“Gimana rasanya?” tanya Dewa setelah Nabila mencicipi sup ayam buatannya. Keringat mengucur di dahi pria itu sudah menunjukkan betapa dia telah bekerja keras. Belum lagi aroma minyak, bawang, dan asap yang menempel di tubuhnya. Pasti akan membuat semua orang yang melihat Dewa bertanya-tanya, benarkah ini dirinya? Sebab yang hampir semua orang terdekatnya tahu, Dewa adalah pria yang jauh dari kesan kotor dan berkeringat. Dia senantiasa tampil rapi dan wangi dalam kondisi apapun dan di mana pun dia berada. Itulah sebabnya yang membuat Nabila kesengsem. Tergila-gila dan jadi bodoh lantaran terlalu mencintainya. Kembali kepada mereka berdua. Wajah Nabila biasa saja. Tidak menunjukkan ekspresi apapun. Rasa masakan Dewa memang tidak sehancur itu. Tapi baginya yang memang biasa makan apapun dengan rasa medhok—tebal—gurih dan apa-apa harus pas—ya, begitulah istilahnya. Masakan ini terasa hambar di lidahnya. Namun alih-alih mengomentarinya dengan kata-kata kurang pantas yang dapat melu
“Ya, Ma?” Nabila menjawab telepon ibunya. “Kalian udah balik?” “Udah tadi siang, jam sebelasan kayaknya.” “Oh, ya udah kalau gitu, mah. Kondisi kamu gimana? Udah baikan kan? Nggak ada yang dirasain lagi?” “Nggak, kok. Alhamdulillah udah sehat banget, udah berasa lebih segeran daripada kemarin.” “Obat, vitamin jangan lupa diminum. Jangan ngapa-ngapain dulu, sementara biar Dewa aja yang ngurus semuanya. Kalau bisa, minta dipesenin katering aja sama dia biar kamu bisa dapat lauk beragam—nggak monoton kayak masakanmu sehari-hari. Kamu kan lagi butuh banyak nutrisi. Bolehlah masak, tapi sesekali aja biar nggak terlalu capek juga.” “Iya, Maa.” “Banyakin minum air putih!” kata Mama Dina lagi dengan penuh penekanan. “Iya, Maa, iyaaa.” “Bumer datang?” “Cuma waktu itu doang yang di RS,” kali ini, Nabila menjawabnya dengan nada berbisik. Lantaran khawatir Dewa yang berada di depan mendengar suaraya. “Besok Mama ke rumahmu, lanjutin yang kemarin. Kamu udah janji, lho. Kalau
Nabila melihat jarum jam di tangan kirinya, wanita itu agak cemas karena ia sedang diburu waktu. Sebentar lagi mungkin Dewa akan pulang, sementara Mama Dina juga akan ke rumah. Masalahnya, keduanya tidak boleh datang bersamaan di satu waktu, sebab ada hal yang akan mereka bicarakan tanpa pria itu. “Apa aku ajak makan di luar aja ya, biar lebih aman?” Nabila segera menghubungi mamanya untuk meminta pendapat. “Masih belum pulang juga?” ujar wanita itu begitu telepon mereka tersambung. “Iya, Ma. Tapi bentar lagi selesai, kok. Cuma masalahnya Dewa juga pasti bentar lagi pulang. Gimana kalau kita ketemuannya di luar aja, alasannya mau makan bareng atau apa, kek, biar nggak kaget kalau tiba-tiba dia nongol di waktu yang nggak tepat.” “Ok, di Cafe Remaja aja. Mama tunggu di sana, ya,” to the point sekali jawaban wanita itu. Untungnya tepat karena Cafe Remaja merupakan salah satu Cafe favoritnya. Nabila segera berkemas. Menuju ke lokasi dengan menggunakan taksi online sekaligus menjemp
“Habis makan-makan di mana?” tanya Dewa ketika Nabila dan Zaki tiba di rumah dan kebetulan, dia sudah sampai lebih dulu setengah jam yang lalu.“Cafe Remaja, Mas. Cafe favorit aku. Masih ingat?”“Ingat lah. Cafe Remaja itu kan favorit kita, bukan cuma kamu aja.”“Mas masih sering ke sana?” tanya Nabila antusias. Nabila senang karena Dewa ternyata masih mengingat kenang-kenangan mereka sewaktu pacaran.“Sering,” sahut Dewa cepat, namun segera menambahkan penjelasan agar Nabila tak salah paham dengannya, “biasa—buat ketemuan sama klien. Kan biasanya aku yang menentukan tempatnya.”“Oh...”“Kalau aku tau kalian makan di sana udah pasti aku jemput,” kata Dewa lagi.“Nggak apa-apa, Mas. Lain kali ini aja, kok. Yang penting kita udah nyampe rumah kan sekarang.”Dewa mengangguk mengerti, sebelum pria itu kembali bertanya, “Vitamin sama obatnya nggak lupa diminum kan?”“Tinggal vitaminnya yang belum.”Tanpa disuruh, Dewa menyediakan air putihnya, serta plastik obat yang mereka dapatkan dari R
Nabila sedang berada di ruang rapat sekarang. Mereka sedang membahas perencanaan syuting video iklan yang akan dilakukan oleh tim ADT Media Minggu ini. Yakni penentuan tempat, jadwal produksi, pematangan naskah, dan yang paling utama adalah penetapan anggaran.“Nah, ini yang menjadi permasalahan utama kita saat ini, Pak. Permintaan produksi sedang cukup melonjak sekarang, namun harus kita akui, kita mengalami keterbatasan,” ujar seseorang yang menduduki kursi manajer keuangan.“Kita bisa menurunkan biaya produksi,” balas Aditya yang kemudian langsung disahuti oleh Nabila.“Tapi menurunkan biaya produksi juga bisa menghambat semuanya, Pak. Dan terus terang saya keberatan.”“Nggak ada cara lain untuk mengoptimalkan anggaran yang ada, Nabila.”“Ada cara lainnya sebenarnya, Pak,” sahut sang sekretaris.Aditya mempersilahkan.“Biarkan semuanya berjalan sambil menunggu para klien melakukan pelunasan.”“Apa ini menjamin?”“Kita akan melakukannya semaksimal mungkin.”“Yang lain ada yang mau m
“Mual lagi?” Dewa bertanya saat mendapati istrinya keluar dari kamar mandinya dengan wajah pucat dan gestur tubuh yang lemas. Nabila mengangguk. Wanita itu mengusap wajahnya yang basah dengan tissue, kemudian bercermin di depan meja riasnya. “Nggak tahu kenapa, anakku yang kedua ini Masya Allah banget, Mas. Padahal yang pertama nggak ada tuh, yang namanya morning sicknes. Mungkin karena tahu aku sendirian ... jadi nggak manja kayak sekarang ini.” “Bukan karena dia cewek?” menurut Dewa. “Kata Mama juga begitu, tapi entahlah.” “Dek, jangan nakal, ya. Jadi anak baik. Kasihan ibu,” ujar Dewa mengusap-usap perut datar Nabila. “Kamu masih bisa berangkat kerja? Kalau nggak, jangan dipaksa.” “Bisa, Mas. Tenang aja. Cuma pagi, kok, gejalanya. Kalau siang ok-ok aja tuh. Makanya aku gas makan siangnya. Kemarin aja makan steak daging, dapat banyak.” Dewa meraih Nabila ke dalam pelukan. “Makasih udah mau sabar nerima aku lagi ya, Bil. Padahal nggak ada alasan buatmu mempertahankan laki-laki
“Ya nggak gitu juga konsepnya Nabila sayangkuuuu. Kan udah jadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Jadi kamu nggak usah merasa nggak enak atau semacamnya. Kamu itu diambil dari mama sama Papa untuk dia bahagiakan, bukan sebaliknya. “Tapi kalau kamu rela ikhlas seperti itu, ya, terserah. Kalau Mama sih, nggak mau ya. Terlebih kalau suami Mama gajinya besar. Mendingan Mama yang simpen dong, buat ditabung kek, atau beli-beli perhiasan. Soalnya laki-laki kalau punya banyak uang, biasanya dia suka berulah. Beda otaknya sama perempuan yang lebih memikirkan banyak hal terutama di masa yang akan mendatang.” “Maa, jangan nakut-nakutin, dong. Nggak mungkinlah Mas Dewa kayak gitu...” ujar Nabila yang sebenarnya sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Nggak nakut-nakutin. Siapa pula yang nakut-nakutin kamu, Bil? Ini kan, umpamanya. Ya Mama heran aja—rumah ini kamu yang nyicilin, terus kalau ada kekurangan juga kamu yang menuhin. Mama pikir enak bener
Hari sudah cukup siang saat itu, tapi Nabila Masih bergelung di tempat tidur dengan pakaian setengah telanjangnya. Nabila masih sangat mengantuk gara-gara kerjaan Dewa semalam, tapi anaknya sudah terdengar ribut saja agar ia segera beranjak dari sana.“Jaki mau salapan, Bu. Ayo kita salapan. Mau nasi goleng...” rengeknya terdengar di samping telinga persis, sedangkan tangan kecilnya berusaha menepuk-nepuk pipinya untuk membangunkan.“Zaki sarapannya sama ayah, ya. Nanti sekalian main di bawah,” bujuk Dewa.“Maunya salapan sama ibuuu, mainnya sama ibu juga,” tolak Zaki menjauhkan tangan Dewa yang hendak meraihnya. “Ssst, dengerin Ayah.” Dewa meminta Zaki untuk menatap matanya. “Adik di perut Ibu masih ngantuk, kasihan kalau Kaka Zaki paksain bangun sekarang.”“Adik culang bisa sama ibu telus tapi Jaki engga.” Zaki malah menangis, sehingga Nabila terpaksa membuka kelopak matanya. Mati-matian dia menahan rasa kantuk sampai matanya memerah dan kepalanya terasa pening sebelah.“Apa, Saya
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa