalam sehari hampir tak terhitung berapa kali ia memanggil namaku.Riga. Sayang. Riga. Ayah.Ngomong-ngomong, aku lebih suka dipanggil Papa daripada Ayah.Tak masalah. Aku suka Viana yang begitu. Seolah sosokku memang sangat dibutuhkan. Atau mungkin itu efek kehamilan tri semester akhirnya.
Baca selengkapnya

165. Kebahagiaan Baru

"Iya, Bun?""Riga, istrimu akan melahirkan, sekarang!"Aku terkesiap. Tanpa sadar berdiri dari kursi tempatku terduduk.Khiva melirikku. Heran melihat wajah pucat pasiku."Viana sudah dibawa ke dokter? Sudah mulai pembukaan?" tanyaku.Aku mulai panik. Kuminta Khiva membereskan peralatanku dengan satu isyarat tangan. Khiva mengerti itu dan melakukan yang kusuruh."Sekarang bukaan ke lima. Tadi pagi Viana bilang mulas, setelah dibawa ke dokter ternyata sudah bukaan dua. Ini Bunda keluar kamarnya dulu untuk meneleponmu.""Oke, aku akan pulang sekarang. Bunda tolong temani Viana dulu, ya. Aku usahakan pakai penerbangan paling cepat."Aku tergesa-gesa dan menutup telepon Bunda."Khiva, aku serahkan sisanya padamu. Viana mau melahirkan.""Oke, biar kuurus bagian di sini. Semoga Bu Viana dan bayinya selamat ya, Pak.""Terima kasih."Aku menyabet tas yang sudah diberesi Khiva tadi. Segera a
Baca selengkapnya

166. Inilah Takdir

Usia Lyon sudah satu bulan. Dia makin gempal karena banyak minum ASI, juga tidur.Hebat sekali pengaruh seorang anak. Di kantor, aku selalu ingin cepat pulang. Ingin segera bertemu Lyon. Padahal hanya melihatnya tidur, atau menggeliat dan melakukan hal kecil lain. Tapi aku suka.Viana baru menjadi ibu, tapi sudah luwes menimang juga memperlakukan anak kami dengan lembut.Memang, selama satu bulan ini Bunda turut menemani Viana. Mengajari ini itu dan meminimalisir baby blues yang Bunda beritahukan padaku di suatu malam.“Baby blues cuma dialami oleh ibu yang kurang kasih sayang. Sebisa mungkin berilah istrimu sayang yang sangat luas. Jangan bebankan mengurus anak hanya pada istrimu saja. Itu tanggung jawab kalian berdua. Sesekali, ajaklah juga istrimu menikmati kesukaannya. Bisa kamu ajak makan malam romantis. Atau piknik berdua. Perlakukan dia dengan baik.”Aku selalu menjadikan wejangan Bunda sebagai alasanku untuk me
Baca selengkapnya

167. Pecundang yang Pulang

Kukira setelah keluar dari sandiwara pernikahan dengan Riga, maka usailah drama di antaraku dan Viana.Nyatanya, babak baru dimulai.Viana menyukai Riga. Itu yang kutangkap dari tangisannya malam itu. Dari caranya menyebutkan nama Riga, juga dari perubahan raut wajahnya ketika kusentuh ia.Viana memang tidak bilang. Aku benci dengan pikiranku yang peka ini. Aku lebih memilih pura-pura tidak tahu, daripada harus mengatakan hal itu pada Viana di suatu malam.“Apa kamu menyukai Riga?”Aku ingin ia menyangkal. Sekedar gelengan kepala, atau apa pun aku terima. Tapi Viana tidak berusaha menyangkal. Hanya air matanya turun bersama wajah sendu yang terus membingkai sejak kami pergi dari kediaman Abimahya.Aku ingin marah. Ingin menghancurkan segala yang ada di hadapanku. Tapi aku bisa apa. Rumah saja aku tak punya. Kami terpaksa menginap di rumah Kak Kazan, karena tak tahu lagi harus kemana saat kepura-puraan itu kami putuskan selesai.
Baca selengkapnya

168. Untungnya

Siapa bilang melupakan seseorang itu mudah?Terlebih orang itu adalah Viana. Wanita yang pernah jadi belahan jiwaku. Orang yang membuatku bergerak punya perasaan suka lagi.Banyak yang sudah kutitipkan pada Viana. Hatiku, nalarku, napasku, segalanya. Sekarang aku harus memutuskan semuanya. Menghilangkan lagi seperti saat pada Lhasa dulu.Hari-hariku setelah itu tidak ada yang berjalan mulus. Selalu ada sekelibat bayangan Viana. Selalu ada gema suara Viana di belakang kepalaku, atau di mimpiku. Berulang kali aku menepisnya, membedakan mana anganku, mana kenyataan.Viana muncul dimana-mana. Lebih sering, bahkan saat berbincang dengan Bibi atau Paman. Mereka bertanya apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku sendiri tak tahu jawabannya. Hanya menunduk dan bersikap pengecut.“Bibi masih menyimpan ijazahmu juga sertifikat-sertifikat zaman kuliahmu dulu. Kali saja kamu butuh itu untuk melamar pekerjaan,” seru Bibi.Itu kode agar aku mul
Baca selengkapnya

169. Nomor Telepon Yenan

“Akh, naskahku!”Dua lelaki di hadapanku itu bergerak cepat. Reist mengambilkan laptop yang terbelah antara penutup dan keyboard-nya. Sedangkan lelaki satunya lagi berseru dengan histeris.“Duh, Adia. Gimana sih, sudah seharian kamu nulis naskah. Bisa-bisa hilang tulisanmu di laptop,” lelaki itu panik.“Aaaa~ bagaimana dong? Mana deadline-nya sebentar lagi. Aduh!”Semua orang yang berada di sana panik. Hanya Reist yang kelihatan agak tenang. Ia menaruh laptop kembali ke meja. Melihat seberapa parah laptop wanita bernama Adia itu rusak. Ternyata hentakannya ke lantai membuat laptop sempurna mati total.“Nah kan, rusak. Kamu teledor sekali sih, Adia!” lelaki tadi masih saja menyalahkan Adia.“Yenan, jangan bikin Adia makin panik, dong!” marah Reist pada lelaki yang dipanggilnya Yenan.“Ya, habisnya—““Ini bisa diperbaiki, mungkin
Baca selengkapnya

170. Semoga Aku Bisa

Yenan memberitahu, ia akan pulang ke Surabaya besok lusa. Saat yang sama, Yenan mengajakku pergi bersamanya. Aku menurut setelah berbincang dengan bibi dan pamanku.Mereka hanya ingin aku bekerja, dimana pun tempatnya. Namun aku yakin keinginan sesungguhnya mereka ingin aku lepas dari rasa sedih yang hampir kulakukan tiap hari setelah bercerai dengan Viana.Mungkin, kepergianku ke Surabaya pun menjadi awal kehidupan baru dimana tidak ada Viana di dalamnya. Atau masa lalu yang suram itu.Maka, dengan tekad yang bulat, aku beranjak ke terminal bus yang diberitahu Yenan di telepon. Yenan datang duluan, ia melambaikan tangannya begitu aku sampai di terminal bus lintas kota.“Kamu bawa sertifikat komputermu, kan?” Yenan mengingatkan.“Bawa!” kataku singkat.Setelahnya kami menaiki bus yang telah kami bayar tiketnya via online. Sekedar pemberitahuan, tiketnya Yenan yang belikan. Meskipun Yenan tidak menagih, tapi aku janji
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status