Share

168. Untungnya

Penulis: Liani April
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Siapa bilang melupakan seseorang itu mudah?

Terlebih orang itu adalah Viana. Wanita yang pernah jadi belahan jiwaku. Orang yang membuatku bergerak punya perasaan suka lagi.

Banyak yang sudah kutitipkan pada Viana. Hatiku, nalarku, napasku, segalanya. Sekarang aku harus memutuskan semuanya. Menghilangkan lagi seperti saat pada Lhasa dulu.

Hari-hariku setelah itu tidak ada yang berjalan mulus. Selalu ada sekelibat bayangan Viana. Selalu ada gema suara Viana di belakang kepalaku, atau di mimpiku. Berulang kali aku menepisnya, membedakan mana anganku, mana kenyataan.

Viana muncul dimana-mana. Lebih sering, bahkan saat berbincang dengan Bibi atau Paman. Mereka bertanya apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku sendiri tak tahu jawabannya. Hanya menunduk dan bersikap pengecut.

“Bibi masih menyimpan ijazahmu juga sertifikat-sertifikat zaman kuliahmu dulu. Kali saja kamu butuh itu untuk melamar pekerjaan,” seru Bibi.

Itu kode agar aku mul

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   169. Nomor Telepon Yenan

    “Akh, naskahku!”Dua lelaki di hadapanku itu bergerak cepat. Reist mengambilkan laptop yang terbelah antara penutup dan keyboard-nya. Sedangkan lelaki satunya lagi berseru dengan histeris.“Duh, Adia. Gimana sih, sudah seharian kamu nulis naskah. Bisa-bisa hilang tulisanmu di laptop,” lelaki itu panik.“Aaaa~ bagaimana dong? Mana deadline-nya sebentar lagi. Aduh!”Semua orang yang berada di sana panik. Hanya Reist yang kelihatan agak tenang. Ia menaruh laptop kembali ke meja. Melihat seberapa parah laptop wanita bernama Adia itu rusak. Ternyata hentakannya ke lantai membuat laptop sempurna mati total.“Nah kan, rusak. Kamu teledor sekali sih, Adia!” lelaki tadi masih saja menyalahkan Adia.“Yenan, jangan bikin Adia makin panik, dong!” marah Reist pada lelaki yang dipanggilnya Yenan.“Ya, habisnya—““Ini bisa diperbaiki, mungkin

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   170. Semoga Aku Bisa

    Yenan memberitahu, ia akan pulang ke Surabaya besok lusa. Saat yang sama, Yenan mengajakku pergi bersamanya. Aku menurut setelah berbincang dengan bibi dan pamanku.Mereka hanya ingin aku bekerja, dimana pun tempatnya. Namun aku yakin keinginan sesungguhnya mereka ingin aku lepas dari rasa sedih yang hampir kulakukan tiap hari setelah bercerai dengan Viana.Mungkin, kepergianku ke Surabaya pun menjadi awal kehidupan baru dimana tidak ada Viana di dalamnya. Atau masa lalu yang suram itu.Maka, dengan tekad yang bulat, aku beranjak ke terminal bus yang diberitahu Yenan di telepon. Yenan datang duluan, ia melambaikan tangannya begitu aku sampai di terminal bus lintas kota.“Kamu bawa sertifikat komputermu, kan?” Yenan mengingatkan.“Bawa!” kataku singkat.Setelahnya kami menaiki bus yang telah kami bayar tiketnya via online. Sekedar pemberitahuan, tiketnya Yenan yang belikan. Meskipun Yenan tidak menagih, tapi aku janji

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   171. Enyahlah Nara yang Dulu

    Ternyata Yenan orang yang menyenangkan. Hampir setiap hari ada saja alasanku tertawa karenanya. Ia mengajarkanku bahwa tidak semua orang sekaku dan semenderita aku, selalu ada satu orang yang menjadi penyemangat yang lain. Keceriaan Yenan entah kenapa menyebar pada siapa pun yang dekat dengannya.Contohlah kemarin siang di ruang guru. Aku baru mendapat meja baruku. Belum terisi apa-apa selain tas ranselku yang berisi agenda dan alat tulis. Lacinya juga kosong melompong tanpa meninggalkan apa pun.Yenan menghampiriku. Memberikan segelas kopi dingin di mug kecil dengan tulisan ‘Seya is my sister.’ “Ada banyak pilihan minuman di pantry. Suka kopi atau teh? Atau jus?” Yenan bertanya. “Hari ini kubuatkan kopi, lain kali kalau mau, buat sendiri di sana, oke?”Tanpa sadar aku mengangguk dan kalimat ‘oke’ meluncur begitu saja di mulut. Kuminum kopi dingin buatan Yenan. Menyeruputnya sambil membayangkan dah

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   172. Dan Dia Kembali

    Hari libur, Yenan mengajakku berkeliling di sekitar pasar. Kemarin pertama kalinya aku dapat gaji sebagai guru. Aku ingin membeli beberapa kemeja juga celana katun untuk mengajar.Yenan menunjuk satu toko yang menjadi langganannya. Toko itu terletak tak jauh dari pasar. Aku dan Yenan berjalan-jalan dari kontrakan sampai ke pasar. Lumayan dekat. Jalan kaki saja cukup.“Kamu duluan ke sana ya, aku beli dulu beberapa barang. Adik perempuanku mau pulang, dia pasti akan berisik kalau gak ada pengharum ruangan di rumah,” Yenan memberi tanda akan berbelok di trotoar.“Oh, oke!”Yenan sudah memberitahu tempat itu sebelumnya saat kami pulang kerja kemarin. Aku masih ingat jalannya.Pagi itu, pasar lumayan ramai. Karena hari libur, trotoar dijadikan pasar tumpah yang menjajakan aneka barang dengan harga murah. Pedagang membuka lapaknya dengan menggelar tikar di trotoar. Hanya setengah jalan, sebab setengahnya lagi dipakai untuk para p

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   173. Inisiasi

    Detik itu, saat kami sedang bercakap-cakap, ponsel Yenan berbunyi. Ada nama Seya di layarnya. Yenan mengangkatnya dan menyerukan kalimat pembuka.“Halo?”Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bincangkan, sebab Yenan mendadak bangun dan pergi keluar ruangan. Mereka bicara dengan intens di telepon. Hanya dari pembicaraan satu arah saja, aku bisa tahu kalau mereka begitu akrab. Layaknya teman. Saudari yang awalnya dari teman.“Hei, Nara?” panggil Yenan kemudian setelah menutup panggilan ponselnya.Aku mendongak untuk mendengar ia berucap. “Apa?”“Seya sudah di terminal. Kamu mau antar aku, atau tunggu di sini saja?”“Em, di sini saja. Biar aku rapikan kamar untuk Seya nanti.”Yenan mengangguk dan menyetujui itu. Kami seperti melakukan formasi. Yenan mengambil jaket, merapikan diri dengan menyisir rambut lurus berponinya. Sedangkan aku merapikan kasur di kamarku. Membereskan b

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   174. Kamu Paham?

    “Aku duda,” kataku kemudian. “Baru beberapa bulan ini.”Tatapan Seya sulit kuartikan. Antara cerah tapi mendung. Ia memerhatikan Yenan yang saat itu menunduk seolah tidak mau tahu.Seya tersenyum. “Yes, itu artinya aku bebas mendekatimu, kan?” serunya dengan riang dan mengepalkan tangan ke udara.“Mendekati apa sih, makan sana yang benar,” protes Yenan sembari mengayunkan sendok ke kepala Seya.Wanita itu memang berhasil tertunduk untuk makan. Tapi hanya beberapa detik. Setelahnya cengiran penuh arti terlontar padaku.Lagi-lagi aku tidak menggubris. Kupikir gadis mana yang akan suka dengan duda. Selain karena tabiat yang buruk, seorang duda terindikasi tidak punya kemampuan dalam mempertahankan hubungan. Aku sudah sangat siap dengan pemikiran buruk semacam itu.Namun, pemikiran hanya sebatas pemikiran. Nyatanya aku tidak bisa menebak apa yang Seya pikirkan.Setelah tahu aku duda yang bar

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   175. Ia Alasanku

    Seya menghadiahiku ponsel setibanya di rumah. Aku tak langsung menerimanya. Dahiku mengernyit di hadapan ponsel yang lengkap dengan dus serta paper bag bertuliskan merek ponsel tersebut.“Ini hadiah untuk apa?” tanyaku ketus.“Bukan untuk apa-apa. Memangnya kalau aku mau memberi hadiah harus ada alasannya?” Seya mengendikkan bahu sambil terus memaksaku menerima paper bag berisi ponsel tersebut.Paper bag itu memang sudah beralih ke tanganku sekarang. Namun aku bingung bagaimana menanggapinya.“Aku gak mau menerima ini,” ucapku dingin.“Kenapa?”“Aku gak suka ponsel. Aku bukan orang yang akan mengangkat panggilan dengan cepat atau membalas satu pesan masuk. Lebih baik aku gak punya ponsel,” alasanku jujur.Seya diam beberapa detik. Bola matanya berlari ke wajahku. Pastilah ia merasa aneh dengan jawabanku yang tak lazim ini.“Kenapa?&rdqu

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   176. Ternyata Aku Merindukannya

    “Kalau kamu melakukan semua ini agar aku memerhatikanmu, lebih baik berhenti sekarang. Aku enggak tertarik padamu. Aku juga gak berniat punya pasangan lagi setelah aku bercerai.”Lihatlah. Wajah ceria Seya mendadak suram. Lengkung bibirnya turun. Bola matanya kehilangan kilat yang selalu memesona. Ia pudar seiring kalimat sadis itu lolos dari mulutku.Aku menekan tombol end di layar ponselku. Menghentikan panggilan kami sekaligus menghentikan usaha Seya yang kentara berjuang keras demi aku.Seya masih tidak berucap apa-apa. Kalimatku tadi berhasil membuatnya mematung di tempat.“Mulai sekarang, bersikaplah biasa padaku. Karena sekeras apa pun kamu berusaha, aku gak akan pernah menolehmu. Enggak akan pernah,” ucapku lagi penuh penekanan.Seya menunduk. Biarlah ia terluka sekarang sebelum makin dalam perasaannya. Sebelum makin banyak yang ia lakukan untukku.Aku sudah memutuskan dalam hati setelah berpisah deng

Bab terbaru

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   195. My Happy Ending

    "Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   194. Menunggumu

    "Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   193. Keputusan

    Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   192. Kembali

    "Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   191. Stres dan Trauma

    “Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   190. Harusnya

    Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   189. Diamlah!

    “Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   188. Melamar

    Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   187. Asal Restu

    Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku

DMCA.com Protection Status