Semua Bab Istri Manis sang Pewaris: Bab 191 - Bab 200

252 Bab

191. Pecel Satria

Davin benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Jingga bed rest, ia memperlakukan Jingga dengan penuh perhatian. Selain cuti dari pekerjaannya, Davin juga benar-benar membiarkan Jingga istirahat sepenuhnya, ia juga mengurus Oliver dari pagi hingga malam. Ketika waktu sarapan dan makan siang, Davin membawakan makanan Jingga ke kamar dan menyuapinya, memastikan Jingga makan dengan benar meski terkadang Jingga menolak karena selera makannya masih belum membaik.Lalu siang ini, Davin berhasil menidurkan Oliver. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur, pikir Davin. Sebab anak itu pasti mengantuk jika waktu tidur siangnya sudah tiba. Setelah merebahkan Oliver di atas kasur yang sama dengan Jingga, Davin lantas beralih ke sisi kasur yang lain, duduk bersandar di headboard seraya menarik Jingga ke dalam pelukannya. “Sayang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin seraya menyusupkan jari jemarinya di rambut Jingga dan mengusap-usapnya lembut. Jingga menyandarkan pipinya di dada Davin, menga
Baca selengkapnya

192. Usaha Yang Tidak Sia-Sia

“Maaf, Pak. Saya bukan Satria. Saya Mas Yanto. Bapak nggak lihat tulisan di sana, ya? Ini ‘Pecel Mas Yanto’.”Davin menoleh ke arah spanduk yang menggantung di depan gerobak, yang ditunjuk oleh seorang pria tua keriput yang bernama Yanto itu.Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, kalau begitu. Apa Bapak, maksud saya Mas Yanto tahu di mana pecel yang dijual oleh Satria?” tanya Davin dengan ragu-ragu.Yanto mengerutkan keningnya, ia menelengkan kepala, menatap Davin dengan heran. “Mana saya tahu, Pak. Saya nggak pernah menghapal nama-nama tukang pecel. Coba Bapak cari di perempatan sana.” Yanto menunjuk ke sembarang arah, lalu ia sibuk menyajikan pecel pada pelanggannya.Setelah mengucapkan terima kasih, Davin lantas meninggalkan tempat tersebut dan masuk ke dalam mobilnya.Ia menyugar rambut yang sudah sedikit acak-acakan. Mas Yanto adalah penjual pecel ke tujuh yang Davin temui sore ini. Setelah sebelumnya yang Davin temui adalah Udin, Sultan, Sura, Harja, Ilham, dan D
Baca selengkapnya

193. Iri Pada Bunga

Lucy menyeruput teh hangatnya, seraya mendengarkan penjelasan dari asisten pribadinya mengenai hukuman untuk Chelsea dan Emran yang sudah diputuskan oleh pihak pengadilan siang ini.“Pak Emran dan Chelsea telah dinyatakan bersalah atas percobaan pembunuhan. Hakim memberikan hukuman yang cukup berat untuk mereka berdua,” ujar seorang wanita berusia 30-an sambil membuka berkas di tangannya.Lucy mengangguk perlahan. “Berapa lama mereka dijatuhi hukuman?”“Chelsea dijatuhi hukuman 15 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat. Sedangkan Pak Emran, karena perannya yang sedikit lebih kecil, mendapat hukuman 10 tahun penjara, juga tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.”Lucy terdiam mendengarnya. Tangannya mengepal. Ia sudah menganggap Chelsea sebagai anak sendiri, tapi berakhir dikhianati. Meski Lucy yakin bahwa sasaran utama Chelsea adalah Jingga, tapi Lucy tidak bisa memaafkan siapapun yang sudah berusaha melukai putranya.“Tapi... apa ada kemungkinan mereka bisa mengajukan ba
Baca selengkapnya

194. Usaha Untuk Berdamai

Jingga menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Ia berdiri di depan pintu rumah mertuanya dengan perasaan gugup.Setelah mengumpulkan keberanian, ia melepas tangannya yang semula menggenggam pegangan stroller Oliver, lalu menekan bel. Satu kali. Dua kali.Jingga menahan napas saat pintu di hadapannya terbuka. Ia tak memiliki kesempatan untuk berbalik arah. Tekadnya sudah bulat.“Oh? Non Jingga? Selamat siang,” sapa seorang wanita paruh baya yang membuka pintu sambil tersenyum ramah.Jingga balas tersenyum. “Selamat siang, Bik. Apa... Tante Lucy ada?"“Ada, ada. Mari, silahkan masuk!”Wanita itu membuka pintu lebar-lebar dan beringsut memberi jalan bagi Jingga yang mendorong stroller yang diduduki Oliver.Arum ikut berjalan di belakang Jingga sambil membawa parsel buah kesukaan Lucy—anggur dan kiwi import. Sebelumnya Jingga sempat bertanya pada Davin mengenai buah favorit ibunya itu.Setibanya di ruangan tengah rumah mewah tersebut, Jingga melihat Lucy sedang mengobr
Baca selengkapnya

195. Mulai Luluh?

Lucy terbangun dari tidurnya dan ia mendapati kain pengompres menempel di dahi. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Dan Lucy penasaran, siapa yang menempelkan kain dingin itu di keningnya? Lucy memaksa tubuhnya untuk duduk, ia merasa lemas, seolah tenaganya perlahan-lahan terserap habis. Tangannya mengepal saat ia tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Dokter Indra siang tadi. Dokter Indra memberinya sebuah kabar buruk. Kabar yang membuat dunia Lucy terasa jungkir balik. "Dokter Indra, tolong katakan yang sebenarnya. Apa yang salah dengan kesehatan saya?" tanya Lucy saat itu kepada Dokter Indra. Dokter Indra menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat, sementara tangannya menggenggam hasil pemeriksaan. "Bu Lucy, saya akan berbicara dengan sejujurnya," kata pria itu dengan nada serius. "Hasil laboratorium Anda menunjukkan bahwa Anda menderita leukemia, atau... kanker darah." Lucy terdiam sejenak, merenungkan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia menggele
Baca selengkapnya

196. Khawatir Akan Terluka

Davin bergegas pergi meninggalkan kantor saat ia mendapat kabar dari rumah, bahwa Jingga pergi ke rumah orang tuanya, tanpa dirinya. Bukan apa-apa. Davin hanya merasa sangat khawatir Jingga diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya, seperti yang lalu-lalu. Setibanya di sana, Davin segera memasuki rumah mewah itu dan mencari-cari sosok Jingga di segala penjuru. Rahangnya mengeras kala ia menemukan wanita itu sedang berhadapan dengan ibunya di beranda. “Dave?” gumam Jingga dengan mata sedikit melebar. “Kamu sudah pulang dan tahu aku di sini?” Davin menatap Jingga seraya menghampirinya, lalu merangkul pinggang wanita itu dan berkata tegas, “Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kenapa kamu datang ke rumah ini tanpaku?” “A-aku... cuma ingin... menjenguk Tante Lucy.” Jingga gelagapan. “Tapi kamu jangan khawatir! Aku baik-baik saja!” Ia sedikit berseru sambil tersenyum lebar dan mengibaskan tangannya di udara. Davin menatap sorot mata Jingga lamat-lamat, tapi ia tidak menemukan kesed
Baca selengkapnya

197. Karya Seni Paling Indah

Davin memandangi Jingga, lalu menghela napas panjang. Ia nyaris lupa bagaimana caranya berkedip saat melihat penampilan istrinya saat ini. “Kenapa menghela napas? Aku terlihat jelek, ya? Atau riasanku aneh?” tanya Jingga seraya menatap Davin dengan tatapan polos. Davin mengedarkan pandangan ke sekeliling lobi Madhava Studio. Rahangnya mengeras saat ia mendapati beberapa pria yang berlalu lalang menatap ke arah Jingga lebih dari satu kali. “Udara di sini cukup dingin, Sayang.” Davin melepas jas hitam yang ia kenakan. Lalu mengenakannya di bahu Jingga, untuk menutupi tubuhnya yang indah dari pandangan lelaki lain. Jingga mengerjap. “Tapi aku nggak dingin,” sanggahnya, menggeleng. “Tapi aku nggak suka milikku dipandangi orang lain.” Davin merapatkan jas tersebut, menenggelamkan tubuh Jingga yang malam ini mengenakan dress satin berwarna peach, dengan model tali spageti, tinggi di bawah lutut, dan belahan di samping kiri yang memanjang ke atas lutut membuat gaun itu terlihat semakin
Baca selengkapnya

198. Tidak Tertarik Merebut Suami Wanita Lain

“Aku tahu, Sayang. Dan bagiku, kamu adalah karya seni yang paling indah dalam hidupku.” Jingga terperangah. Pipinya berubah semerah tomat. Ia tak menduga kata-kata manis itu akan keluar dari mulut suaminya. “Kenapa semakin ke sini, kamu semakin pintar menggombal, sih?” gerutu Jingga seraya menangkup pipinya yang terasa panas. Davin memperhatikan wajah Jingga, ia mengulum senyum dan kembali berbisik, “Kurasa, kita nggak perlu lama-lama di sini.” Ia mengecup pelipis Jingga. Jingga menatapnya dengan kening berkerut. “Kenapa memangnya?” “Aku ingin mencium bibirmu.” “Astaga....” Jingga menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan arah pikiran suaminya. Lalu Jingga bergegas meninggalkan Davin menuju kursi mereka. Satu sudut bibir Davin terangkat, tingkah malu-malu istrinya terlihat menggemaskan di matanya. Ia menyusul Jingga, duduk berdampingan dengannya. Saat keduanya sedang mengobrol sambil sesekali menyaksikan pembawa acara yang berbicara di depan, seorang pria tua
Baca selengkapnya

199. Harus Menahan Diri

Davin menahan geramnya dalam hati. Rasanya ia ingin mencolok mata-mata nakal para pria itu dengan garpu yang sedang ia pegang.Sudut mata Davin menangkap beberapa pria mencuri-curi pandang ke arah Jingga. Davin semakin geram. Ia menancapkan garpu ke potongan waffle di piringnya dengan kasar, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya.Tatapan mata tajamnya ia layangkan pada beberapa pria tersebut, bergantian, membuat mereka secara spontan memalingkan muka ke arah lain dengan takut.Sementara Jingga, dengan kalemnya menyantap makanan tanpa menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian pria-pria di meja seberang itu.“Kenapa wajah kamu tegang begitu?” Jingga menaruh pisau dan garpu ke atas piring, satu tangannya terulur untuk menangkup rahang Davin yang terasa kasar di bawah sentuhannya. “Kamu merasa nggak nyaman, ya?”Davin menghela napas panjang. Ia meraih tangan Jingga dari pipinya, mencium telapak tangan itu dengan mesra seolah ingin menunjukkan kepemilikannya.“Setelah menghabisk
Baca selengkapnya

200. Pertahanan Yang Runtuh

Detik-detik penyiksaan itu nyatanya tak kunjung berakhir. Setibanya di rumah, Jingga benar-benar melepas jas Davin dari tubuhnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Lalu menaruh jas itu di atas sofa.Tubuhnya yang berbalut gaun satin dengan tali spageti itu terpampang di depan mata Davin, membuat Davin mematung di depan pintu dengan mata tak berkedip. Pandangan Davin mengikuti Jingga yang berjalan menuju kitchen bar sembari mencepol rambut.Melihat leher jenjang itu pikiran Davin semakin liar. Rasanya sudah lama sekali ia tidak membuat mahakarya di sana. Davin menelan saliva dengan susah payah. Ia juga merasakan seluruh tubuhnya menegang.“Sayang, kamu mau minum juga?” seru Jingga dari arah dapur.Ya Tuhan! Davin mengusap wajah dengan kasar. Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah Jingga menyiksanya dengan penampilannya? Lalu sekarang, wanita itu memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’?Tidak bisa. Davin tidak bisa menahan dirinya lagi. Lama-lama ia bisa gila!Ia bergegas menghampiri Jing
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1819202122
...
26
DMCA.com Protection Status