Home / Romansa / Istri Tanpa Nafkah (Batin) / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Istri Tanpa Nafkah (Batin): Chapter 41 - Chapter 50

125 Chapters

Bab 41: Orang Gila

Nabila masih belum kunjung sadar meskipun sudah diusahakan dengan berbagai cara. Namun menurut penjelasan dokter, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan darinya—kecuali membiarkannya saja agar Nabila bisa lebih banyak beristirahat. Sebab diduga, Nabila kelelahan dan kurang tidur. Sehingga dia bisa mengalami dua kondisi sekaligus yakni hipotensi dan anemia. “Makanya, sok-sok'an sih, mau tinggal sendiri tanpa keluarga. Kayak yang udah nggak butuh orang lain aja. Manusia itu hidup saling membutuhkan,” komentar Adawiyyah begitu wanita tersebut datang dan tentunya karena perintah anaknya. Tentu, Dewa tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi kalau bukan kepada bundanya. Terutama untuk membantunya mengurus Zaki, hanya beliaulah orang yang paling paham mengurus anak kecil. Kendatipun akhirnya Dewa harus tahan-tahan berisik mendengar semua ocehannya. “Bun!” peringat Dewa agar wanita itu berhenti membeo. “Halah! Belain aja terus istrimu itu. Emang begitu kok, kenyataannya!”
last updateLast Updated : 2024-06-03
Read more

Bab 42: Petuah Bijak Orang Tua

“Kamu udah sadar?” tanya Dewa begitu Nabila membuka mata. Pria itu mengusap kepala Nabila dan tersenyum. Namun bukannya menjawab pertanyaan Dewa, Nabila justru langsung menanyakan belahan jiwanya, “Zaki mana, Mas?” Tapi tidak apa-apa, batin Dewa. Karena yang terpenting sekarang, Nabila sudah bisa mengontrol emosinya, tidak meledak-ledak lagi seperti sebelumnya. “Tenanglah, Zaki dibawa sama Mama ke bawah. Dia ngadu ke beliau belum makan dari siang, aku lupa nanyain.” “Oh ya Allah...” Nabila menghela nafas beratnya, “jadi kacau kan kalau aku sakit?” “Mama tadi pesen, Zaki aman sama beliau, beliau bersedia mengurusnya untuk sementara waktu. Jadi kamu fokus dulu aja ke kesehatanmu sama baby kita. Kasihan, dia juga butuh perhatian lebih...” Dewa mengusap perutnya. Nabila membuang pandangan, kesedihan terlihat jelas dari kilatan di matanya. Dulu dia memang mengidam-idamkan Dewa bisa memperlakukannya seistimewa ini. Tapi sekarang, kenapa dia merasa ini bukan hal yang spesial lagi? Ia
last updateLast Updated : 2024-06-04
Read more

Bab 43: Bingung, Takut, Tapi Butuh Solusi

Masih di Rumah Sakit Mitra Keluarga “Masih agak pusing?” “Enggak, Ma.” “Lemes juga, nggak?” “Udah nggak terlalu kayak tadi siang, sih.” “Diajakin ke mana kira-kira si Zaki sama ayahnya?” Kali ini Nabila hanya mampu menggeleng, tak bisa menjawab sebab mulutnya tengah sibuk mengunyah makanan yang baru saja ibunya suapkan. Ya, beginilah healing seorang ibu meskipun dia sudah mempunyai anak. Yaitu kembali kepada orang tuanya untuk menjadi anak kecil lagi dan dimanja olehnya. “Lama lho, udah sejam kayaknya mereka pergi," kata Mama lagi sambil tangannya sibuk menyuap, “banyakin makannya, badan kamu itu udah kurus banget. Udah kaya orang cacingan Mama liat.” “Jahat banget sih, Ma, kalau ngomong!” protes Nabila dengan mulut penuh. “Emang iya, kok. Coba aja liat badanmu di cermin. Kira-kira bagus nggak, kerempeng begitu?” ujar Mama Dina jelas membuat Nabila tersinggung. Tapi untungnya yang mengatainya adalah mama sendiri—coba kalau bukan, sudah dipastikan yang punya mulut seperti i
last updateLast Updated : 2024-06-05
Read more

Bab 44: Wanita Ular

“Masalah Nabila berat banget, ya?” tanya Mama Dina karena Nabila terdiam cukup lama untuk memikirkan jawaban.Nabila kini mengangguk untuk mengkonfirmasikan pertanyaan tersebut, dengan mata yang tak berhenti bercucuran.Mama Dina menggenggam tangannya untuk meyakinkan bahwa dia berada di pihaknya, “Yang Mama sayangkan, kenapa Nabila nggak papa datang ke Mama?”Oleh karena pertanyaan itulah Nabila menjawab apa yang selama ini dia rasakan, “Aku bingung, Ma. Aku takut dan nggak tau memulai semuanya dari mana...” Bahu Nabila berguncang seiring dengan suaranya yang semakin melirih.“Nabila pernah membuat kesalahan besar?” tebak Mama Dina agar Nabila mau membuka celahnya, sedikit demi sedikit.“Kesalahanku sedikit, tapi dampaknya luar biasa. Luar biasa sampai aku tersiksa selama tiga tahun pernikahan. Belum lagi tambahan beban yang Dewa bawa akhir-akhir ini ke rumah. Itu membuat aku merasa semakin tertekan, Ma.”“Mereka sayang sama kamu kan?” harusnya Mama Dina tidak perlu bertanya seperti
last updateLast Updated : 2024-06-05
Read more

Bab 45: Hukuman Buat Ferguso

Keesokan harinya. Nabila hanya menginap semalam. Dokter membolehkannya pulang siang hari ini, setelah infusnya benar-benar habis. Untung ini weekend, jadi Nabila tak perlu meminta izin untuk mengirim surat keterangan sakit kepada Reni—selaku kepala bagian HRD di kantornya. Lagipula, tidak enak juga pada Aditya jika Nabila terlalu sering meminta izin cuti. Karena rasanya, ia baru libur kemarin dengan alasan yang sama. Meskipun pria itu mengetahui kondisinya, tetapi tetap saja ia merasa tidak enak. “Ada yang ketinggalan?” tanya Dewa. Nabila menatap ke sekeliling, ruangan sudah benar-benar bersih dari semua barang-barang mereka. Karenanya ia menjawab, “Nggak, sudah beres.” “Ya, udah kita OTW sekarang. Perlu kursi roda?” “Nggak usah, Mas. Aku jalan kaki aja.” “Beneran nggak papa?” “I'am okay. Nggak perlu khawatir.” “Mali pulang, malilah pulang belsama-sama...” Celotehan Zaki otomatis membuat Nabila terkekeh. “Denger lagu sayonara dari mana, sih? Kok tau-tau udah hafal aja.” “Ka
last updateLast Updated : 2024-06-06
Read more

Bab 46: Kebersamaan

“Gimana rasanya?” tanya Dewa setelah Nabila mencicipi sup ayam buatannya. Keringat mengucur di dahi pria itu sudah menunjukkan betapa dia telah bekerja keras. Belum lagi aroma minyak, bawang, dan asap yang menempel di tubuhnya. Pasti akan membuat semua orang yang melihat Dewa bertanya-tanya, benarkah ini dirinya? Sebab yang hampir semua orang terdekatnya tahu, Dewa adalah pria yang jauh dari kesan kotor dan berkeringat. Dia senantiasa tampil rapi dan wangi dalam kondisi apapun dan di mana pun dia berada. Itulah sebabnya yang membuat Nabila kesengsem. Tergila-gila dan jadi bodoh lantaran terlalu mencintainya. Kembali kepada mereka berdua. Wajah Nabila biasa saja. Tidak menunjukkan ekspresi apapun. Rasa masakan Dewa memang tidak sehancur itu. Tapi baginya yang memang biasa makan apapun dengan rasa medhok—tebal—gurih dan apa-apa harus pas—ya, begitulah istilahnya. Masakan ini terasa hambar di lidahnya. Namun alih-alih mengomentarinya dengan kata-kata kurang pantas yang dapat melu
last updateLast Updated : 2024-06-06
Read more

Bab 47: Anda Jangan Julid

“Ya, Ma?” Nabila menjawab telepon ibunya. “Kalian udah balik?” “Udah tadi siang, jam sebelasan kayaknya.” “Oh, ya udah kalau gitu, mah. Kondisi kamu gimana? Udah baikan kan? Nggak ada yang dirasain lagi?” “Nggak, kok. Alhamdulillah udah sehat banget, udah berasa lebih segeran daripada kemarin.” “Obat, vitamin jangan lupa diminum. Jangan ngapa-ngapain dulu, sementara biar Dewa aja yang ngurus semuanya. Kalau bisa, minta dipesenin katering aja sama dia biar kamu bisa dapat lauk beragam—nggak monoton kayak masakanmu sehari-hari. Kamu kan lagi butuh banyak nutrisi. Bolehlah masak, tapi sesekali aja biar nggak terlalu capek juga.” “Iya, Maa.” “Banyakin minum air putih!” kata Mama Dina lagi dengan penuh penekanan. “Iya, Maa, iyaaa.” “Bumer datang?” “Cuma waktu itu doang yang di RS,” kali ini, Nabila menjawabnya dengan nada berbisik. Lantaran khawatir Dewa yang berada di depan mendengar suaraya. “Besok Mama ke rumahmu, lanjutin yang kemarin. Kamu udah janji, lho. Kalau
last updateLast Updated : 2024-06-07
Read more

Bab 48: Ayo Ceritakan Semuanya

Nabila melihat jarum jam di tangan kirinya, wanita itu agak cemas karena ia sedang diburu waktu. Sebentar lagi mungkin Dewa akan pulang, sementara Mama Dina juga akan ke rumah. Masalahnya, keduanya tidak boleh datang bersamaan di satu waktu, sebab ada hal yang akan mereka bicarakan tanpa pria itu. “Apa aku ajak makan di luar aja ya, biar lebih aman?” Nabila segera menghubungi mamanya untuk meminta pendapat. “Masih belum pulang juga?” ujar wanita itu begitu telepon mereka tersambung. “Iya, Ma. Tapi bentar lagi selesai, kok. Cuma masalahnya Dewa juga pasti bentar lagi pulang. Gimana kalau kita ketemuannya di luar aja, alasannya mau makan bareng atau apa, kek, biar nggak kaget kalau tiba-tiba dia nongol di waktu yang nggak tepat.” “Ok, di Cafe Remaja aja. Mama tunggu di sana, ya,” to the point sekali jawaban wanita itu. Untungnya tepat karena Cafe Remaja merupakan salah satu Cafe favoritnya. Nabila segera berkemas. Menuju ke lokasi dengan menggunakan taksi online sekaligus menjemp
last updateLast Updated : 2024-06-07
Read more

Bab 49: Kamu Jangan Bodoh!

“Habis makan-makan di mana?” tanya Dewa ketika Nabila dan Zaki tiba di rumah dan kebetulan, dia sudah sampai lebih dulu setengah jam yang lalu.“Cafe Remaja, Mas. Cafe favorit aku. Masih ingat?”“Ingat lah. Cafe Remaja itu kan favorit kita, bukan cuma kamu aja.”“Mas masih sering ke sana?” tanya Nabila antusias. Nabila senang karena Dewa ternyata masih mengingat kenang-kenangan mereka sewaktu pacaran.“Sering,” sahut Dewa cepat, namun segera menambahkan penjelasan agar Nabila tak salah paham dengannya, “biasa—buat ketemuan sama klien. Kan biasanya aku yang menentukan tempatnya.”“Oh...”“Kalau aku tau kalian makan di sana udah pasti aku jemput,” kata Dewa lagi.“Nggak apa-apa, Mas. Lain kali ini aja, kok. Yang penting kita udah nyampe rumah kan sekarang.”Dewa mengangguk mengerti, sebelum pria itu kembali bertanya, “Vitamin sama obatnya nggak lupa diminum kan?”“Tinggal vitaminnya yang belum.”Tanpa disuruh, Dewa menyediakan air putihnya, serta plastik obat yang mereka dapatkan dari R
last updateLast Updated : 2024-06-08
Read more

Bab 50: Santai Aja, Santai

Nabila sedang berada di ruang rapat sekarang. Mereka sedang membahas perencanaan syuting video iklan yang akan dilakukan oleh tim ADT Media Minggu ini. Yakni penentuan tempat, jadwal produksi, pematangan naskah, dan yang paling utama adalah penetapan anggaran.“Nah, ini yang menjadi permasalahan utama kita saat ini, Pak. Permintaan produksi sedang cukup melonjak sekarang, namun harus kita akui, kita mengalami keterbatasan,” ujar seseorang yang menduduki kursi manajer keuangan.“Kita bisa menurunkan biaya produksi,” balas Aditya yang kemudian langsung disahuti oleh Nabila.“Tapi menurunkan biaya produksi juga bisa menghambat semuanya, Pak. Dan terus terang saya keberatan.”“Nggak ada cara lain untuk mengoptimalkan anggaran yang ada, Nabila.”“Ada cara lainnya sebenarnya, Pak,” sahut sang sekretaris.Aditya mempersilahkan.“Biarkan semuanya berjalan sambil menunggu para klien melakukan pelunasan.”“Apa ini menjamin?”“Kita akan melakukannya semaksimal mungkin.”“Yang lain ada yang mau m
last updateLast Updated : 2024-06-09
Read more
PREV
1
...
34567
...
13
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status