Aku dan Cyan berada satu mobil. Aku yang menyetir untuknya. Sedangkan Cyan sedari tadi masih saja bergumul dengan amarah yang tak ia luapkan seperti Rio.
“Hei, jangan berwajah menyebalkan begitu kalau sudah bertemu klien kita. Atau aku akan mencabutmu dari tim pemasaran dan memindahkan ke IT,” kataku sedikit mengancam.
Cyan tidak suka itu. Keningnya berkerut, tatapan matanya terhunus tajam. Aku tahu Cyan setidak suka itu dengan yang namanya komputer. Ia tipe pekerja lapangan dan pengatur pertemuan. Komputer apalagi masalah perangkat lunaknya sangat tidak ia sukai. Kebalikan Nara dari dulu.
“Saat seperti sekarang jangan berlagak seolah kamu bosnya,” sinis Cyan.
“Memang aku bosnya. Dan aku bebas mengatur apa yang menurutku benar untuk perusahaanku sendiri.”
Cyan mencebik. Ia buang muka ke sisi jendela yang sengaja ia buka separuhnya karena pengap oleh bau amarah.
“Cyan, aku tahu kamu seperti ini untuk
Dari kemarin kulkas rusak. Bagian dalamnya tak terasa dingin. Sedangkan Viana lebih suka susu hamil yang dingin.Pagi ini saat libur, aku membetulkannya. Aku bukan ahli, hanya memutar baut, melepaskan bagian mesin demi mesin. Aku tidak tahu letak yang salah. Hanya kutiupi, melihat-lihat, lalu mengembalikan ke tempat semula.Dengan begitu kulkas tidak langsung menyala, tentu saja. Kerjaku hanya membongkar, bukan membetulkan. Mana ada perubahan.Aku menyerah. Dua jam berkutat dengan mesin juga kabel-kabel tidak membuat kulkas nyala kembali."Fiuh, beli yang baru saja lah, Viana." Aku menyerah.Viana menggeleng. Sedari tadi dia menunggu di kursi sambil mengelus-elus perutnya yang kian membuncit."Padahal masih baru kulkasnya, sayang banget kalau harus ganti yang baru," komentar Viana dengan segala perasaan."Iya, tapi aku gak ngerti cara membenarkannya. Panggil tukang saja, ya?" keluhku sambil duduk di hadapan Viana.
Kehamilan Viana telah menginjak bulan kelima. Sudah tiba waktunya kontrol ke dokter kandungan.Aku setia menemaninya yang siang itu punya jadwal kontrol. Aku izin dari kantorku. Meninggalkan semua urusan pada Khiva yang sudah mulai stabil dengan pekerjaannya. Berkat Cyan.Sekarang kami sedang duduk di ruang tunggu. Menunggu giliran dipanggil perawat untuk masuk ke ruang dokter.Viana nampak tegang, tapi wajahnya sumringah. Kontradiksi yang cantik.Aku mengelus perutnya yang buncit. Meminta dia menurunkan kadar tegangnya hingga tersisa sumringahnya saja."Riga, bagaimana kalau kehamilannya gak sehat. Selama ini gak ada makanan yang masuk dengan benar ke perutku. Aku takut bayinya gak tumbuh," cemas Viana langsung kutepis."Ssst, ibu hamil gak boleh bilang begitu. Optimis saja bayi kita sehat. Makanan yang dimuntahkan itu bukan berarti gak ada yang masuk, kok." Aku menenangkan."Tapi Riga, aku merasa berdosa jarang minum susu hamil kare
Nara datang bersama dua orang, lelaki dan wanita. Dua orang itu bermata sembab, menuju kamar Adia, tempat yang tadi kudatangi sebelum menyusul Viana ke toilet.Nara di belakangnya, tidak ikut menangis seperti dua kawan di depannya. Namun raut kesedihan tetap membingkai wajah tenang Nara.Kulihat Bria keluar dari ruangan saat dua orang itu datang. Tangis mereka bertiga tumpah, apalagi si wanita yang meraung-raung datang ke pelukan Bria."Reist meninggal, Kak Bria? Bagaimana Reist bisa meninggal? Tolong bilang kalau itu bohong, huhuhu!"Wanita dengan ikat ekor kuda mengulang nama Reist berkali-kali di depan Bria.Nara yang tadinya diam saja, dia mengelus pundak wanita itu. Tatapannya nanar. Perhatian tertuju pada wanita yang kuyakin orang yang sama dengan wanita di pernikahan Biru yang lalu."Adia baik-baik saja, kan?" teman satunya lagi tak pelak menanyai kabar Adia.Yang bisa kusimpulkan, dua orang di samping Nara itu teman A
Aku dan Viana berada di mobil untuk pulang. Sedari tadi Viana tidak mengubah raut mukanya setelah bertemu dengan Nara.Aku tahu ia masih kaget dengan pertemuan yang tiba-tiba. Atau pun tak menduga sebab Nara yang dulu sudah berubah.Ya, Nara jauh lebih terlihat ceria sekarang. Apalagi setelah pergi dengan Seya berjalan-jalan seperti katanya. Mereka jalan bergandengan, membuktikan jelas ada hubungan lebih dari sekedar teman biasa dengan Seya.Kami belum beranjak dari parkiran di basement. Viana masih melongo dengan pemandangan yang barusan ia lihat di dalam. Sudah kuduga dampak pertemuan dengan Nara akan sangat besar pada Viana. Tapi Nara yang bersama pasangannya tentu membuat Viana jauh lebih terpukul.“Viana, pakai sabuk pengamannya dengan benar,” kataku.Namun Viana tak juga bereaksi. Lamunan yang ia lakukan malah makin dalam dan tak bertepi.Aku mendengkus. Segera kutarik sabuk pengaman Viana di samping tubuhnya. Kupasangkan d
Aku masih ingat kalimat Viana saat di rumah sakit. Terus berputar-putar seperti kaset rusak.“Kenapa rasanya sakit sekali, Riga? Melihat Nara yang bahagia seperti itu, membuatku sakit hati.”Saat Viana bilang tentang sakit hati, di saat yang sama dadaku berkali-kali lipat sakitnya.Viana masih peduli dengan Nara, di hatinya masih ada Nara. Entah masih dalam jumlah yang besar atau sedikit, hanya saja bagi Viana, Nara tetap raja di hatinya.Kami pulang ke rumah dalam keadaan saling mendiamkan. Viana ke kamar. Ganti baju. Meminum susu hamil, suplemen, juga vitamin.Tidak ada dialog dari kami. Begitu pun saat Viana tidur. Ia tidur dalam posisi menyamping. Tidak mengizinkanku melihat wajahnya saat ini. Apakah menangis, apakah melamun, atau benar-benar tertidur.Aku pernah mendengar kalau ibu hamil akan lebih sering sensitif dan perubahan mood swing yang signifikan. Tapi tidak kusangka hal itu dipicu oleh kehadiran Na
Terburu-buru, aku mencegat rombongan wanita yang hendak masuk ke studio."Apa yang terjadi, kenapa studio mendadak sepi?"Mereka para pelatih Viana, jelas mereka mengenalku dan tak heran kenapa jenis pertanyaanku seperti itu."Anu, ada yang jatuh dari tangga saat kami sedang latihan. Dia berdarah-darah dan sampai pingsan. Makanya semua panik dan mengantarkannya ke klinik terdekat," terang salah satu dari mereka."Dia, siapa?""Dia ... salah satu pelatih di sini, Pak!"Jadi bukan Viana?Oh, syukurlah.Aku tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi lagi pada Viana dan kandungannya. Tidak lagi ada acara keguguran, aku sudah janji akan menjaganya selalu sehat.Sementara itu, wanita yang sedang kupikirkan muncul dengan dikawal dua orang di sisinya. Dia sedang bicara sambil berjalan ke arah studio. Tidak melihatku yang berdiri di pintu, memerhatikan bagaimana ia terlihat panik, tapi bersikap seolah dirinya baik-baik saja.
Hanya berselang tiga jam, Rio mendapatkan apa yang aku mau. Ia khusus datang ke ruanganku dengan secarik kertas kecil yang kutahu berisi alamat Nara seperti yang kupinta.Rio menaruhnya di mejaku. Sedikit menyentak dengan tepukan tangan yang keras di meja. Aku jadi terpancing melihat raut wajahnya yang kentara sekali sedang marah.“Lain kali jangan menyuruhku dengan iming-iming uang. Ini terakhir kalinya Pak Riga memintaku mencari-cari seperti ini. Nanti, lakukan saja sendiri.”Meski cara memberinya kasar, tapi kuakui Rio punya keterampilan luar biasa untuk urusan mencari data. Dia lebih cepat dan akurat dibanding Biru yang katanya sedang mencari alamat Nara juga.Kubuka secarik kertas darinya. Membaca tulisan paling atas dengan huruf tercetak tebal.SMP Angkasa 1 SurabayaSMP? Apa Rio tidak salah alamat? Aku mendongak dan menampilkan mimik bertanya.“Aku gak menemukan alamat pastinya tempat Pak Nara tinggal. Tapi ak
Aku diantarkan ke dalam lingkungan sekolah. Murid-murid sedang beristirahat, ada yang bermain olahraga di lapangan, bergosip di depan kelas, atau pun memenuhi lorong sambil bersenda gurau. Melihat mereka, membangkitkan masa mudaku sewaktu masih belia seperti mereka.Lab komputer berada di sebelah perpustakaan sekolah. Guru tadi mengantarkanku hanya sampai pintu depan lab. Selanjutnya, tanpa perlu susah payah, pemandangan Nara dengan kemeja putih, duduk di depan komputer sambil dikerubungi murid-murid perempuan, tersaji di depan mataku.Nara sedang menimpali guyonan murid-murid yang sebagian besar berisi rayuan untuk guru tampan macam Nara.Kulihat, Nara banyak tersenyum bersama mereka. Tertawa dengan seringai lebar di bibirnya. Tawa yang tidak pernah kutemukan saat bersamaku dulu.Nara juga lebih banyak bicara dan kesan ramah melekat padanya. Dia sempurna berubah seratus delapan puluh derajat dari Nara yang dulu.Kupandangi Nara di mulut pintu. Seo
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku