Pria berpenampilan rapi itu tersenyum manis. “Selamat pagi,” sapanya, “maaf, pagi-pagi membuatmu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.” “Aku memang kaget kedatangan tamu yang nggak disangka-sangka.” Jingga menjawab jujur seraya terkekeh kecil. Ini kunjungan pertama Kalil ke rumah Davin dan itu sangat mengejutkannya. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Kalil bicarakan dengannya. “Em... kalau begitu, ayo masuk.” “Terima kasih.” Kalil mengikuti langkah kaki Jingga menuju ruang tamu. “Tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di luar, tapi aku rasa itu kurang sopan.” “Sejak aku resign dari Madava Studio, sepertinya kamu sama sekali belum mentraktirku makan di luar.” Jingga menoleh, pura-pura cemberut, yang membuat Kalil tersenyum. “Maaf. Aku yakin, suamimu nggak akan menyukai ide itu.” Kalil terkekeh-kekeh."Iya, kamu benar." Jingga mengangguk membenarkan, sambil tertawa kecil.Jingga memang sudah berhenti bekerja dari Madhava Studio sejak akhir bulan Januari lalu
Jingga berjalan seraya mengikat rambut panjangnya ala ponytail. Langkah kakinya seketika terhenti di tengah-tengah ruangan, saat ia mendengar suara presenter berita di televisi menyebut-nyebut nama Chelsea dan Emran. Jingga menurunkan kedua tangan dari kepalanya, meraih remote di meja, membesarkan volume. Ia terpaku menatap Chelsea dan Emran yang digiring polisi ke dalam mobil tahanan, dan mereka dikerubungi wartawan. Seragam orange yang dikenakan sepasang ayah dan anak itu, membuat wibawa mereka hilang dalam sekejap. Wajah kuyu, mulut bungkam, kepala tertunduk. Emran, orang yang cukup berkuasa itu kini tampak tak berdaya, harga dirinya terinjak-injak. Begitu pula Chelsea, wajah cantik dan mulusnya kini dipenuhi lebam. Ia dan sang ayah menjadi topik hangat yang dibicarakan dalam seluruh media pagi ini. Keduanya kini dikenal sebagai sepasang ayah dan anak pembunuh. Perusahaan Emran pun terancam hancur. Orang-orang pergi meninggalkannya akibat kasus tersebut. “Semuanya berawal d
“Hm. Bagi aku juga begitu.” Jingga tersenyum manis, hatinya sedang merasa bahagia, jadi ia tak berpikir dua kali saat ia berjinjit lalu mengecup bibir Davin sesaat. “Terima kasih, ya. Oliver pasti bahagia.” Davin mengerjap. Ia menatap Oliver yang masih terlelap nyaman, lalu melihat angka di atas tombol panel yang terus berubah. Restoran yang mereka tuju ada di lantai sebelas. “Jangan memancingku di tempat seperti ini, Sayang,” ucap Davin seraya menundukkan kepala ke arah Jingga. “Karena aku nggak bisa menahan diri kalau itu sesuatu yang berhubungan dengan kamu.” Jingga mengerjapkan matanya berkali-kali, ia mundur dengan waspada. “Dave, jangan berpikir mau menciumku di sini. Ini tempat umum, oke? Kamu bisa melakukannya di—“ Jingga menghela napas pasrah karena ia terlambat menghindari Davin. Bibir pria itu bergerak lembut di atas bibirnya. Jingga tak bisa menahan jantungnya untuk tidak berdebar-debar kencang. Pada akhirnya Jingga terbuai, ia memilih untuk memejamkan mata dan mem
Davin William: Sayang, aku tunggu di kantor jam 12 ya. Kita makan siang bersama di sini. Aku sudah pesan makanan untuk kita. Wife: Astaga. Kenapa baru bilang sekarang? Aku belum ngapa-ngapain ini. Davin William: Masih ada waktu satu jam, Sayang. Jangan terburu-buru. Wife: Baiklah... aku mandi dulu deh. Oliver bawa? Davin William: Iya, bawa. Aku rindu kalian berdua. Wife: ckck gombal teruus. Davin William: Ini bukan gombal, ya. Aku serius. Tadinya aku mau pulang, tapi pekerjaanku belum bisa ditinggal. Wife: Oke, oke. Tunggu kalau begitu. Aku siap-siap dulu. Davin William: Iya. I love you, Sayang. Wife: Love you too. Senyuman Davin mengembang semakin lebar saat Jingga mengirim pesan terakhir itu yang dibubuhi emoticon hati berwarna merah dan ciuman, di akhir kalimat. Menaruh ponsel ke meja, Davin lantas menekan interkom di sebelahnya dan langsung terhubung dengan Mia. “Mia, makan siang yang saya pesan sudah sampai mana?” “Sedang diantar kemari, Pak. Kemungkinan
“Apa... ibuku yang memintamu datang ke sini?” Rachel mengerutkan kening, lalu tertawa renyah sambil menggeleng. “Aku kebetulan sedang menemani ibuku ke acara ini, lalu tanpa sengaja kami bertemu Tante Lucy,” ujarnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Kami mengobrol cukup banyak tadi, dan Tante Lucy juga sempat membahas kamu.” Sial. Davin menggeram dalam hati. Ibunya berhasil menjebaknya datang kemari dan mempertemukannya dengan wanita ini. Ya, Davin yakin sekali, ibunya benar-benar berniat menjodohkannya dengan wanita lain. “Lalu di mana ibuku sekarang?” tanya Davin seraya melihat ke sekeliling restoran sekali lagi. “Tante Lucy sudah pulang, tadi sepertinya dia buru-buru sekali. Kalau Mama aku, dia lagi ada pertemuan sama teman-temannya di lantai atas,” ujar Rachel, lalu ia menunjuk ke arah meja yang terletak tak jauh dari mereka. “Kita minum dulu di sana? Bagaimana?” “Maaf.” Davin melirik arloji seraya mengembuskan napas kasar. “Aku harus pulang sekarang. Terima k
“Light Gallery? Di sana lagi ada pameran, ‘kan?” “Mm-hm. Kamu mau lihat pamerannya?” Mata Jingga seketika berbinar-binar seraya menganggukkan kepala. “Iya, aku mau.” Davin tersenyum, ia tak sampai hati menghilangkan binar di mata istrinya. Jadi Davin memilih untuk tidak mengatakannya sekarang mengenai rencana Lucy. “Baiklah. Besok aku akan menemanimu ke sana.” “Terima kasih!” seru Jingga sambil tersenyum lebar dan mengecup hidung Davin, membuat pria itu seketika menegang. Jingga tertawa melihat ekspresi suaminya. “Sayang...,” panggil Davin dengan suara yang mendadak berat. “Jangan berpikir yang aneh-aneh.” Sekali lagi Jingga mengecup Davin, kali ini di bibirnya. Lalu turun dari pangkuannya. “Karena kita harus makan siang sekarang, perut aku sudah lapar. Dan yang paling penting, handphone kamu bunyi itu. Angkat dulu, deh.” Davin mengerjap. Ciuman Jingga membuat perhatiannya terserap habis pada wanita itu, hingga Davin baru sadar ponselnya berbunyi. Panggilan dari Lucy. Davin
Davin tidak tahu kalau penolakannya siang itu akan berakibat fatal. Davin yang melarang, tapi Davin sendiri yang kena batunya. Ia tersiksa. Rasanya ingin membenturkan kepala ke dinding saja pagi ini. Bagaimana tidak? Sudah dua hari berlalu sejak Jingga menyampaikan keinginannya untuk bermain flyboard, dan selama dua hari itu pula Jingga mengabaikan Davin akibat penolakan itu. Saat sarapan bersama, Jingga sama sekali tidak bicara pada Davin kecuali jika Davin bertanya, itupun jawaban Jingga hanya ala kadarnya. Saat malam hari Davin mencoba tidur sambil memeluknya, tapi Jingga justru malah menjauh dengan ekspresi datar. Jingga sama sekali tidak memberi kesempatan pada Davin untuk dekat-dekat dengannya. Dan sungguh, itu benar-benar membuat Davin merana dan tersiksa! Ya Tuhan.... Namun, mengiakan keinginan Jingga pun tidak akan pernah Davin lakukan. Bagaimana bisa Davin mengizinkan Jingga dipeluk lelaki lain bermain di atas flyboard? Itu sangat mustahil! Dunia akan kiamat jika sa
Davin berjalan menghampiri rumahnya sambil bersiul. Ia sengaja pulang lebih awal siang ini. Davin yakin sekali, malam ini ia bisa tidur memeluk Jingga setelah istrinya itu mendengar bahwa ia akan mengizinkannya bermain flyboard. Davin berdehem dan berdiri di depan pintu, bersiap menekan bel. Jantungnya berdebar-debar kencang, ia merasa seperti seorang pria yang akan datang ke rumah orang tua sang kekasih untuk meminangnya. Sambil menyembunyikan seikat bunga tulip di belakang punggung, tangan kanan Davin menekan bel. Hingga tak lama kemudian pintu terbuka, dan menampilkan sosok Jingga yang tampak tidak terkejut melihat kedatangan Davin. Namun, justru Davin yang dibuat terkejut oleh penampilan sang istri. Mata Davin seketika melebar, mendadak ia kesulitan menelan saliva. Bagaimana tidak? Penampilan Jingga saat ini berhasil mengundang hasratnya yang merana dua hari terakhir ini. Wanita itu mengenakan celana selutut dan thank top yang sama-sama ketat, tubuhnya dibanjiri peluh. Meski
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah