“Aku tahu, Sayang. Dan bagiku, kamu adalah karya seni yang paling indah dalam hidupku.” Jingga terperangah. Pipinya berubah semerah tomat. Ia tak menduga kata-kata manis itu akan keluar dari mulut suaminya. “Kenapa semakin ke sini, kamu semakin pintar menggombal, sih?” gerutu Jingga seraya menangkup pipinya yang terasa panas. Davin memperhatikan wajah Jingga, ia mengulum senyum dan kembali berbisik, “Kurasa, kita nggak perlu lama-lama di sini.” Ia mengecup pelipis Jingga. Jingga menatapnya dengan kening berkerut. “Kenapa memangnya?” “Aku ingin mencium bibirmu.” “Astaga....” Jingga menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan arah pikiran suaminya. Lalu Jingga bergegas meninggalkan Davin menuju kursi mereka. Satu sudut bibir Davin terangkat, tingkah malu-malu istrinya terlihat menggemaskan di matanya. Ia menyusul Jingga, duduk berdampingan dengannya. Saat keduanya sedang mengobrol sambil sesekali menyaksikan pembawa acara yang berbicara di depan, seorang pria tua
Davin menahan geramnya dalam hati. Rasanya ia ingin mencolok mata-mata nakal para pria itu dengan garpu yang sedang ia pegang.Sudut mata Davin menangkap beberapa pria mencuri-curi pandang ke arah Jingga. Davin semakin geram. Ia menancapkan garpu ke potongan waffle di piringnya dengan kasar, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya.Tatapan mata tajamnya ia layangkan pada beberapa pria tersebut, bergantian, membuat mereka secara spontan memalingkan muka ke arah lain dengan takut.Sementara Jingga, dengan kalemnya menyantap makanan tanpa menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian pria-pria di meja seberang itu.“Kenapa wajah kamu tegang begitu?” Jingga menaruh pisau dan garpu ke atas piring, satu tangannya terulur untuk menangkup rahang Davin yang terasa kasar di bawah sentuhannya. “Kamu merasa nggak nyaman, ya?”Davin menghela napas panjang. Ia meraih tangan Jingga dari pipinya, mencium telapak tangan itu dengan mesra seolah ingin menunjukkan kepemilikannya.“Setelah menghabisk
Detik-detik penyiksaan itu nyatanya tak kunjung berakhir. Setibanya di rumah, Jingga benar-benar melepas jas Davin dari tubuhnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Lalu menaruh jas itu di atas sofa.Tubuhnya yang berbalut gaun satin dengan tali spageti itu terpampang di depan mata Davin, membuat Davin mematung di depan pintu dengan mata tak berkedip. Pandangan Davin mengikuti Jingga yang berjalan menuju kitchen bar sembari mencepol rambut.Melihat leher jenjang itu pikiran Davin semakin liar. Rasanya sudah lama sekali ia tidak membuat mahakarya di sana. Davin menelan saliva dengan susah payah. Ia juga merasakan seluruh tubuhnya menegang.“Sayang, kamu mau minum juga?” seru Jingga dari arah dapur.Ya Tuhan! Davin mengusap wajah dengan kasar. Cobaan apa lagi ini? Tidak cukupkah Jingga menyiksanya dengan penampilannya? Lalu sekarang, wanita itu memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’?Tidak bisa. Davin tidak bisa menahan dirinya lagi. Lama-lama ia bisa gila!Ia bergegas menghampiri Jing
Davin senyum-senyum sendiri, membayangkan akan sepanas apa malamnya bersama Jingga malam ini. Jantungnya berpacu cepat saat ia tiba di depan sebuah pintu kamar. Dengan tidak sabaran, lantas didorongnya pintu tersebut sambil berseru, “Sayang, aku kembali...!” Namun, ia tidak menemukan istrinya di dalam kamar itu. Davin melangkah masuk, kembali berseru dengan suara baritonnya, “Sayang? Kamu sengaja bersembunyi dariku?” Davin membuka pintu kamar mandi. Kosong. Lalu ia masuk ke walk in closet. Di sana pun tak ada sosok wanita yang dicintainya yang sedang dicarinya. Tanpa banyak berpikir, Davin pun keluar dari kamar itu dan bergegas menghampiri kamar utama. Saat ia membuka pintu kamar tersebut, mata Davin kembali berbinar-binar kala menemukan istrinya sedang duduk di sofa. Dilihat dari pakaian tidur yang Jingga kenakan, sepertinya Jingga sempat membersihkan tubuhnya saat Davin menidurkan Oliver barusan. Salah satu bagian tubuh Davin kembali menegang meski ia hanya memandangi istriny
Arum keluar dari kamarnya yang ada di belakang, terpisah dari rumah Davin. Di sana berjajar beberapa ruangan khusus untuk para pekerja. Langit terlihat masih gelap saat Arum melintasi jembatan yang menghubungkan halaman ruangannya, dengan beranda bagian belakang rumah sang majikan.Bunyi bip beberapa kali terdengar di tengah kesunyian saat Arum memasukkan kombinasi angka pada smart lock pintu, hingga pintu belakang rumah majikannya itu terbuka.Pukul lima pagi, jam kerja Arum dimulai. Ia memasuki rumah mewah tersebut, pintu di belakangnya otomatis terkunci saat Arum menutupnya.Hal pertama yang Arum lakukan adalah membuka-buka gorden yang menjulang tinggi menggunakan remote. Membuka jendela, membiarkan udara pagi yang masih segar masuk ke dalam rumah. Lantai satu selesai. Saatnya ia naik ke lantai dua. Gorden di lantai dua jauh lebih tinggi lagi, sebab hampir seluruh dinding di lantai tersebut terbuat dari kaca.Saat Arum melewati lorong yang remang-remang dan hendak mengambil remote
Jingga membuka pintu kaca di hadapannya. Semilir angin seketika menerpa tubuh, membuat rambut panjangnya melambai-lambai.Ia menggenggam tumbler berisi matcha latte di tangan kiri, sementara tangan kanan sibuk men-scroll media sosialnya.Jingga menyeret langkahnya ke ujung rooftop, sambil sesekali tersenyum melihat bunga-bunga yang tumbuh dengan baik di sisi kiri rooftop yang sengaja ia jadikan sebagai taman kecil.Di ujung rooftop itu ada dua kursi yang saling berhadapan, hanya terpisahkan oleh meja berpayung. Jingga duduk di salah satu kursi itu, ia menyesap minumannya sesaat, lalu tersenyum sendiri dengan mata berbinar saat ia menonton video pendek tentang sepasang kekasih yang traveling berdua menggunakan motor.Jingga mengetik sesuatu di kolom komentar postingan tersebut. Setelahnya ia menaruh ponsel di meja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah book cafe di seberang sana.Ya, saat ini Jingga berada di studio miliknya. Ia sudah mulai menempati gedung ini sejak beberapa hari yang
Setelah merapikan beberapa alat lukis yang sempat digunakan, Jingga keluar dari ruangan kreatifnya. Ia memandang ke sekeliling studio lantai tiga yang cukup luas dan bergaya minimalis itu. Meski semuanya telah disediakan oleh Davin, tapi Jingga merasa ada sesuatu yang kurang. Ia mendorong pintu kaca di hadapannya. Seulas senyum lebar terlukis di bibir kala ia memandangi Davin. Pria berkemeja hitam itu sedang menelepon, satu tangannya bersembunyi di saku celana, berdiri dengan gagah di ujung rooftop, membelakangi Jingga. Punggung lebar itu... Jingga sangat menyukainya. Juga potongan rambut di tengkuknya yang rapi, membuat siapapun yang melihatnya akan berpikir bahwa Davin adalah pria tampan meski mereka belum melihat parasnya. Tanpa suara, Jingga mengayunkan langkah menghampiri. Ia lingkarkan kedua tangannya di pinggang Davin dan menyandarkan pipi di punggung lebar itu. Jingga bisa merasakan tubuh pria itu menegang dan sempat berjengit. “Aku tunggu tiga puluh menit!” kata Davin den
Jingga merasakan hembusan napas pria itu menerpa kulit leher. Ia berpikir, mungkin Davin masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera bersama Vincent. Keduanya diam sesaat. Davin seolah sedang menghilangkan rasa lelahnya dalam pelukan Jingga. Dan Jingga memilih mengelus belakang kepala pria itu dengan penuh kasih sayang. “Dave?” “Hm?” gumam Davin tanpa mengangkat wajahnya dari ceruk leher Jingga. “Aku merasa, studio ini bisa lebih dari sekadar tempat aku melukis," ucap Jingga, mencoba mengungkapkan apa yang ada di benaknya sejak tadi. "Rasanya sia-sia kalau cuma aku yang menggunakan semua ruangan ini." Davin akhirnya mendongak, memandangi Jingga dengan penuh perhatian. "Kamu punya rencana lain, Sayang?" “Hm.” Jingga mengangguk. "Aku ingin studio ini menjadi ruang kreatif untuk orang lain juga. Mungkin bisa diadakan kelas seni, workshop, atau mungkin galeri kecil untuk seniman lokal. Tempat di mana orang-orang bisa belajar, berkarya, dan berbagi inspirasi," jelas Jin
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah