Beranda / Pernikahan / Pernikahan Sebatas Status / Perpisahan di Pagi Hari

Share

Perpisahan di Pagi Hari

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ganendra termangu di tepi ranjang. Dia terus menatap layar ponsel dan membaca pesan dari pengacaranya berkali-kali. Dia lalu menoleh pada Jingga yang terlelap. Wajah cantik itu terlihat begitu damai.

Ganendra tersenyum samar sebelum berbaring di samping Jingga dan memeluk tubuh polos itu erat-erat.

"Kamu adalah hal terindah dan terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku, Ngga. Mungkin kita baru bertemu dan hanya sebentar tinggal bersama. Namun, entah kenapa rasa yang kumiliki untukmu terasa begitu dalam," ucap Ganendra lirih.

Dia tak malu menunjukkan sisi lemah dan melankolisnya. Ganendra hanya ingin menikmati waktu-waktu terakhir bersama sang istri. "Baru sebentar kita berkenalan ya, Ngga. Rasanya seperti selamanya," gumamnya lagi.

Ganendra menarik napas panjang dan menghempaskannya perlahan. Entah apa yang akan dia hadapi ke depan. Ganendra hanya bisa pasrah dan mengikuti permainan Anggada.

Lama kelamaan, kantuk menyerang. Ganendra pun tertidur tanpa sadar. Dia terbangun saat ponsel
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pernikahan Sebatas Status   Runtuh

    Sudah seminggu sejak terakhir kali Jingga bertemu dengan Ganendra. Selama itu pula sang suami sama sekali tak dapat dihubungi.Ganendra hanya sekali menyuruh Anton datang ke rumah dan memberikan kartu ATM untuk kebutuhan sehari-hari Jingga.Jingga mulai berpikir tentang kesalahan yang mungkin dia lakukan, sehingga membuat Ganendra berubah drastis hanya dalam waktu semalam saja.Banyak pertanyaan muncul dalam benak Jingga dan semuanya terjawab ketika salah seorang pengacara Ganendra datang ke rumah."Selamat pagi, Bu Jingga," sapa pria bersetelan rapi itu."Selamat pagi," balas Jingga dengan dada berdebar. Berbagai pikiran negatif mulai berseliweran saat pengacara itu menyodorkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas. "Apa ini?" tanyanya lirih."Surat panggilan dari pengadilan agama, Bu. Diharapkan ibu bisa datang hari ini. Anda tidak ada kepentingan untuk hari ini, kan?" tanya sang pengacara."Untuk apa pengadilan agama memanggil saya?" Suara Jingga bergetar dengan perasaan campur a

  • Pernikahan Sebatas Status   Pucat

    Jingga turut berhenti seraya menatap lurus ke depan. Darahnya semakin mendidih tatkala melihat Anggada berjalan mendekat. Energinya yang sempat tersedot habis saat menandatangani berkas-berkas pembatalan pernikahan itu, kini kembali mengisi raganya berkali-kali lipat. "Aku sudah muak dengan permainan orang-orang kaya seperti kalian!" pekiknya tak terkendali. Jingga berniat untuk melepaskan cengkeraman tangan Ganendra di lengan kanannya saat dia tersadar bahwa berlian merah pemberian pria yang sempat menghangatkan malam-malamnya itu masih melingkar indah di jari manisnya. Jingga beralih melepaskan cincin mahal tersebut dan hendak melemparkannya ke muka Ganendra. Akan tetapi, tanpa disangka, Ganendra melepaskan cengkeramannya dan lebih dulu mencegah gerakan tangan Jingga. Pria itu lalu bersimpuh di hadapan Jingga. Dia bertekuk lutut di depan umum. Tak dipedulikannya tatapan mengejek Anggada dan sorot takjub para pengacara serta beberapa orang yang berlalu

  • Pernikahan Sebatas Status   Gita Dan Jingga

    Lukman melangkah hati-hati menuju ruang tamu. Sebelum membuka pintu, dia mengintip lebih dulu siapa tamunya dari balik jendela.Lukman mengernyit saat mendapati seorang wanita muda yang tidak pernah dia temui sebelumnya. Wanita itu sedang berdiri di teras, menghadap ke arah pintu.Penuh dengan tanda tanya, Lukman membuka pintunya lebar-lebar sambil menyunggingkan senyum. "Selamat siang. Ada perlu apa, ya?" tanyanya ramah."Apa benar ini rumah Jingga?" Wanita itu malah balik bertanya."Iya, betul. Kenapa anda mencari keponakan saya?" Lukman mengamati wanita asing itu dari ujung kepala sampai kaki."Apakah boleh saya bertemu dengan keponakan bapak?" Lagi-lagi wanita itu tak menghiraukan ucapan Lukman."Anda siapa?" Nada bicara pria paruh baya itu kini berubah menjadi sedikit tak bersahabat. Bukannya menjawab, wanita itu malah tersenyum. "Tunggu sebentar, Pak," ujarnya seraya berbalik meninggalkan Lukman. "Perempuan aneh," gumam Lukman keheranan. Tak berselang lama, wanita muda itu da

  • Pernikahan Sebatas Status   Kilas Balik

    "Lelucon macam apa ini, Bu?" Jingga menggeleng tak percaya. "Ini yang sebenarnya, Nak." Gita menyeka air yang menetes dari sudut mata. Sebelum mulai bercerita, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Perlahan, Gita membawa Jingga ke masa puluhan tahun yang lalu, di mana dirinya masih seumuran gadis yang ada di sampingnya itu. Saat itu, Gita baru lulus kuliah dan mendapatkan gelar lulusan terbaik. Keluarga besar Gita menyambut dengan antusias. Semua begitu bangga atas keberhasilannya tersebut. Namun, ternyata dia juga membawa satu rahasia besar. "Aku hamil," ungkap Gita pada sahabatnya, Atmawirya. "Ya, ampun, Git. Anak siapa?" tanya Atmawirya. "Pacarku," jawab Gita singkat. "Apa dia tahu kalau kamu hamil?" Gita menggeleng lemah. "Kami putus waktu dia memilih untuk melanjutkan S2 ke Amerika," ujarnya. "Kamu sudah mencoba untuk menghubunginya?" tanya Atmawirya lagi. Gita kembali menggeleng. "Dia seolah menghilang. Sampai sekarang tidak bisa dihubungi," keluhnya.

  • Pernikahan Sebatas Status   Kisah Gita

    Ganendra kecil tak sengaja mengintip pertengkaran itu saat dia baru saja selesai bermain sepeda di halaman samping. Dia menguping dari balik pintu ruang kerja sang ayah. Ganendra terlalu lugu untuk memahami arti kalimat yang saling terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Yang dia tahu hanyalah ayah dan ibunya tengah bertengkar, lalu sang ayah menampar pipi sang ibu.Ganendra sontak mundur beberapa langkah saat pintu ruang kerja tersebut tiba-tiba terbuka. Gita muncul dari sana dan terkejut saat melihat sang putra sudah berdiri di hadapannya."Gaga? Sedang apa kamu di sini?" tanya Gita lembut sambil buru-buru mengusap pipinya yang basah. Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan tersenyum biasa."Ma-mama kenapa?" tanya Ganendra terbata saat melihat pipi Gita yang lecet."Tidak apa-apa. Sudah mandi belum? Mandi, yuk," ajak Gita.Ganendra mengangguk ragu. Namun, pada akhirnya dia menurut saat sang ibu menuntunnya ke kamar."Gaga harus jadi anak hebat, ya. Gaga harus kuat biar bisa mel

  • Pernikahan Sebatas Status   Wanita Dua Generasi

    "Pak Atmawirya terus memberikan banyak uang dan hadiah sampai ibumu sakit dan meninggal dunia. Semua bantuannya berhenti saat kamu berusia lima tahun. Akan tetapi, dia masih sering menghubungi ayahmu secara diam-diam." Lukman melanjutkan ceritanya."Kurasa, Atmawirya terus mengamati kalian, meskipun aku tidak tahu apa tujuannya," timpal Gita, membuat Jingga mengalihkan pandangan kepada ibunda Ganendra itu."Aku masih tidak bisa menerima satu hal. Kenapa anda tidak melapor pada keluarga anda tentang kejahatan Pak Atmawirya? Kenapa anda terkesan diam saja selama bertahun-tahun?" tanya Jingga curiga."Itu karena aku terlalu takut. Ganendra masih berada dalam genggamannya. Sejak hari itu, aku sadar bahwa Atmawirya bisa melakukan apa saja, termasuk membunuhku dan putraku," terang Gita. "Satu-satunya jalan adalah aku harus bersembunyi di tempat yang jauh darinya sambil mengatur strategi. Apalagi Atmawirya sudah berkoar-koar pada keluargaku bahwa aku telah berselingkuh dan lari bersama Haeda

  • Pernikahan Sebatas Status   Dewandaru

    "Astaga, Ngga!" Lukman sigap menangkap tubuh Jingga yang tak sadarkan diri, lalu membopong dan membaringkannya ke ranjang."Ngga, kamu kenapa?" Lukman menepuk-nepuk pipi keponakannya pelan. Tak mendapatkan respons, dia bergegas mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya di bawah hidung Jingga, lalu memijit telapak kakinya.Namun, apapun yang Lukman lakukan, Jingga belum juga sadar. Merasa panik, dia menelepon salah satu dokter puskesmas langganan.Belum sempat memencet nomor kontak, sebuah panggilan masuk terlebih dulu. "Pak Atmawirya?" desis Lukman saat membaca nama yang tertera di layarnya.Segera dia menerima panggilan itu. "Ada apa, Pak?" tanya Lukman tanpa basa-basi."Aku sudah mendengar semuanya dari Ganendra. Bagaimana keadaan Jingga?" Atmawirya balas bertanya.Lukman ragu hendak menjawab. Berkali-kali dia menoleh pada Jingga yang masih terpejam, sampai akhirnya dia harus berbohong pada Atmawirya."Jingga baik

  • Pernikahan Sebatas Status   Pergi

    "Kenapa, Ngga? Bukankah kamu mau melanjutkan kuliah?" tanya Echa. "Tidak jadi, Cha. Aku sudah berpisah dari Pak Ganendra," bisik Jingga. Dia tak ingin Lukman yang masih berbincang dengan Anggada atau Dewandaru itu mendengar suaranya. "Hah! Cerai? Kenapa?" pekik Echa nyaring. Jingga sampai harus menutupi ponsel Lukman agar bunyinya tak terdengar sampai ruang depan. "Itu juga nanti saja kuceritakan. Yang jelas, aku harus segera keluar dari Jakarta," ucap Jingga masih dengan suara yang teramat lirih. "Ehm, sebentar, Ngga. Biar aku berpikir dulu."Hening sejenak. Tak terdengar apapun dari seberang sana, sampai-sampai Jingga takut jika Echa sudah mengakhiri panggilan. "Cha? Kamu masih di sana, kan?" tanya Jingga. "Masih, Ngga. Aku barusan kepikiran sesuatu," ujar Echa. "Apa itu?" "Kamu masih ingat sepupuku yang bekerja di Batam? Mungkin kamu bisa menghubungi dia," cetus Echa. "Iya, aku mau,

Bab terbaru

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

  • Pernikahan Sebatas Status   Gagal Move on

    Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

DMCA.com Protection Status