"Oh, ternyata benar kamu yang waktu itu. Tadi saat kamu mewawancaraiku, aku seperti mengenalmu. Ternyata kamu suami Kak Viana, ya. Eh, atau bukan? Kalian sedang berpura-pura, kan. Sebab suami Viana yang sebenarnya adalah Nara," cerocos Gumi membuat kami berdua sama-sama mengertakkan gigi.
Dia masih secerewet dan sok tahu seperti sebelumnya.
Viana mendelik padanya, seperti emosi. Sama seperti waktu itu ketika Gumi menggumamkan nama Nara di depannya.
"Aku sudah bilang kamu gak usah repot-repot mendaftar jadi pelatih di sini. Aku sudah pasti gak akan menerimamu," marah Viana sambil maju selangkah pada Gumi.
"Huh, kamu masih posesif seperti dulu ya, Kak Viana. Tapi jangan rakus dong, kalau Nara ya Nara saja, jangan dengan laki-laki ini juga."
Entah dia tahu kabar terkini atau tidak. Melihat dia masih menganggap Viana istri Nara, sepertinya dia tak tahu kenyataan sebenarnya.
Viana seperti disulut emosi. Dua tangannya terkepal di samping
Viana sedang masak di dapur ketika aku bangun pagi. Suasana hatinya sedang bagus. Terbukti Viana bernyanyi-nyanyi sembari memotong bahan-bahan masakan.Aku memerhatikannya dari belakang. Ketika ia senyum-senyum sendiri. Juga saat lagunya beralih jadi lagu semangat.Aku membaur padanya. Memeluk belakang tubuhnya dan menciumi pipi yang harum bedak bayi itu."Pagi, Riga. Maaf aku gak bangunkan. Tidurmu nyenyak begitu," cetus Viana. Sambil lanjut menyiapkan sesuatu untuk sarapan.Aku tiba-tiba teringat Khiva dan perkataannya tentang orang ketiga. Sedikitnya aku takut kalau sesuatu memisahkan kami. Atau karma datang tanpa persiapan."Viana ... seandainya aku jatuh miskin, apa kamu masih akan menyukaiku?" tanyaku.Viana mengernyitkan sebelah alisnya. Dan menolehku yang saat itu masih memeluknya dari belakang."Aku gak menyukaimu karena harta," jawabnya singkat."Kalau tiba-tiba wajahku jadi buruk rupa karena kecelakaan misalnya, apa
Aku melamun. Di hadapan Viana yang makan dengan lahap, aku kehilangan konsentrasi. Viana pun sepertinya menyadari itu. Kesadaranku kembali ketika Viana mengipaskan tangannya di depan wajahku.“Kamu kenapa, Riga?” sahutnya.Aku menggeleng. Pura-pura memotong steak dan melahap satu potong dengan sekali gigit.Viana menegakkan badannya. Menaruh garpu dan pisau dengan sedikit menghentak. Kuperhatikan ia, Viana mendengkus dan manyun."Kamu gak suka ya, kuajak kemari?" Viana asal menebak.Aku berkedip cepat. Langsung menggeleng karena tak setuju dengan kalimatnya. "Kalau gak suka, aku sudah pergi dari tadi.""Tapi kamu kayak gak menikmati. Maaf deh, kalau tempatnya kurang nyaman. Harusnya aku menurut waktu kamu ingin ke resto mahal."Dia bahas itu lagi. Tadi, sebelum kami kemari, memang ada sedikit salah paham. Karena keadaan di kantor, suasana hatiku mendadak buruk. Aku ingin bersantai. Kencan dengan Viana sambil menikmati maka
Bahu sebelah kiriku panas karena seseorang melintas. Siluet tubuhnya sangat kuhafal hingga kepalaku otomatis memutar untuk melihat orang itu di belakang.Dan ...Apakah itu Nara?Potongan rambutnya, cara dia berjalan, juga gaya tertunduknya yang membuatku yakin.Langkahku terhenti. Membelalakkan mata pada sosok lelaki yang terus berjalan seorang diri makin menjauhi kami.Dadaku tercekat. Tiba-tiba saja perasaan cemburu muncul. Aku tidak ingin bertemu Nara di sini, tidak di depan Viana. Aku tidak mau Viana bertemu dengan Nara.Ya, memang aku seegois itu."Riga?" Viana terheran sebab aku mendadak berhenti.Aku hanya harus berpura-pura tidak melihat sesuatu. Dengan raut wajah yang kaku, kupaksakan menggeleng di depan Viana. Kuhalangi pemandangan Nara yang berjalan makin jauh di belakang tubuhku.Terlambat.Bola mata Viana telah menangkap apa yang ingin kusembunyikan. Pandangan matanya tepat ke arah lelaki yang saat i
“Untuk apa cantik tapi gak bisa punya anak. Lebih baik melacur daripada punya ikatan pernikahan dengannya.”Kuakui lelaki itu punya paras tampan. Badannya tegap dengan dada bidang khas Don Juan. Tapi, mulutnya terlalu kotor bila diimbangi dengan wajahnya yang mulus.Aku sadar, rumah tangga Khiva bukan termasuk urusanku. Namun jariku terkepal mendengar kalimat memuakkan dari mantan suami Khiva yang kutahu bernama Reno.Reno mengecup punggung tangan wanita di sebelahnya, memberikan tatapan intens layaknya sepasang dimabuk cinta.“Khiva terlalu lugu, aku gak suka wanita yang seperti itu. Lebih baik aku denganmu yang agresif dan dominan saat di ranjang ini. Sesekali pria juga ingin diserang, bukan terus-terusan menyerang.”Lagi, kalimatnya berhasil memancing emosiku. Khiva sudah kuanggap sebagai teman. Lebih dari itu, dia seperti adikku. Melihat mantan suaminya memperlakukan Khiva seperti ini, ingin sekali kurobek mulut kotornya
“Akan kuberitahukan ini pada Kak Viana, dasar brengsek!”Gumi pergi berlari keluar ruanganku. Menutup pintu dengan keras dan menghenyakkanku.Aku seperti dipaku di tempat. Khiva yang mengusulkan agar aku mengejarnya. Menghentikan Gumi menyampaikan apa yang ia lihat.Tapi ... untuk apa?Mengejar Gumi hanya memberi pemahaman kalau benar terjadi sesuatu antara aku dengan Khiva. Dia yang salah paham, jangan sampai reaksiku justru mendukung apa yang ia sangkakan tersebut.“Sudah biarkan saja,” tenangku pada Khiva yang panik.“Tapi nanti Bu Viana—““Viana gak percaya sama anak itu lagi. Kalau pun Viana termakan omongannya, aku akan menjelaskan pada Viana.”“Duh, Pak. Aku akan bantu bicara seandainya Bu Viana marah. Aku ..., gak enak loh, Pak!”“Enggak apa-apa. Sudahlah!”Kuminta Khiva melanjutkan apa yang mesti ia kerjakan. Hanya satu catatan,
“Wanita suka pada pria yang memberi perhatian saat ia terpuruk atau menangis. Jangan sampai hal itu membuat Khiva jadi menyukaimu juga. Aku gak mau bersaing dengan siapa-siapa. Aku hanya mau mengingatkan kalau kamu sudah menikah denganku. Tolong jangan terlalu baik dengan wanita mana pun dan buat mereka jadi menginginkanmu.”Perkataan Viana ada benarnya juga. Harusnya aku bisa mengontrol diri. Aku mengabaikan perasaan Khiva setelah apa yang aku lakukan padanya. Beruntung saat itu Gumi datang dan menghentikan kami. Kalau tidak, mungkin Khiva akan sedikit berharap padaku.Sungguh, aku tak mau memainkan perasaan wanita mana pun. Apalagi perasaan istriku sendiri.Aku mengembuskan napas panjang. Lega karena itu yang Viana pikirkan tentangku. Ia marah bukan karena adegan salah paham antara aku dan Khiva. Tapi ia marah karena takut aku tersesat dan memberi orang lain pengharapan.Viana yang dewasa seperti ini membuatku merasa bangga.Aku terse
Studio Latia memang sudah lama dibangun. Para member-nya pun sudah banyak. Tapi baru kali ini aku melihat Viana zumba di studionya sendiri. Ia dibimbing salah satu pelatihnya menirukan koreo untuk musik beat. Beberapa orang duduk menonton, beberapa lagi ikut menari di belakang Viana.Aku bersandar di dekat pintu masuk studio. Menyilangkan kedua tanganku di dada melihat Viana yang begitu lincah mengikuti irama musik. Ia tidak menyadariku datang untuk menjemputnya. Aku juga tidak berusaha membuatnya sadar. Aku terpesona melihatnya menari.Viana tertawa-tawa karena salah langkah dan membuatnya hampir oleng karena menginjak kakinya sendiri. Melihatnya tertawa, aku jadi ikut tertawa di tempatku.Aku suka dengan Viana yang bahagia ini. Mirip seperti saat ia berteater dulu. Wajahnya yang seolah tak memiliki beban. Wajah yang selalu kuusahakan untuk terus hadir bersamanya. Viana-ku yang bahagia.Nampaknya Viana sadar dengan keberadaanku setelah
Aku tahu cafe tempat mereka janji temu. Sengaja kuberikan selang waktu antara kepergiaan Viana, dengan aku yang menyusulnya.Ya, aku berniat mengikuti Viana yang bertemu dengan Lhasa. Aku tak akan memergokinya. Aku tidak akan seurakan itu. Aku hanya penasaran. Kurasa sebagai suaminya aku patut tahu ia hendak kemana dan mau apa.Aku memarkirkan mobil lumayan jauh dari Cafe Cozy. Dari rumah sudah kusiapkan topi juga masker untuk menyembunyikan wajahku. Kupakai semua itu dan berjalan mantap ke cafe yang mengusung tema modern.Dari pintu masuk mataku berkeliling mencari sosok Viana atau Lhasa, yang mana saja yang sudah sampai duluan.Ternyata baru ada Viana di kursi sofa paling pojok, paling tersembunyi. Sambil menundukkan kepala, aku jalan ke dekat kursinya. Mencari posisi tepat untuk bisa mendengar suara mereka berbincang.Aku memilih kursi yang membelakangi Viana. Hanya terpaut satu meja. Aku bisa leluasa melepas maskerku dan mendengar saat Vi
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku