Semua Bab Istri Manis sang Pewaris: Bab 171 - Bab 180

252 Bab

171. Sudah Berusaha Lembut

“Sepertinya... barusan aku membuat kesalahan.”Jingga semakin tidak mengerti dengan ucapan Davin tersebut. “Kesalahan?” tanyanya seraya menyentuh rahang Davin yang ditumbuhi rambut halus. “Kesalahan apa memangnya?”Davin menelan saliva. Dengan perlahan ia bangkit dan menarik lengannya dari bawah kepala Jingga dengan hati-hati. Lalu, tatapannya tertuju pada perut istrinya yang masih tertutupi selimut. Davin menyentuhnya dengan lembut seolah-olah khawatir sentuhannya akan menyakiti janin di dalam sana.“Aku... tadi aku nggak bisa menahan diri,” gumam Davin dengan tatapan bersalah. Ia menatap mata Jingga, dan ia tak bisa menyembunyikan kecemasan dari sorot matanya. “Aku sudah berusaha bersikap lembut, tapi aku sulit mengendalikan diri. Bagaimana ini? Sepertinya aku sudah menyakiti calon anak kita, Sayang.”Jingga menghela napas lega mendengarnya. Barusan ia sempat mengira bahwa ‘kesalahan’ yang dimaksud Davin adalah sesuatu yang akan jadi masalah besar. Ternyata, hanya kekhawatiran Davin
Baca selengkapnya

172. Tidak Boleh Grasak-Grusuk

Jika ada kompetisi pria tergengsi se-ibukota, mungkin Davin akan jadi pemenangnya. Saat ini, jelas-jelas dadanya bergemuruh, pikirannya berisik akan kekhawatiran yang ia alami. Namun, di depan dokter wanita paruh baya itu Davin tetap terlihat tenang, setenang air laut tanpa riak.“Selamat pagi, Bapak Davin, Bu Jingga, ada yang bisa saya bantu?” tanya Dokter Kartika dengan ramah. Ia mengenali wajah Davin yang sering muncul di berbagai media sosial dan website rumah sakit. Davin juga sering muncul di berita sebagai sosok yang aktif dalam memberikan sumbangan untuk bidang kesehatan dan pengembangan infrastruktur rumah sakit.“Selamat pagi, Dokter. Saya memiliki kekhawatiran mengenai kondisi kandungan istri saya,” ujar Davin dengan tenang.Dokter Kartika mengangguk. “Baik. Apa ada keluhan dengan kandungannya, Bu?” Ia menatap ke arah Jingga.Sebelum Jingga menjawab, Davin cepat-cepat berkata, “Begini, Dok, jadi tadi malam....” Davin berdehem canggung. “Saya melakukan hal yang—“Kata-kata D
Baca selengkapnya

173. Seseorang Yang Menenangkan Jiwa

Davin duduk dengan tegap. Rahangnya berkedut. Sorot matanya menyiratkan kemarahan saat ia melihat seorang wanita mendekatinya digiring petugas. Wanita itu lalu duduk di hadapan Davin, mereka berdua terhalang oleh sebuah meja kayu persegi.Wajah wanita itu tampak menyedihkan. Pipinya lebam. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Area di sebelah matanya tampak biru, seperti habis ditonjok seseorang.Davin menghela napas kasar. Jika itu dulu, ia pasti akan iba melihat kondisi Chelsea yang menyedihkan seperti itu. Namun sekarang, sudah tidak tersisa lagi rasa belas kasih Davin untuk wanita yang telah berniat mencelakakan Jingga.“Ada apa dengan wajahmu? Orang-orang di dalam tahanan melukaimu?” tanya Davin dengan ekspresi datar. Tidak. Ia bukan sedang menunjukkan perhatiannya, ia hanya ingin memastikan bahwa usahanya untuk membuat Chelsea dan Emran tidak dispesialkan di ruang tahanan—alias tidak dipisah dengan tahanan lain, berhasil.Chelsea menunduk, sama sekali tidak berani menunjukkan wajahnya
Baca selengkapnya

174. Aku Mau Kamu

Jingga sempat menaruh alat penyiram tanaman di meja sebelum ia berbalik badan, menghadap suaminya yang masih tampak rapi dan tampan meski hari sudah menjelang sore.“Tumben?” Jingga tersenyum manis, menampilkan kedua lesung pipinya. “Pulangnya lebih awal satu jam.”Davin menangkup pipi Jingga dengan dua telapak tangannya yang lebar. “Sudah kubilang, aku kangen kamu, Jingga Thania,” bisik Davin, sesaat sebelum ia mendaratkan bibirnya pada bibir Jingga, memagutnya dengan penuh damba, lidahnya melesak masuk saat Jingga memberinya celah.Bibirnya bermanuver, dengan napas memburu, membuat Jingga sempat kewalahan mengimbangi. Jingga merasa limbung dan lemas dengan serangan tiba-tiba itu. Ia nyaris terjatuh ke belakang akibat ciuman yang dalam dan kuat Davin, beruntung Davin sigap memeluk pinggangnya dengan erat untuk memberi wanitanya rasa aman dan nyaman.Napas Jingga ikut memburu. Kepalanya mulai pusing mengimbangi Davin yang tidak sabaran.Dalam satu kali hentakan, Davin berhasil mendudu
Baca selengkapnya

175. Jingga Yang Semakin Berani

Jingga tertegun, matanya berkaca-kaca penuh haru. Davin yang melihat mata wanita itu langsung terkejut. “Sayang, kenapa? Apa ucapanku barusan menyakitimu?” tanya Davin tanpa menyembunyikan kepanikannya. Jingga menggeleng, ia menggenggam tangan Davin yang menyentuh pipinya. “Nggak. Sama sekali nggak,” sanggahnya cepat. “Aku... terharu mendengar rencana kamu buat Oliver, Dave.” Helaan napas Davin terdengar lega. “Aku kira ada yang salah dengan ucapanku,” ujarnya seraya menggenggam balik tangan Jingga. Ia memandangi wanita itu lamat-lamat. “Jadi? Kamu setuju mengenai rencanaku?” “Mm-hm.” Jingga mengangguk. “Aku setuju.” Kedua sudut bibir Davin terangkat tinggi. “Terima kasih,” ucapnya, karena Jingga sudah setuju dengan rencananya. “Ngomong-ngomong, kamu ingin konsep pesta seperti apa?” “Em... untuk saat ini aku belum punya gambaran, sih. Boleh aku cari referensi dulu?” “Tentu.” Davin mengangguk seraya mengerjap pelan. “Kalau sudah ketemu, beritahu aku untuk berdiskusi. Aku
Baca selengkapnya

176. Laki-laki Kurang Peka

“Dave, aku sudah punya konsep untuk pesta ulang tahun Oliver!” seru Jingga dengan mata berbinar-binar. Davin menaruh gelas kosong di meja, ia berbalik, menatap istrinya yang berjalan cepat menghampiri sambil memeluk iPad. “Pagi-pagi nggak mau menyapaku dulu, gitu?” Davin mendaratkan kedua telapak tangannya di pinggang Jingga yang ramping. Lalu menunduk hendak mencium bibirnya, tapi dengan cepat Jingga meraup wajah Davin dan melirik pada Arum yang sedang mencuci piring. “Lihat-lihat tempat dulu kalau mau melakukan sesuatu,” gumam Jingga dengan bibir sedikit manyun. “Tapi aku nggak bisa melihat hal lain kalau ada kamu. Semuanya jadi buram selain kamu.” Mata Jingga merotasi menanggapi gombalan Davin yang diucapkan dalam ekspresi datar itu. “Aku sudah punya konsep pestanya. Mau dengar atau nggak?” Jingga mengalihkan pembahasan mereka ke topik awal. Davin mengangguk. “Tentu saja. Keinginanmu adalah perintah bagiku, Sayang.” Ia tersenyum dan mengikuti Jingga yang duduk di meja
Baca selengkapnya

177. Teman Yang Pernah Kamu Cintai

Pria berpenampilan rapi itu tersenyum manis. “Selamat pagi,” sapanya, “maaf, pagi-pagi membuatmu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.” “Aku memang kaget kedatangan tamu yang nggak disangka-sangka.” Jingga menjawab jujur seraya terkekeh kecil. Ini kunjungan pertama Kalil ke rumah Davin dan itu sangat mengejutkannya. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Kalil bicarakan dengannya. “Em... kalau begitu, ayo masuk.” “Terima kasih.” Kalil mengikuti langkah kaki Jingga menuju ruang tamu. “Tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di luar, tapi aku rasa itu kurang sopan.” “Sejak aku resign dari Madava Studio, sepertinya kamu sama sekali belum mentraktirku makan di luar.” Jingga menoleh, pura-pura cemberut, yang membuat Kalil tersenyum. “Maaf. Aku yakin, suamimu nggak akan menyukai ide itu.” Kalil terkekeh-kekeh."Iya, kamu benar." Jingga mengangguk membenarkan, sambil tertawa kecil.Jingga memang sudah berhenti bekerja dari Madhava Studio sejak akhir bulan Januari lalu
Baca selengkapnya

178. Sudah Sangat Cukup

Jingga berjalan seraya mengikat rambut panjangnya ala ponytail. Langkah kakinya seketika terhenti di tengah-tengah ruangan, saat ia mendengar suara presenter berita di televisi menyebut-nyebut nama Chelsea dan Emran. Jingga menurunkan kedua tangan dari kepalanya, meraih remote di meja, membesarkan volume. Ia terpaku menatap Chelsea dan Emran yang digiring polisi ke dalam mobil tahanan, dan mereka dikerubungi wartawan. Seragam orange yang dikenakan sepasang ayah dan anak itu, membuat wibawa mereka hilang dalam sekejap. Wajah kuyu, mulut bungkam, kepala tertunduk. Emran, orang yang cukup berkuasa itu kini tampak tak berdaya, harga dirinya terinjak-injak. Begitu pula Chelsea, wajah cantik dan mulusnya kini dipenuhi lebam. Ia dan sang ayah menjadi topik hangat yang dibicarakan dalam seluruh media pagi ini. Keduanya kini dikenal sebagai sepasang ayah dan anak pembunuh. Perusahaan Emran pun terancam hancur. Orang-orang pergi meninggalkannya akibat kasus tersebut. “Semuanya berawal d
Baca selengkapnya

179. Tak Kenal Tempat

“Hm. Bagi aku juga begitu.” Jingga tersenyum manis, hatinya sedang merasa bahagia, jadi ia tak berpikir dua kali saat ia berjinjit lalu mengecup bibir Davin sesaat. “Terima kasih, ya. Oliver pasti bahagia.” Davin mengerjap. Ia menatap Oliver yang masih terlelap nyaman, lalu melihat angka di atas tombol panel yang terus berubah. Restoran yang mereka tuju ada di lantai sebelas. “Jangan memancingku di tempat seperti ini, Sayang,” ucap Davin seraya menundukkan kepala ke arah Jingga. “Karena aku nggak bisa menahan diri kalau itu sesuatu yang berhubungan dengan kamu.” Jingga mengerjapkan matanya berkali-kali, ia mundur dengan waspada. “Dave, jangan berpikir mau menciumku di sini. Ini tempat umum, oke? Kamu bisa melakukannya di—“ Jingga menghela napas pasrah karena ia terlambat menghindari Davin. Bibir pria itu bergerak lembut di atas bibirnya. Jingga tak bisa menahan jantungnya untuk tidak berdebar-debar kencang. Pada akhirnya Jingga terbuai, ia memilih untuk memejamkan mata dan mem
Baca selengkapnya

180. Rencana Makan Siang Bersama Istri

Davin William: Sayang, aku tunggu di kantor jam 12 ya. Kita makan siang bersama di sini. Aku sudah pesan makanan untuk kita. Wife: Astaga. Kenapa baru bilang sekarang? Aku belum ngapa-ngapain ini. Davin William: Masih ada waktu satu jam, Sayang. Jangan terburu-buru. Wife: Baiklah... aku mandi dulu deh. Oliver bawa? Davin William: Iya, bawa. Aku rindu kalian berdua. Wife: ckck gombal teruus. Davin William: Ini bukan gombal, ya. Aku serius. Tadinya aku mau pulang, tapi pekerjaanku belum bisa ditinggal. Wife: Oke, oke. Tunggu kalau begitu. Aku siap-siap dulu. Davin William: Iya. I love you, Sayang. Wife: Love you too. Senyuman Davin mengembang semakin lebar saat Jingga mengirim pesan terakhir itu yang dibubuhi emoticon hati berwarna merah dan ciuman, di akhir kalimat. Menaruh ponsel ke meja, Davin lantas menekan interkom di sebelahnya dan langsung terhubung dengan Mia. “Mia, makan siang yang saya pesan sudah sampai mana?” “Sedang diantar kemari, Pak. Kemungkinan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1617181920
...
26
DMCA.com Protection Status