Semua Bab Istri Manis sang Pewaris: Bab 111 - Bab 120

252 Bab

111. Aku Sudah Menunggu Terlalu Lama

Mata Jingga berbinar-binar kala melihat isi kotak hadiah dari Davin, di hadapannya.Pria itu seakan tidak cukup memberinya kejutan dengan pesta yang megah, dia juga memberikan hadiah lain yang merupakan barang impian Jingga sejak masih remaja.“Dave...,” bisik Jingga seraya menatap Davin dengan mata berlinang. Entah mengapa, sekarang ia lebih mudah menunjukkan berbagai macam ekspresi di depan Davin. “Terima kasih. Aku sangat menyukai hadiah dari kamu. Aku benar-benar menyukainya.”“Aku tahu. Kamu pasti suka.” Davin terkekeh seraya mengeluarkan sepasang sepatu roda dari kotak tersebut. “Lebih baik kamu coba dulu. Kalau nggak sesuai, aku akan membeli ukuran yang lain.”“Jangan menghambur-hamburkan uang. Aku tahu ini pasti pas di kaki aku.”Davin berjongkok di depan Jingga, ia membantu memasang kaos kaki dan sepatu itu di kaki sang istri.“Coba berdiri.”“Hm.” dengan hati yang berbunga-bunga, Jingga perlahan berdiri sambil berpegangan pada tangan Davin, tapi ia belum mendapat keseimbanga
Baca selengkapnya

112. Apapun Akan Kulakukan Untukmu

Davin memandangi Jingga dengan penuh cinta. Jingga membalas tatapan itu dengan senyuman lembut yang menghiasi wajahnya yang berpeluh. Keduanya saling merangkul dengan erat, sebagai bentuk kerinduan yang telah terpendam begitu lama.“Aku lupa apakah aku pernah mengatakan ini sebelumnya atau nggak,” bisik Davin tanpa menghentikan gerakan tubuhnya.“Mengatakan apa?”Davin mendekatkan bibirnya ke telinga Jingga dan kembali berbisik, “Kecantikanmu bertambah tiga kali lipat saat berada di bawahku. Seperti sekarang.”Jingga menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak melampiaskan gelenyar asing melalui desah di mulutnya. Namun, ia gagal. Kata-kata penuh godaan dan pujian, serta kelembutan yang seketika berganti dengan pergerakan liar dari Davin, membuat Jingga tak lagi bisa menahan dirinya.Rasa malu dan canggung yang semula menyelimuti Jingga, kini hilang entah ke mana. Jingga merasa tidak ingin Davin berhenti. Ruangan kamar yang luas itu kini terasa sempit dan panas.“Aku sangat mer
Baca selengkapnya

113. Dia Juga Berhak Bahagia

Jingga sedang memeriksa kue di dalam oven saat Davin tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kini, Jingga sudah tidak merasa terkejut lagi dengan pelukan spontan dari pria iti.“Apa yang sedang kamu buat?” tanya Davin seraya mengecup pelipis Jingga.“Cheese cake.” Jingga menoleh, tersenyum. Dan ia sempat menahan napas saat Davin mempertemukan bibir mereka sesaat. Mata Jingga mengerjap.Davin tersenyum lembut. “Bukan hanya makanan menu utama, tapi kue buatanmu juga sudah menjadi favoritku sejak lama.”Pengakuan Davin membuat pipi Jingga memanas. “Kamu selalu memujiku dan membuatku malu,” gerutunya dengan bibir sedikit merengut.Davin melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga saling berhadapan. “Dan tentu kamu tahu, aku bukan laki-laki yang pandai memuji seseorang. Jadi....” Ia mencubit hidung Jingga dengan gemas. “Bersyukurlah karena kamu wanita yang selalu ingin aku puji.”Jingga memutar matanya lalu terkekeh-kekeh. Ia sedikit mendorong dada Davin dan baru menyadari bahwa pria itu sudah
Baca selengkapnya

114. Kejutan Yang Lain

Davin mengabaikan panggilan dari Chelsea dan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. Namun, beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering. Davin mengabaikannya lagi.Setelah tiga kali Chelsea menelepon tanpa henti, Davin akhirnya membuang napas kasar dan memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.“Halo,” sapa Davin dengan suara dingin.Kening Davin berkerut kala mendengar isak tangis di seberang sana.“Dave...,” lirih Chelsea, “ada yang ingin aku tanyakan ke kamu. Apa... kamu yakin nggak mau mencabut tuntutan kamu padaku?” Suara Chelsea terdengar lesu dan tangisannya memilukan.Davin mengusap wajah kasar menggunakan tangan yang lain, sebelum kembali memegangi kemudi. “Keputusanku sudah final. Usahamu meyakinkanku sia-sia, Chelsea.”“Tega kamu ya, Dave.” Isak tangis Chelsea sedikit mengencang. “Ternyata kebersamaan kita yang sudah terjalin bertahun-tahun nggak cukup membuatmu mentolerir kesalahanku. Aku tahu, aku salah, Dave. Tapi kumohon... maafkan aku. Masalah ini membuat
Baca selengkapnya

115. Mengencani Banyak Wanita

Davin berdiri, bersedekap dada. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam itu memandangi sosok wanita yang sedang bermain roller sport. Dia sedikit lebih lincah daripada kemarin. Kadang-kadang wanita itu tertawa, kadang-kadang berpekik saat nyaris terjatuh. Meski baru beberapa hari berlatih, tapi kemampuannya meningkat dengan cepat.Kedua sudut bibir Davin terangkat menyaksikannya. Ia merasa senang karena Jingga yang dulu murung, kaku dan pendiam itu perlahan-lahan berubah menjadi lebih berani dan percaya diri.Namun, senyuman Davin perlahan sirna saat ia mengingat percakapan mereka di studio tiga hari yang lalu. Saat itu Jingga mengatakan tentang mimpi buruknya yang terus berulang dengan mimpi yang sama.“Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Itu cuma mimpi. Bisa saja mimpinya berulang-ulang karena kamu terus memikirkannya,” ucap Davin saat itu dengan berpura-pura tenang.Beruntung Jingga setuju dengan ucapannya. Sehingga wanita itu tidak membahas mimpinya lagi.Davin kemudian mendongak, m
Baca selengkapnya

116. Persidangan

Hari persidangan Chelsea pun akhirnya tiba. Meski pada awalnya Davin tidak mengizinkan Jingga untuk hadir sebagai saksi, tapi pada akhirnya Jingga berhasil meyakinkan Davin bahwa dirinya sanggup duduk di depan hakim. Karena sebagai saksi korban, Jingga harus hadir untuk memberikan keterangannya.Jingga dan Davin duduk berdampingan. Bersamaan dengan Lucy dan Anthoni yang juga turut hadir dalam persidangan hari ini. Di deretan kursi yang lain, keluarga inti Chelsea juga tampak hadir. Nita berkali-kali kedapatan sedang menatap tajam ke arah Jingga. Namun, Jingga berusaha menghiraukannya meski hatinya terusik.Saat Chelsea dihadirkan ke dalam ruangan dan duduk di kursi terdakwa bersama pengacaranya, Chelsea sempat menatap pada Jingga dengan tatapan penuh amarah.Jingga menghela napas berat. Jika boleh jujur, ia pun marah pada Chelsea. Untuk itulah ia memberanikan diri datang meski tak pernah benar-benar siap.“Jangan hiraukan,” bisik Davin seraya menggenggam tangan Jingga dengan erat. “Ab
Baca selengkapnya

117. Di Suatu Sore

Otot-otot yang terpahat sempurna di punggung Davin, dan rambut bagian belakang kepalanya yang terpotong rapi, adalah pemandangan pertama yang Jingga lihat saat membuka mata. Pria itu tidur menelungkup dengan wajah menghadap ke arah berlawanan dengan Jingga.Jingga tersenyum kecil, pipinya merona ketika teringat apa yang telah mereka selesaikan tiga puluh menit yang lalu, di ranjang ini.Ia bangkit duduk. Matanya mengedar ke sekeliling kamar bergaya rustik dengan lantai terbuat dari kayu mengkilap, mencari-cari pakaiannya. Jingga menghela napas, ia lupa bahwa tadi Davin melepas pakaiannya di kamar mandi. Dan Jingga yakin, kain-kain itu masih berserakan di lantai sekarang.Karena malu jika harus berjalan tanpa busana ke kamar mandi, Jingga akhirnya menarik selimut putih yang menutupi mereka berdua. Lalu melilitkan selmut tebal itu ke tubuh polosnya, membiarkan Davin yang bertelanjang dada tanpa selimut.Jingga akan masuk ke kamar mandi, tapi pemandangan langit berwarna jingga di luar sa
Baca selengkapnya

118. Demi Keselamatan Jingga

Setelah menginap selama satu malam di vila pinggir pantai tersebut, mereka kembali bertolak ke rumah. Davin mengemudi sendiri. Sementara Vincent, Amarylis dan Arum sudah lebih dulu pulang tadi pagi.“Sayang,” panggil Davin seraya menggenggam tangan Jingga menggunakan tangan yang terbebas.Jingga mengalihkan tatapannya dari jalanan sepi yang mereka lewati, ke arah Davin dengan tatapan penuh tanya.“Ada yang ingin kamu bicarakan?”Davin mengangguk. Ia menelan saliva dengan berat. “Selama seminggu ke depan, jangan pergi sendirian, jangan menumpangi taksi atau bis, jangan dekat-dekat dengan benda tajam, dan segera beritahu aku kalau kamu merasakan tubuhmu sakit atau kurang nyaman.”Meski pandangan Davin lurus ke depan, tapi Jingga bisa melihat keseriusan yang tergambar di wajah Davin saat mengatakan kalimat barusan.Dengan kernyitan di dahi, Jingga bertanya, “Boleh aku tahu apa alasannya?”Davin diam sejenak, menghela napas berat, ia melirik Jingga sesaat dengan tatapan sendu. “Alasannya
Baca selengkapnya

119. Jangan Terluka

Mendengar teriakan Davin, Jingga buru-buru menarik dirinya dan duduk di samping Vincent. Ia berusaha meredam debaran jantungnya yang berpacu cepat akibat panik karena ia nyaris jatuh ke kolam.“Maaf, Vincent. Aku benar-benar nggak sengaja,” ucap Jingga merasa bersalah. “Tapi terima kasih sudah menolongku.”Vincent bangkit duduk dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Saya bersyukur Bu Jingga tidak kenapa-napa.” Lalu ia berdiri dan sedikit menundukkan kepalanya di depan Davin yang sudah mendekat. “Pak Davin, saya mohon Anda jangan salah paham. Saya hanya membantu Bu Jingga yang hampir jatuh dari sepeda.”“Iya, itu benar.” Jingga menatap wajah Davin yang mengeras dan dingin, dan menatap Vincent bergantian. “Aku lagi mencoba sepeda baru, aku pikir aku bisa mengayuhnya sendiri, tapi aku kehilangan keseimbangan dan—Ya Tuhan, tangan kamu berdarah, Vincent!”Mata Jingga terbelalak saat tanpa sengaja tatapannya tertuju pada tangan Vincent yang berdarah.“Tidak apa-apa. Ini hanya—““Tunggu sebentar,”
Baca selengkapnya

120. Davin Tantrum

Vincent melirik Davin melalui kaca spion. Raut wajah bosnya itu terlihat suram. Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Untuk bernapas saja, Vincent menghelanya sepelan mungkin. Seolah helaan napasnya takut terdengar Davin dan membuat amarah lelaki itu semakin menjadi-jadi.“Berhenti!” titah Davin tiba-tiba dengan suara dingin.Sontak, Vincent membanting stir ke kiri dan menginjak rem dalam-dalam, membuat tubuh Davin nyaris terhuyung ke kursi depan.“Damn! Kamu bisa menyetir atau tidak?! Kamu mau membuatku celaka?!" berang Davin dengan tatapannya yang jauh lebih tajam dari pedang.“Anda menyuruh saya untuk berhenti, Pak. Jadi saya langsung berhenti.”“Jadi kalau aku menyuruhmu berhenti di tengah jalan, kamu akan langsung berhenti tanpa mempertimbangkan keselematanku?!” berang Davin lagi dengan sinis.Sabar. Vincent mengelus dada. Ia pikir, mungkin masalah kemarin masih mengganggu pikiran Davin, sehingga bosnya itu berubah menjadi serigala mengamuk pagi ini.“Maaf, Pak. Saya salah,” uc
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
26
DMCA.com Protection Status