Home / Pernikahan / Jerat Pernikahan Tuan Arogan / Chapter 131 - Chapter 140

All Chapters of Jerat Pernikahan Tuan Arogan: Chapter 131 - Chapter 140

195 Chapters

131. Indahnya Pagi, Suramnya Honeymoon

Fajar telah menyingsing. Cahaya matahari telah masuk ke kamar kami yang beraroma mawar. Pagi ini terlalu lembut, juga nyaman di sekujur tubuh. Aku yang terbangun lebih dulu. Dan mendapati wajah cantik Viana jadi pemandangan terindah saat kelopak mataku terbuka.Bibirku tergerak senyum tanpa diminta. Alis Viana yang melengkung indah kupandangi takzim. Hidung mancung juga bibir tipis dan segaris kupuji dalam hati. Setiap jengkal wajah Viana tanpa cela. Juga leher dan seluruh tubuh yang semalam telah kusentuh dan kuciumi.Aku menolak lupa bagaimana bergairahnya malam pertama kami. Setiap detiknya menghasilkan cinta yang makin bertambah bersama desah yang memburu saling bersahutan.Viana dan pengalamannya membuatku sedikit kewalahan. Ia dominan di atas ranjang. Penguasa yang membuatku tergoda untuk bisa menaklukannya. Akhirnya aku paham kenapa desahannya saat bersama Nara dulu bisa kedengaran sampai ke kamarku. Ternyata, Viana memang semenakjubkan itu.Aku me
Read more

132. Terserah

Honeymoon harusnya dilakukan bersama-sama antara suami dan istri. Menikmati waktu berdua untuk menambah nilai kemesraan.Namun ... yang kami lakukan sekarang ini tidak pantas disebut honeymoon. Setelah kemarin Viana mengucapkan nama yang harusnya tak ia gumamkan di tempat yang tidak semestinya.Aku sering di luar dan menghabiskan waktu sendirian daripada bersama Viana. Kulakukan apa saja. Jalan-jalan sekitar pantai. Minum di sebuah cafe. Atau melamun di kursi taman.Aku benar-benar tidak tahu apa yang kulakukan. Aku marah. Tapi tidak bisa meluapkannya dengan benar selain menghindari Viana.Sebelumnya aku tidak masalah Viana mengucapkan nama Nara sesering yang ia mau. Dimana pun, kapan pun, asalkan jangan saat kami sedang melakukan hubungan itu.Pikiranku akan membenak kalau Viana membayangkan Nara yang sedang melakukannya. Atau dalam hati Viana membandingkan antara permainanku dengan Nara.Aaarrrggg! Aku benci pemi
Read more

133. Terisak Pilu

Honeymoon selesai. Kami pulang dengan banyak oleh-oleh, juga perasaan senang.Memang sempat ada pertengkaran kecil di awal. Tapi tak berangsur lama. Malah semakin menguatkan hubungan kami.Orang-orang sudah tahu jadwal kami pulang. Tapi sengaja kutekankan pada mereka jangan ada yang berkunjung hari ini. Aku dan Viana sangat lelah dan jetlag. Besok atau lusa barulah kami menerima tamu. Atau, kami yang berkunjung ke rumah masing-masing untuk memberikan oleh-oleh.Sampai malam, aku dan Viana tidur seperti mayat. Lampu-lampu luar belum dinyalakan, barang bawaan kami masih bertumpuk acak-acakan.Kami memang tidak punya asisten rumah tangga. Belum kepikiran untuk punya. Jadilah rumah sebesar ini harus kami urus sendiri.Viana yang bangun duluan. Ia sudah mandi dengan rambut dikeramas serta badannya wangi aromaterapi.Melihatnya saja sudah membuatku segar. Apalagi saat Viana melayangkan senyum ketika ia sadar aku su
Read more

134. Apa Itu Tanda Merah?

Viana sedang menangis di kursi dapur. Air matanya tumpah ruah dan terisak pilu. Ia menunduk, bahu dan punggungnya bergetar-getar.Aku menaruh tas sembarang. Segera menuju Viana dan bertanya."Kamu kenapa, Sayang?"Viana baru menyadari aku pulang. Air matanya sempurna jatuh dan tak berusaha ia seka. Sebaliknya, tangis Viana makin kencang setelah aku datang menghampirinya."Riga, hiks!"Viana mengacungkan telunjuk kanannya kepadaku. Ada darah mengucur dari ujung telunjuknya. Aku sampai terkesiap."Jariku kena pisau. Sudah diobati tapi darahnya keluar terus dari tadi. Sakit, Riga!" Viana menangis lagi. Seperti anak kecil.Kuraih telunjuknya, menyedot bagian yang berdarah dengan mulutku. Kubuang darahnya bersamaan dengan ludah. Lalu kuambilkan plester dari kotak P3K. Pelan-pelan kupasangkan plester pada telunjuknya. Yang terakhir kuberikan kecupan di ujung jarinya yang terbungkus plester.MU
Read more

135. Pasangan CEO

"Riga, aku ke tempat zumba sore ini, ya.""Jam berapa selesainya? Mau kujemput.""Mungkin sekitar jam 7 malam. Jemput saja di cafe dekat situ. Jangan kemari. Laki-laki dilarang masuk.""Oke deh. Nanti kukabari kalau aku sudah sampai.""Siap, Sayang."TUT!Panggilan dimatikan, layar menampilkan foto pernikahanku dengan Viana. Sudah enam bulan. Rasanya seperti kemarin kami mengambil gambar ini dengan sukacita.Kutaruh ponsel di meja. Tergeletak begitu saja di antara tumpukan map laporan. Aku berdiri menghadap jendela, melipat kedua tangan di dada. Pemandangan mobil berlalu lalang jadi kesenanganku detik itu.Belakangan Viana jadi sering latihan zumba. Aku tidak tahu kalau dia suka menari. Studio zumba yang ia datangi mengusung tarian modern dengan Zin yang luwes dan kekinian.Aku jadi ingat Viana pernah menceritakan Zin Anthi, pelatih kesukaannya karena mencipt
Read more

136. Ia Yang Dulu

Viana serius menekuni bisnis barunya. Setiap aku luang, ia menanyai ilmu berbisnis. Mempelajari strategi pemasaran. Sampai meminta tips agar studio yang baru didirikan bisa punya banyak member.Aku membantunya sebisa mungkin. Termasuk mengenalkan beberapa relasi yang sekiranya cocok bekerja di bidang itu. Salah satunya resepsionis yang jadi garda depan mau tidaknya pengunjung memakai jasa zumba milik Viana.Pelatihnya pun sebagian besar aku yang bantu cari. Khiva kenal beberapa orang yang lama berkecimpung dalam seni tari. Khiva jadi penyambung orang-orang tersebut dengan Viana.Hari ini tepat satu bulan sejak Latia Studio dibuka. Belum ada banyak member memang. Yang datang pun hanya kenalan Viana atau bawaan si pelatih yang mengajar di sana.Syukurlah, Viana tak kalah arang. Ia mau belajar promosi dan pemasaran. Viana menggaet Ammar dan Akita untuk hal tersebut.Lama kelamaan Viana nyaris mempekerjakan semua anak buahku. Tapi tak
Read more

137. Jerat Karma

"Oh, ternyata benar kamu yang waktu itu. Tadi saat kamu mewawancaraiku, aku seperti mengenalmu. Ternyata kamu suami Kak Viana, ya. Eh, atau bukan? Kalian sedang berpura-pura, kan. Sebab suami Viana yang sebenarnya adalah Nara," cerocos Gumi membuat kami berdua sama-sama mengertakkan gigi.Dia masih secerewet dan sok tahu seperti sebelumnya.Viana mendelik padanya, seperti emosi. Sama seperti waktu itu ketika Gumi menggumamkan nama Nara di depannya."Aku sudah bilang kamu gak usah repot-repot mendaftar jadi pelatih di sini. Aku sudah pasti gak akan menerimamu," marah Viana sambil maju selangkah pada Gumi."Huh, kamu masih posesif seperti dulu ya, Kak Viana. Tapi jangan rakus dong, kalau Nara ya Nara saja, jangan dengan laki-laki ini juga."Entah dia tahu kabar terkini atau tidak. Melihat dia masih menganggap Viana istri Nara, sepertinya dia tak tahu kenyataan sebenarnya.Viana seperti disulut emosi. Dua tangannya terkepal di samping
Read more

138. Apa Yang Kurang

Viana sedang masak di dapur ketika aku bangun pagi. Suasana hatinya sedang bagus. Terbukti Viana bernyanyi-nyanyi sembari memotong bahan-bahan masakan.Aku memerhatikannya dari belakang. Ketika ia senyum-senyum sendiri. Juga saat lagunya beralih jadi lagu semangat.Aku membaur padanya. Memeluk belakang tubuhnya dan menciumi pipi yang harum bedak bayi itu."Pagi, Riga. Maaf aku gak bangunkan. Tidurmu nyenyak begitu," cetus Viana. Sambil lanjut menyiapkan sesuatu untuk sarapan.Aku tiba-tiba teringat Khiva dan perkataannya tentang orang ketiga. Sedikitnya aku takut kalau sesuatu memisahkan kami. Atau karma datang tanpa persiapan."Viana ... seandainya aku jatuh miskin, apa kamu masih akan menyukaiku?" tanyaku.Viana mengernyitkan sebelah alisnya. Dan menolehku yang saat itu masih memeluknya dari belakang."Aku gak menyukaimu karena harta," jawabnya singkat."Kalau tiba-tiba wajahku jadi buruk rupa karena kecelakaan misalnya, apa
Read more

139. Diabaikan

Aku melamun. Di hadapan Viana yang makan dengan lahap, aku kehilangan konsentrasi. Viana pun sepertinya menyadari itu. Kesadaranku kembali ketika Viana mengipaskan tangannya di depan wajahku.“Kamu kenapa, Riga?” sahutnya.Aku menggeleng. Pura-pura memotong steak dan melahap satu potong dengan sekali gigit.Viana menegakkan badannya. Menaruh garpu dan pisau dengan sedikit menghentak. Kuperhatikan ia, Viana mendengkus dan manyun."Kamu gak suka ya, kuajak kemari?" Viana asal menebak.Aku berkedip cepat. Langsung menggeleng karena tak setuju dengan kalimatnya. "Kalau gak suka, aku sudah pergi dari tadi.""Tapi kamu kayak gak menikmati. Maaf deh, kalau tempatnya kurang nyaman. Harusnya aku menurut waktu kamu ingin ke resto mahal."Dia bahas itu lagi. Tadi, sebelum kami kemari, memang ada sedikit salah paham. Karena keadaan di kantor, suasana hatiku mendadak buruk. Aku ingin bersantai. Kencan dengan Viana sambil menikmati maka
Read more

140. Ini Cemburu

Bahu sebelah kiriku panas karena seseorang melintas. Siluet tubuhnya sangat kuhafal hingga kepalaku otomatis memutar untuk melihat orang itu di belakang.Dan ...Apakah itu Nara?Potongan rambutnya, cara dia berjalan, juga gaya tertunduknya yang membuatku yakin.Langkahku terhenti. Membelalakkan mata pada sosok lelaki yang terus berjalan seorang diri makin menjauhi kami.Dadaku tercekat. Tiba-tiba saja perasaan cemburu muncul. Aku tidak ingin bertemu Nara di sini, tidak di depan Viana. Aku tidak mau Viana bertemu dengan Nara.Ya, memang aku seegois itu."Riga?" Viana terheran sebab aku mendadak berhenti.Aku hanya harus berpura-pura tidak melihat sesuatu. Dengan raut wajah yang kaku, kupaksakan menggeleng di depan Viana. Kuhalangi pemandangan Nara yang berjalan makin jauh di belakang tubuhku.Terlambat.Bola mata Viana telah menangkap apa yang ingin kusembunyikan. Pandangan matanya tepat ke arah lelaki yang saat i
Read more
PREV
1
...
1213141516
...
20
DMCA.com Protection Status