Home / Pernikahan / Pernikahan Sebatas Status / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Pernikahan Sebatas Status: Chapter 71 - Chapter 80

104 Chapters

Gita Dan Jingga

Lukman melangkah hati-hati menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu, dia mengintip lebih dulu siapa tamunya dari balik jendela.Lukman mengernyit saat mendapati seorang wanita muda yang tidak pernah dia temui sebelumnya. Wanita itu sedang berdiri di teras, menghadap ke arah pintu.Penuh dengan tanda tanya, Lukman membuka pintunya lebar-lebar sambil menyunggingkan senyum. "Selamat siang. Ada perlu apa, ya?" tanyanya ramah."Apa benar ini rumah Jingga?" Wanita itu malah balik bertanya."Iya, betul. Kenapa anda mencari keponakan saya?" Lukman mengamati wanita asing itu dari ujung kepala sampai kaki."Apakah boleh saya bertemu dengan keponakan bapak?" Lagi-lagi wanita itu tak menghiraukan ucapan Lukman."Anda siapa?" Nada bicara pria paruh baya itu kini berubah menjadi sedikit tak bersahabat. Bukannya menjawab, wanita itu malah tersenyum. "Tunggu sebentar, Pak," ujarnya seraya berbalik meninggalkan Lukman. "Perempuan aneh," gumam Lukman keheranan. Tak berselang lama, wanita muda itu da
Read more

Kilas Balik

"Lelucon macam apa ini, Bu?" Jingga menggeleng tak percaya. "Ini yang sebenarnya, Nak." Gita menyeka air yang menetes dari sudut mata. Sebelum mulai bercerita, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Perlahan, Gita membawa Jingga ke masa puluhan tahun yang lalu, di mana dirinya masih seumuran gadis yang ada di sampingnya itu. Saat itu, Gita baru lulus kuliah dan mendapatkan gelar lulusan terbaik. Keluarga besar Gita menyambut dengan antusias. Semua begitu bangga atas keberhasilannya tersebut. Namun, ternyata dia juga membawa satu rahasia besar. "Aku hamil," ungkap Gita pada sahabatnya, Atmawirya. "Ya, ampun, Git. Anak siapa?" tanya Atmawirya. "Pacarku," jawab Gita singkat. "Apa dia tahu kalau kamu hamil?" Gita menggeleng lemah. "Kami putus waktu dia memilih untuk melanjutkan S2 ke Amerika," ujarnya. "Kamu sudah mencoba untuk menghubunginya?" tanya Atmawirya lagi. Gita kembali menggeleng. "Dia seolah menghilang. Sampai sekarang tidak bisa dihubungi," keluhnya.
Read more

Kisah Gita

Ganendra kecil tak sengaja mengintip pertengkaran itu saat dia baru saja selesai bermain sepeda di halaman samping. Dia menguping dari balik pintu ruang kerja sang ayah. Ganendra terlalu lugu untuk memahami arti kalimat yang saling terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Yang dia tahu hanyalah ayah dan ibunya tengah bertengkar, lalu sang ayah menampar pipi sang ibu.Ganendra sontak mundur beberapa langkah saat pintu ruang kerja tersebut tiba-tiba terbuka. Gita muncul dari sana dan terkejut saat melihat sang putra sudah berdiri di hadapannya."Gaga? Sedang apa kamu di sini?" tanya Gita lembut sambil buru-buru mengusap pipinya yang basah. Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan tersenyum biasa."Ma-mama kenapa?" tanya Ganendra terbata saat melihat pipi Gita yang lecet."Tidak apa-apa. Sudah mandi belum? Mandi, yuk," ajak Gita.Ganendra mengangguk ragu. Namun, pada akhirnya dia menurut saat sang ibu menuntunnya ke kamar."Gaga harus jadi anak hebat, ya. Gaga harus kuat biar bisa mel
Read more

Wanita Dua Generasi

"Pak Atmawirya terus memberikan banyak uang dan hadiah sampai ibumu sakit dan meninggal dunia. Semua bantuannya berhenti saat kamu berusia lima tahun. Akan tetapi, dia masih sering menghubungi ayahmu secara diam-diam." Lukman melanjutkan ceritanya."Kurasa, Atmawirya terus mengamati kalian, meskipun aku tidak tahu apa tujuannya," timpal Gita, membuat Jingga mengalihkan pandangan kepada ibunda Ganendra itu."Aku masih tidak bisa menerima satu hal. Kenapa anda tidak melapor pada keluarga anda tentang kejahatan Pak Atmawirya? Kenapa anda terkesan diam saja selama bertahun-tahun?" tanya Jingga curiga."Itu karena aku terlalu takut. Ganendra masih berada dalam genggamannya. Sejak hari itu, aku sadar bahwa Atmawirya bisa melakukan apa saja, termasuk membunuhku dan putraku," terang Gita. "Satu-satunya jalan adalah aku harus bersembunyi di tempat yang jauh darinya sambil mengatur strategi. Apalagi Atmawirya sudah berkoar-koar pada keluargaku bahwa aku telah berselingkuh dan lari bersama Haeda
Read more

Dewandaru

"Astaga, Ngga!" Lukman sigap menangkap tubuh Jingga yang tak sadarkan diri, lalu membopong dan membaringkannya ke ranjang."Ngga, kamu kenapa?" Lukman menepuk-nepuk pipi keponakannya pelan. Tak mendapatkan respons, dia bergegas mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya di bawah hidung Jingga, lalu memijit telapak kakinya.Namun, apapun yang Lukman lakukan, Jingga belum juga sadar. Merasa panik, dia menelepon salah satu dokter puskesmas langganan.Belum sempat memencet nomor kontak, sebuah panggilan masuk terlebih dulu. "Pak Atmawirya?" desis Lukman saat membaca nama yang tertera di layarnya.Segera dia menerima panggilan itu. "Ada apa, Pak?" tanya Lukman tanpa basa-basi."Aku sudah mendengar semuanya dari Ganendra. Bagaimana keadaan Jingga?" Atmawirya balas bertanya.Lukman ragu hendak menjawab. Berkali-kali dia menoleh pada Jingga yang masih terpejam, sampai akhirnya dia harus berbohong pada Atmawirya."Jingga baik
Read more

Pergi

"Kenapa, Ngga? Bukankah kamu mau melanjutkan kuliah?" tanya Echa. "Tidak jadi, Cha. Aku sudah berpisah dari Pak Ganendra," bisik Jingga. Dia tak ingin Lukman yang masih berbincang dengan Anggada atau Dewandaru itu mendengar suaranya. "Hah! Cerai? Kenapa?" pekik Echa nyaring. Jingga sampai harus menutupi ponsel Lukman agar bunyinya tak terdengar sampai ruang depan. "Itu juga nanti saja kuceritakan. Yang jelas, aku harus segera keluar dari Jakarta," ucap Jingga masih dengan suara yang teramat lirih. "Ehm, sebentar, Ngga. Biar aku berpikir dulu."Hening sejenak. Tak terdengar apapun dari seberang sana, sampai-sampai Jingga takut jika Echa sudah mengakhiri panggilan. "Cha? Kamu masih di sana, kan?" tanya Jingga. "Masih, Ngga. Aku barusan kepikiran sesuatu," ujar Echa. "Apa itu?" "Kamu masih ingat sepupuku yang bekerja di Batam? Mungkin kamu bisa menghubungi dia," cetus Echa. "Iya, aku mau,
Read more

Kutukan Ganendra

Dewandaru tak pernah merasa sepanik itu. Selama ini, dia adalah sosok yang tenang dalam menghadapi sesuatu. Namun, bayangannya tentang Jingga yang pergi entah ke mana, seketika membuat akal sehatnya lumpuh. Dia lalu merogoh ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang. "Bu Gita, apa yang sudah anda lakukan?" tanya Dewandaru sesaat setelah panggilannya terhubung. "Apa maksudmu?" balas Gita dari seberang sana. "Jingga pergi, entah ke mana," ucap Dewandaru dengan nada gusar. "Bisa jadi dia sedang di toko bersama Om-nya," sahut Gita enteng. "Sambil membawa koper besar?" Nada bicara Dewandaru terdengar sinis. "Dengar ya, Dewa. Jangan ganggu Jingga. Dia berhak pergi ke manapun yang dia mau! Tujuanku mengajakmu bekerja sama adalah untuk membekuk Atmawirya dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Selain itu, jika Atmawirya jatuh, maka akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan putraku kembali!" tegas Gita. Dewandaru mendengkus kesal, tetapi dia tak berani menimpali. "Inga
Read more

Permintaan

Sepulang dari kantor polisi, Ganendra memilih pulang ke penthouse-nya. Dia bertekad untuk tak akan lagi pulang ke rumah Atmawirya, sebab rumah itu mengingatkannya pada Jingga. "Ah, Jingga ...." Ganendra mendesahkan nama itu pelan. "Semoga kamu bisa memaafkan aku ...." Ganendra tak tahu bahwa gadis yang dia sebut namanya itu tengah berada di kamar Echa. Gadis malang itu menangis tersedu-sedu di bahu sahabatnya. Dia menceritakan semua yang telah menimpanya sejak awal. "Ya, ampun, Ngga. Aku sama sekali nggak mengira kalau ...." "Jingga, kenapa tidak cerita sama Tante?" sela suara seseorang yang memotong kalimat Echa begitu saja. Sontak dua gadis muda itu menoleh ke arah pintu. Ibunda Echa yang bernama Marini itu berdiri di sana dengan sorot penuh sesal. "Seandainya Tante tahu dari awal, pasti Tante akan mencegahmu berbuat gila seperti itu!" Wanita paruh baya seumuran Lukman itu berjalan mendekat, lalu memeluk Jingga erat-erat. "Di mana-mana, laki-laki selalu begitu, Ngga. Setelah men
Read more

Mantra Istimewa

Marini berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang depan, lalu membuka pintunya. Wanita itu tertegun untuk sesaat ketika melihat seseorang yang telah mengetuk pintu rumahnya. Namun, dia segera menguasai diri dan bersikap biasa saja. "Maaf, siapa, ya?" tanya Marini ketus seraya mengamati sosok tinggi dan tegap yang berdiri di hadapannya. Dia harus mengakui bahwa pria yang tersenyum kalem ke arahnya itu terlihat sangat menarik. "Maaf mengganggu, Bu. Apa benar ini rumah Keisha Salsabila?" tanya pria yang tak lain adalah Dewandaru itu sopan. "Benar. Anda siapa? Untuk apa mencari putri saya?" Marini melipat kedua tangannya di dada seraya mengamati Dewandaru dari ujung kepala hingga kaki. "Bisakah saya bicara dengan Nona Keisha? Sebentar saja," pinta Dewandaru. Senyuman kalem tapi mematikan itu tak jua memudar dari wajah tampannya. Tak seperti sebelumnya, Marini tampak ragu. Seharusnya dia dengan mudah menolak. Akan tetapi, Dewandaru seolah memiliki mantra istimewa yang bisa menaklukkan
Read more

Positif

"Jingga, kamu jangan diam saja!" seru Echa mengingatkan. "Kamu harus menghubungi Pak Ganendra sekarang juga!" desaknya. "Untuk apa? Dia sudah membatalkan pernikahan kami," sahut Jingga lesu. "Tapi itu tidak berarti dia lepas tanggung jawab begitu saja. Calon bayi yang ada di perutmu itu adalah anaknya!" ujar Echa berapi-api. "Ada apa ini ribut-ribut?" sela Marini yang tiba-tiba sudah berada di belakang Echa. "Jingga terlambat datang bulan, Ma!" jawab Echa, bersamaan dengan Jingga yang hendak membungkam mulut sahabatnya itu. Namun, terlambat. Marini sudah mendengarnya. "Astaga! Coba dites dulu. Siapa tahu memang cuma masuk angin biasa. Biasanya mual-mual itu di pagi hari. Sementara sekarang sudah menjelang sore," tutur Marini, mencoba untuk bersikap tenang. "Bi! Tolong belikan testpack di swalayan depan!" pekiknya nyaring. Usahanya untuk tetap tenang ternyata tak berhasil. Si Bibi tergopoh-gopoh menghampiri. Setelah menerima uang dari sang majikan, wanita berkerudung itu bergegas
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status