Semua Bab Pernikahan Sebatas Status: Bab 61 - Bab 70

104 Bab

Brutal

[Maaf, aku tidak bisa.] Jingga mengakhiri pesan itu dengan sebuah kalimat singkat. Terbersit rasa bersalah dalam hatinya. Akan tetapi, titah Ganendra baginya jauh lebih utama. Jingga pun buru-buru menghapus rangkaian pesannya bersama Anggada sebelum menyimpan ponsel dan mencoba untuk tidur. Bisa gawat kalau Ganendra memergoki dirinya masih berkomunikasi dengan Anggada.Rasanya baru saja dia terlelap saat Ganendra berusaha membangunkan dengan menciumi pipi dan bibirnya. "Pak, jangan mengganggu. Aku masih mengantuk," ujar Jingga kesal dengan mata terpejam. Ganendra menjauh seraya tertawa renyah sambil merapikan blazernya kembali."Ini sudah pukul tujuh. Aku harus berangkat ke kantor lebih awal untuk mendampingi papa," ucap Ganendra yang seketika membuat Jingga terbangun dan membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Jadi, anda akan bertemu dengan Kak Sandra hari ini?" seru Jingga seraya membelitkan selimut ke tubuh lalu turun dari ranjang. Dia menghampiri Ganendra yang sudah terlihat sangat t
Baca selengkapnya

Aroma Jingga

Jingga tampak sangat manis mengenakan midi dress yang dipadu dengan cardigan bermotif senada. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai dan hanya dihiasi oleh jepit rambut bercorak emas. Jepit itu adalah pemberian sang ayah sebelum jatuh sakit dan meninggal dunia. Jingga kembali mematutkan diri di depan cermin. Dia menyisir rambut menggunakan tangan, lalu menempelkannya ke hidung. Jingga teringat akan kebiasaan Ganendra yang senang menghirup rambut hitamnya yang indah, setiap kali mereka selesai bercinta. Angan nakalnya itu harus berakhir saat ponselnya berdering. Panggilan dari Echa telah menyadarkannya bahwa Jingga harus buru-buru berangkat ke tempat yang sudah mereka sepakati sebelumnya, dengan diantarkan oleh Amir, sopir pribadi Ganendra. Tak sampai satu jam, Jingga sudah berada di salah satu gerai food court sebuah mall yang dulu menjadi langganan Echa dan dirinya saat masih aktif berkuliah. "Kamu makin cantik aja, Ngga. Aromanya berubah," celetuk Echa. "Berubah gimana sih, C
Baca selengkapnya

Foto Rahasia

Jingga tertegun mendapati seseorang telah memotretnya secara diam-diam saat sedang bersama Anggada. "Itu kamu kan, Ngga? Jadi, kamu bertemu dengan Anggada tanpa sepengetahuanku?" cecar Ganendra yang tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya.Jingga menggeleng kuat-kuat. "Bukan begitu! Aku tidak sengaja bertemu dengan dia saat berusaha mencari Pak Amir di area parkir. Pak Anggada tiba-tiba muncul dan hendak merebut ponselku!" bebernya."Kamu tidak berbohong kan, Ngga?" Sorot mata garang itu berubah sendu."Aku tidak pernah berbohong!" elak Jingga tegas. "Aku sama sekali tidak sengaja bertemu dengan Pak Anggada!""Apa saja yang dia katakan padamu?" tanya Ganendra lagi."Dia hanya memperingatkanku agar menjauh dari anda, karena anda hanya akan membuatku kecewa," ungkap Jingga."Hm ...." Ganendra menatap wajah cantik itu lekat-lekat. "Lalu, bagaimana pendapatmu?" "Pendapat apa?" Jingga menggeleng tak mengerti.
Baca selengkapnya

Akhir Dari Jodoh

"Maaf, aku tidak berani, Kak." Jingga menunduk, menghindari sorot mata Hilda yang begitu mengintimidasi. "Kok, tidak berani? Katanya sudah jadi istri sah," ejek Hilda. "Rasanya tidak sopan kalau mengganggu pekerjaan Pak Ganendra hanya karena masalah pribadi," ujar Jingga. Salah satu pria bersetelan rapi yang tadi datang bersama Hilda, langsung mendekati wanita itu dan berbisik di telinganya. "Sebaiknya kita turuti saja, Bu. Jangan sampai kita membuat ricuh di sini," saran si pria. "Pak Widi! Anda saya sewa untuk menjadi pengacara saya. Bukan penasihat," hardik Hilda tak terima. "Tapi, apa yang dikatakan rekan saya itu benar adanya," sahut salah seorang pria yang lain. "Ingat, Bu Hilda. Citra anda yang dipertaruhkan di sini. Jangan sampai Pak Ganendra menuntut anda dan menolak semua poin perjanjian kita," tuturnya. Hilda pun terdiam. Nasihat dari dua pengacaranya tersebut cukup mempengarumempengaruhi pikirannya, sehingga dia memilih untuk menahan diri. Hilda lalu mengalihkan pand
Baca selengkapnya

Bukti Rahasia

Jingga langsung turun dari pangkuan Ganendra dan bersembunyi di balik kursi suaminya. Tanpa sadar, dia mencengkeram erat sandaran kursi yang diduduki oleh Ganendra. Terbayang kembali olehnya saat Anggada dan suaminya berkelahi sampai berdarah-darah. Jingga tak ingin hal tersebut terjadi lagi. "Selamat siang, Pak Ganendra," sapa Anggada sesaat setelah masuk ke ruangan dan berdiri di depan meja kerja. Iris mata gelapnya sempat melirik pada Jingga, sebelum kembali memusatkan pandangan pada Ganendra. "Mau apa kemari? Bukankah Papa sudah melarangmu?" tanya Ganendra tanpa basa-basi. "Oh, ya?" Anggada tersenyum mengejek. "Iya! Papa juga sedang mengumpulkan bukti-bukti bahwa kamu terlibat dalam pencurian data perusahaan. Tunggu saja sampai kami berhasil menuntut dan menjebloskanmu ke penjara," ujar Ganendra. "Ah, sayang sekali. Sepertinya anda akan kesulitan melakukan itu." Anggada terkekeh pelan, lalu terdiam. Dia mengalihkan tatapannya pada Sandra yang tampak gugup dan salah tingkah. "
Baca selengkapnya

Batal

"Oh, aku mengerti. Kamu ingin membalas sakit hati karena aku telah menolakmu, kan?" Ganendra tertawa merendahkan."Bukan!" seru Sandra sembari menggeleng kuat-kuat. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi pandangan mematikan Anggada membuat dirinya mengurungkan niat."Ya, anggap saja begitu," ucap Sandra pada akhirnya. Suaranya begitu pelan, seakan ada beban yang menekan dadanya sehingga dia kesulitan bicara."Jangan berlama-lama, Bu Sandra. Langsung saja pada inti permasalahan," saran Anggada. Sorot matanya berubah lembut.Sandra menunduk dalam-dalam. Air mata mulai menetes di pipi. Dia mengangguk samar, lalu mendongak lagi. "Pak Ganendra, keluarga Wiratmaja adalah penjahat. Anda semua mafia! Sudah berapa banyak orang yang mati di tangan anda!" cerca Sandra tanpa jeda.""Apa?" Ganendra mengernyitkan dahi."Berdasarkan data-data rahasia yang sudah dikumpulkan oleh Sandra, bisa dipastikan bahwa Pak Atmawirya dan anda telah menjalank
Baca selengkapnya

Senyum Perpisahan

"Katanya kita pulang sama-sama." Jingga berucap manja.Seperti biasa, dia akan bersikap demikian setiap kali ada Sandra di dekatnya. "Ah, aku lupa." Ganendra menepuk dahi, lalu tertawa. Dia berusaha menyembunyikan masalah besar yang menimpanya itu di hadapan sang istri. "Kita pulang sekarang," ucapnya seraya menggenggam telapak tangan Jingga dan menggandengnya ke luar gedung. Tinggallah Sandra sendiri dengan segala gundahnya. Akan tetapi, Ganendra tak peduli. Dia ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya bersama Jingga dengan sesuatu yang menyenangkan. "Mau jalan-jalan, nggak?" tanya Ganendra tiba-tiba. "Ke mana?" balas Jingga dengan muka berseri-seri. "Terserah kamu. Ke mana saja. Makan malam mewah? Perawatan kecantikan, atau berbelanja perhiasan?" tawar Ganendra. "Terserah aku?" ulang Jingga. Ganendra langsung mengangguk seraya tertawa renyah. Ekspresi Jingga begitu lucu dan menggemaskan. "Mulai hari ini, kamu bisa meminta semua materi yang kamu inginkan," tegas Ganendra. "Aku
Baca selengkapnya

Perpisahan di Pagi Hari

Ganendra termangu di tepi ranjang. Dia terus menatap layar ponsel dan membaca pesan dari pengacaranya berkali-kali. Dia lalu menoleh pada Jingga yang terlelap. Wajah cantik itu terlihat begitu damai. Ganendra tersenyum samar sebelum berbaring di samping Jingga dan memeluk tubuh polos itu erat-erat."Kamu adalah hal terindah dan terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, Ngga. Mungkin kita baru bertemu dan hanya sebentar tinggal bersama. Namun, entah kenapa rasa yang kumiliki untukmu terasa begitu dalam," ucap Ganendra lirih.Dia tak malu menunjukkan sisi lemah dan melankolisnya. Ganendra hanya ingin menikmati waktu-waktu terakhir bersama sang istri. "Baru sebentar kita berkenalan ya, Ngga. Rasanya seperti selamanya," gumamnya lagi.Ganendra menarik napas panjang dan menghempaskannya perlahan. Entah apa yang akan dia hadapi ke depan. Ganendra hanya bisa pasrah dan mengikuti permainan Anggada.Lama kelamaan, kantuk menyerang. Ganendra pun tertidur tanpa sadar. Dia terbangun saat ponsel
Baca selengkapnya

Runtuh

Sudah seminggu sejak terakhir kali Jingga bertemu dengan Ganendra. Selama itu pula sang suami sama sekali tak dapat dihubungi.Ganendra hanya sekali menyuruh Anton datang ke rumah dan memberikan kartu ATM untuk kebutuhan sehari-hari Jingga.Jingga mulai berpikir tentang kesalahan yang mungkin dia lakukan, sehingga membuat Ganendra berubah drastis hanya dalam waktu semalam saja.Banyak pertanyaan muncul dalam benak Jingga dan semuanya terjawab ketika salah seorang pengacara Ganendra datang ke rumah."Selamat pagi, Bu Jingga," sapa pria bersetelan rapi itu."Selamat pagi," balas Jingga dengan dada berdebar. Berbagai pikiran negatif mulai berseliweran saat pengacara itu menyodorkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas. "Apa ini?" tanyanya lirih."Surat panggilan dari pengadilan agama, Bu. Diharapkan ibu bisa datang hari ini. Anda tidak ada kepentingan untuk hari ini, kan?" tanya sang pengacara."Untuk apa pengadilan agama memanggil saya?" Suara Jingga bergetar dengan perasaan campur a
Baca selengkapnya

Pucat

Jingga turut berhenti seraya menatap lurus ke depan. Darahnya semakin mendidih tatkala melihat Anggada berjalan mendekat. Energinya yang sempat tersedot habis saat menandatangani berkas-berkas pembatalan pernikahan itu, kini kembali mengisi raganya berkali-kali lipat. "Aku sudah muak dengan permainan orang-orang kaya seperti kalian!" pekiknya tak terkendali. Jingga berniat untuk melepaskan cengkeraman tangan Ganendra di lengan kanannya saat dia tersadar bahwa berlian merah pemberian pria yang sempat menghangatkan malam-malamnya itu masih melingkar indah di jari manisnya. Jingga beralih melepaskan cincin mahal tersebut dan hendak melemparkannya ke muka Ganendra. Akan tetapi, tanpa disangka, Ganendra melepaskan cengkeramannya dan lebih dulu mencegah gerakan tangan Jingga. Pria itu lalu bersimpuh di hadapan Jingga. Dia bertekuk lutut di depan umum. Tak dipedulikannya tatapan mengejek Anggada dan sorot takjub para pengacara serta beberapa orang yang berlalu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status