Aku memilih jujur pada Biru. Dia bisa kupercaya mengenai rahasia yang merupakan aib bagi rumah tanggaku ini. Aku sudah lelah menyimpannya seorang diri. Aku juga butuh ditenangkan.
“Kamu tahu kan, sebelumnya aku pernah membongkar sandiwara kalian karena kecerobohan Viana. Dia wanita yang sederhana dan mudah sekali ditebak. Dan melihat apa yang sudah dia lakukan denganmu, aku tahu dia jujur tentang perasaannya. Dia benar-benar menyukaimu, Riga. Dan tentang Nara, itu hanya ketakutanmu saja.”
Inilah yang ingin kudengar dari Biru. Dia pandai menyimpulkan. Dia menepuk pundakku sekali. Ada bau persahabatan yang kental darinya.
“Percaya saja pada istrimu.” Saran yang bagus. Dan akan kulakukan meskipun itu sulit.
Biru memasukkan tangan ke saku celananya. Sikapnya jadi lebih santai daripada tadi. Aku pun menirunya dengan mengembuskan napas lega.
“Entah kamu sudah tahu tentang ini atau belum. Nara datang ke pernikahanku. Aku meli
Viana baru kembali ke kamar setelah pagi. Kudapati ia sedang memandangiku yang masih setengah mengantuk di kasur. Aku tersenyum melihat Viana yang sama cerahnya seperti mentari yang jadi latar belakangnya.“Kamu sedang apa, senyum-senyum begitu. Sedang merencanakan hal jahat, ya?” kataku sembari mengelus pipinya yang berada sejangkauanku.“Sedang memandangimu saja. Ternyata suamiku ganteng juga.”“Baru sadar sekarang?”Dia menggeleng. “Hari ini berkali-kali lipat gantengnya.”Viana bisa juga membuat bibirku tergerak senyum. Aku meraih tubuhnya, kubawa masuk ke rangkulanku agar ia ikut tidur di sisi.“Kamu sudah mandi?” tanyaku setelah menghidu wewangian dari rambut juga lehernya.“Sudah, dong. Jalan-jalan, yuk! Yang lain malah sudah main sepeda, loh.”“Boleh gak, istirahat sebentar lagi. Sambil... hmm...,”Viana mencubit pipiku dengan gem
"Riga, aku hamil."Hening. Bola mataku berlari ke wajah Viana yang mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan napas. Aku diam, masih mencerna baik-baik apa yang baru saja kudengar ini.“Hah? Ha-hamil?” responku kurang gesit.Viana tak nampak kecewa, ia justru dengan sabar mengulang perkataannya lagi. Kali ini ditambah kalimat penunjang yang membuatku yakin kalau Viana tidak sedang bercanda seperti yang biasa kami lakukan.“Tadi pagi aku test pack di kamar Khiva. Hasilnya, dua garis merah muda yang sangat jelas,” imbuhnya lagi.“Du-dua garis? Positif? Kamu benar hamil? Anakku?” setiap pertanyaan yang kulayangkan hanya dapat anggukan kepala dari Viana. Ia mengangguk dengan pasti dan senyum yang tak lepas membayangi.“Iya, Sayang, iya. Kamu akan jadi ayah.”Aku tidak peduli sekarang berada di mana. Siapa saja yang memerhatikan. Atau seseorang menganggapku gila. Kuangkat tubuh Vian
Pagi hari di akhir pekan jadi kegiatan yang menyenangkan. Viana berencana memasak hari ini. Karena libur, aku membantunya. Menciptakan suasana romantis dengan mencincang bawang, merajam daging, juga menumis.Viana koki yang ulung, ia bergerak menguasai dapur, membuatku terpesona saat tangan kurusnya lincah memotong-motong apa pun di talenan.Rambut Viana terburai. Ia mengibaskan dengan bantuan punggung tangan sebab telapaknya kotor habis memegang lengkuas.Ini jadi tugasku sekarang. Kuraih tiap helaian rambutnya, mengikat dengan genggaman tanganku. Kulepaskan ikatan Viana, memperbaiki dengan ikatan versiku.Viana tersenyum. Manis sekali. Ia melanjutkan kegiatan mencincangnya. Dari belakang sini lekuk lehernya kelihatan seksi. Kugerayangi dengan bibirku. Membuat geli Viana yang mengendikkan bahu."Kamu mengganggu," keluh Viana lucu."Habisnya, kamu seksi," godaku sambil menaruh tangan di pinggangnya."Lebih baik kamu bantu aku memotong
Meski tak paham. Tidak tahu apa-apa. Aku menghambur kepada dua orang karyawan yang telah kuanggap sahabatku itu.Beberapa orang bereaksi dengan kedatanganku. Termasuk Rio bisa sedikit tenang dengan tak menerjang tangan-tangan yang menghentikannya.Rio menepiskan tangan dengan sebal. Ia buang muka dariku yang berada di tengah dirinya dan Cyan.“Sebenarnya ada apa ini. Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” bentakku bergantian pada Rio dan Cyan.Keduanya buang muka. Menolak untuk menjelaskan. Sama-sama keras kepala dengan sorot mata benci di mata masing-masing.“Anu, Pak Riga. Rio dan Cyan bertengkar karena Khiva menangis di ruangan Bapak,” jelas seseorang menjawab kebingungan di raut wajahku.Ow, alasan yang membuatku hampir berdecak sebal.Karena Khiva mereka begini?“Ini kantor. Bukan arena adu jotos. Kalau mau berkelahi melampiaskan kekesalan, sana lakukan di luar. Jangan campuri uru
Aku dan Cyan berada satu mobil. Aku yang menyetir untuknya. Sedangkan Cyan sedari tadi masih saja bergumul dengan amarah yang tak ia luapkan seperti Rio.“Hei, jangan berwajah menyebalkan begitu kalau sudah bertemu klien kita. Atau aku akan mencabutmu dari tim pemasaran dan memindahkan ke IT,” kataku sedikit mengancam.Cyan tidak suka itu. Keningnya berkerut, tatapan matanya terhunus tajam. Aku tahu Cyan setidak suka itu dengan yang namanya komputer. Ia tipe pekerja lapangan dan pengatur pertemuan. Komputer apalagi masalah perangkat lunaknya sangat tidak ia sukai. Kebalikan Nara dari dulu.“Saat seperti sekarang jangan berlagak seolah kamu bosnya,” sinis Cyan.“Memang aku bosnya. Dan aku bebas mengatur apa yang menurutku benar untuk perusahaanku sendiri.”Cyan mencebik. Ia buang muka ke sisi jendela yang sengaja ia buka separuhnya karena pengap oleh bau amarah.“Cyan, aku tahu kamu seperti ini untuk
Dari kemarin kulkas rusak. Bagian dalamnya tak terasa dingin. Sedangkan Viana lebih suka susu hamil yang dingin.Pagi ini saat libur, aku membetulkannya. Aku bukan ahli, hanya memutar baut, melepaskan bagian mesin demi mesin. Aku tidak tahu letak yang salah. Hanya kutiupi, melihat-lihat, lalu mengembalikan ke tempat semula.Dengan begitu kulkas tidak langsung menyala, tentu saja. Kerjaku hanya membongkar, bukan membetulkan. Mana ada perubahan.Aku menyerah. Dua jam berkutat dengan mesin juga kabel-kabel tidak membuat kulkas nyala kembali."Fiuh, beli yang baru saja lah, Viana." Aku menyerah.Viana menggeleng. Sedari tadi dia menunggu di kursi sambil mengelus-elus perutnya yang kian membuncit."Padahal masih baru kulkasnya, sayang banget kalau harus ganti yang baru," komentar Viana dengan segala perasaan."Iya, tapi aku gak ngerti cara membenarkannya. Panggil tukang saja, ya?" keluhku sambil duduk di hadapan Viana.
Kehamilan Viana telah menginjak bulan kelima. Sudah tiba waktunya kontrol ke dokter kandungan.Aku setia menemaninya yang siang itu punya jadwal kontrol. Aku izin dari kantorku. Meninggalkan semua urusan pada Khiva yang sudah mulai stabil dengan pekerjaannya. Berkat Cyan.Sekarang kami sedang duduk di ruang tunggu. Menunggu giliran dipanggil perawat untuk masuk ke ruang dokter.Viana nampak tegang, tapi wajahnya sumringah. Kontradiksi yang cantik.Aku mengelus perutnya yang buncit. Meminta dia menurunkan kadar tegangnya hingga tersisa sumringahnya saja."Riga, bagaimana kalau kehamilannya gak sehat. Selama ini gak ada makanan yang masuk dengan benar ke perutku. Aku takut bayinya gak tumbuh," cemas Viana langsung kutepis."Ssst, ibu hamil gak boleh bilang begitu. Optimis saja bayi kita sehat. Makanan yang dimuntahkan itu bukan berarti gak ada yang masuk, kok." Aku menenangkan."Tapi Riga, aku merasa berdosa jarang minum susu hamil kare
Nara datang bersama dua orang, lelaki dan wanita. Dua orang itu bermata sembab, menuju kamar Adia, tempat yang tadi kudatangi sebelum menyusul Viana ke toilet.Nara di belakangnya, tidak ikut menangis seperti dua kawan di depannya. Namun raut kesedihan tetap membingkai wajah tenang Nara.Kulihat Bria keluar dari ruangan saat dua orang itu datang. Tangis mereka bertiga tumpah, apalagi si wanita yang meraung-raung datang ke pelukan Bria."Reist meninggal, Kak Bria? Bagaimana Reist bisa meninggal? Tolong bilang kalau itu bohong, huhuhu!"Wanita dengan ikat ekor kuda mengulang nama Reist berkali-kali di depan Bria.Nara yang tadinya diam saja, dia mengelus pundak wanita itu. Tatapannya nanar. Perhatian tertuju pada wanita yang kuyakin orang yang sama dengan wanita di pernikahan Biru yang lalu."Adia baik-baik saja, kan?" teman satunya lagi tak pelak menanyai kabar Adia.Yang bisa kusimpulkan, dua orang di samping Nara itu teman A
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku