Seya menghadiahiku ponsel setibanya di rumah. Aku tak langsung menerimanya. Dahiku mengernyit di hadapan ponsel yang lengkap dengan dus serta paper bag bertuliskan merek ponsel tersebut.
“Ini hadiah untuk apa?” tanyaku ketus.
“Bukan untuk apa-apa. Memangnya kalau aku mau memberi hadiah harus ada alasannya?” Seya mengendikkan bahu sambil terus memaksaku menerima paper bag berisi ponsel tersebut.
Paper bag itu memang sudah beralih ke tanganku sekarang. Namun aku bingung bagaimana menanggapinya.
“Aku gak mau menerima ini,” ucapku dingin.
“Kenapa?”
“Aku gak suka ponsel. Aku bukan orang yang akan mengangkat panggilan dengan cepat atau membalas satu pesan masuk. Lebih baik aku gak punya ponsel,” alasanku jujur.
Seya diam beberapa detik. Bola matanya berlari ke wajahku. Pastilah ia merasa aneh dengan jawabanku yang tak lazim ini.
“Kenapa?&rdqu
“Kalau kamu melakukan semua ini agar aku memerhatikanmu, lebih baik berhenti sekarang. Aku enggak tertarik padamu. Aku juga gak berniat punya pasangan lagi setelah aku bercerai.”Lihatlah. Wajah ceria Seya mendadak suram. Lengkung bibirnya turun. Bola matanya kehilangan kilat yang selalu memesona. Ia pudar seiring kalimat sadis itu lolos dari mulutku.Aku menekan tombol end di layar ponselku. Menghentikan panggilan kami sekaligus menghentikan usaha Seya yang kentara berjuang keras demi aku.Seya masih tidak berucap apa-apa. Kalimatku tadi berhasil membuatnya mematung di tempat.“Mulai sekarang, bersikaplah biasa padaku. Karena sekeras apa pun kamu berusaha, aku gak akan pernah menolehmu. Enggak akan pernah,” ucapku lagi penuh penekanan.Seya menunduk. Biarlah ia terluka sekarang sebelum makin dalam perasaannya. Sebelum makin banyak yang ia lakukan untukku.Aku sudah memutuskan dalam hati setelah berpisah deng
Seya melihatku datang. Matanya mengilat. Senyum membayangi bersama cahaya senja menerpa wajahnya.Baru kali ini aku memerhatikan Seya dengan seksama. Entah karena cahaya senja yang menyadarkanku, atau bukan. Seya sangat cantik. Setiap jengkal di wajahnya diciptakan sempurna oleh Sang Pencipta.Caranya menarik senyum seolah mengobatiku dari segala luka dan sakit hati. Dia oase di padang pasir. Ia jawaban dari doaku yang meminta untuk bahagia.Luar biasa. Inikah efek senja di langit yang memayungi kami. Saat Seya berjalan setengah berlari ke hadapanku, saat itu pula aku merasakan debaran yang sudah lama hilang, kini hadir kembali.Kukira aku tak akan menemukan senyum itu lagi. Kukira aku tak akan mendengarkan Seya melantunkan namaku lagi dengan suara riangnya.“Aku menunggumu pulang, Nara!” katanya sambil setengah melompat di hadapanku. Tangan menyilang di belakang tubuh. Juga mata berkedip manja.Aku tak bisa berucap. Selain menat
“Kenapa kamu tanyakan itu? Apa sekarang kamu berubah pikiran dan mulai menyukai Seya?” tanya Yenan dengan tatapan yang tiba-tiba berubah serius.Aku balas menatapnya. Tidak gentar atau takut dikatakan plin-plan setelah apa yang kulakukan tempo hari pada Seya.“Kenapa? Apa aku aneh kalau bertanya dimana tempat praktek Seya?” kubalikkan pertanyaan Yenan dengan pertanyaan lagi.Yenan membisu. Seperti kalah telak dengan pertanyaanku yang beralasan. Yenan kembali ke lembaran kertas jawaban ujian. Ia menyerah berdebat denganku. Padahal aku tidak punya niat mendebatnya.“Kamu itu. Kalau hatimu tertutup untuk Seya, maka tutuplah terus. Jangan buka tutup begitu, nanti Seya bingung.” Yenan bicara sambil tetap memberi nilai di lembar kertas murid-muridnya.“Seya memang tipe yang lurus. Dia hanya akan memerhatikan apa yang dia sukai. Dia gak peduli kamu akan membalas perasaannya atau enggak. Dia hanya tahu bagaimana ia
“Jangan tunjukkan wajah sedih itu di depanku. Aku bersumpah suatu saat akan membuatmu lupa cara bersedih. Aku akan bawa Nara bahagia bersamaku. Jadi tolong ... mulai hari ini pikirkan saja aku.”Bagiku, itu kalimat yang menenangkan dibanding apa pun. Seseorang membawaku bahagia. Siapa yang tidak mau. Aku tidak pernah mendapat kebahagiaan itu. Berusaha sendiri. Tapi tetap tidak berhasil.Seya membawaku bahagia, apa bisa?Seya menggerakkan kedua telunjuknya di pipiku. Menarik ujung bibirku agar membentuk senyuman.“Nara tampan sekali kalau tersenyum. Aku serius,” desisnya.Aku tidak melakukan senyum yang ia bilang. Aku lebih tertarik menatap Seya yang seolah ada berlian di kedalaman matanya. Cukup lama kami saling bersitatap, tanpa bersuara, tanpa mengubah posisi.Tahu-tahu Yenan muncul dari dalam rumah. Ia terlalu tiba-tiba sampai Seya nyaris melompat dari tempatnya. Kaget.“Kenapa baru pulang sekarang, si
Entah bagaimana Biru tahu alamatku di Surabaya. Selembar undangan dengan nama Biruni Abimahya dan Arnila Pradipta mampir di atas meja ruang tamu."Itu tadi tetangga yang beri. Katanya ada tuan muda yang datang kemari dan menanyakan apa kamu tinggal di sini," celetuk Yenan sembari menggosok giginya di kamar mandi."Apa undangan itu dari orang yang dikenal Nara?" Seya ikut bertanya.Aku mengangguk. Tidak ada gunanya juga menutupi diri dari mereka.Seya mengambil alih undangan yang dari tadi berada di tanganku, tapi tak kubaca apalagi kubuka."Ow, akhir bulan ini," seru Seya setelah membuka undangan berwarna merah muda itu. "Hah, di Bandung? Wow, kamu mau datang ke sana, Nara? Kalau iya, sekalian aku pulang ke rumah di Bandung.""Memangnya kamu mau ikut?" Yenan mewakilkan hal yang berada di kepalaku."Ikut dong. Nara pasti butuh teman untuk ke undangan. Aku bakal dandan cantik, kok. Jadi Nara gak usah malu bawa aku," katanya men
“Aku? Aku sendiri bahkan gak yakin, apa aku bisa bahagia?”“Bisa, karena ada aku di sisi Nara.”Seya meremas tanganku. Bukan kesakitan, tapi kelembutan yang kurasa dari remasan tangannya yang berbarengan dengan senyum mengembang.“Ayo kita datang ke undangan temanmu itu. Berjanjilah setelah melihat mantan istri juga temanmu itu, Nara akan hidup lebih baik dari Nara yang dulu. Aku akan membantu Nara.”Lagi-lagi, Seya menawarkan banyak sekali candu. Sesuatu yang kuanggap sebagai pertolongan. Hal yang kubutuhkan, tapi aku tak tahu mulai dari mana.Setelah kukatakan ini padanya, mungkinkah ia bisa lebih memahamiku. Bisa lebih menganggapku sebagai seorang yang rapuh, alih-alih lelaki yang bertanggung jawab seperti yang ia banggakan.“Aku bersumpah akan membuat Nara bahagia.”Kalimat itu terus terngiang. Berwaktu-waktu. Terus berputar di otak seperti gulungan kaset rusak.Dan atas saran
Sekolah sudah masuk kembali. Aku dan Yenan disibukkan dengan jadwal pelajaran semester dua. Seperti janji Kepala Sekolah, aku ditunjuk jadi penanggung jawab ekstrakulikuler komputer. Sejauh ini semua berjalan baik. Semua bisa terkendali dengan mudah.Mengenai hubunganku dengan Seya, itu juga baik. Dia juru kecerianku. Setiap hari ada saja hal-hal yang membuatku ingin melancarkan senyum juga tawa saat bersamanya.Yenan tahu tentang hubungan kami. Ia setuju saja. Tapi sedikit protektif. Katanya, kami dilarang berduaan di rumah, atau di kamar. Katanya, dilarang melakukan ini itu sebelum resmi menikah.Yenan sangat primitif. Lagipula aku tidak seagresif itu. Dan Seya tidak segenit itu untuk menyerangku duluan saat kami berdua saja di rumah tanpa Yenan.Hari ini, aku sedang mengajar di ekskul. Melihat bagaimana mereka mengerjakan tugas animasi untuk dipamerkan di hari perpisahan. Aku membimbing mereka saat tersesat. Selebihnya mereka lah yang berkreasi dengan
Awalnya Seya diam. Mematung. Benar-benar hanya aku saja yang bergerak ke kanan dan ke kiri.Sejenak aku lupa. Seya belum punya catatan pacaran dengan siapa pun. Bisa jadi, ciuman denganku ini juga yang pertama untuknya.“Seya, apa sebelumnya kamu pernah ciuman?” tanyaku sembari berbisik.Seya hanya berkedip. Jiwanya seperti dicabut dari raga. Aku menunggu jawabannya, tapi Seya kehilangan konsentrasi dan hanya bisa melompat-lompatkan biji mata ke wajahku.“Hei, Seya?” Ia tegang lagi hanya dengan kepalaku miring di hadapannya.Seya menelan ludah. Berusaha menyadarkan dirinya dengan gelengan kepala.“Apa, Nara tanya apa tadi?”Dia tidak mendengarku. Jelas ketegangannya sangat kentara di setiap jengkal wajahnya.Seya ... lucu juga.“Enggak jadi. Kita pulang, yuk!”Pergelangan tanganku ditangkap Seya. Aku jadi memutar tubuhku lagi kepadanya dan menunggu reaksinya.
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku