Share

Kisah Gita

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Ganendra kecil tak sengaja mengintip pertengkaran itu saat dia baru saja selesai bermain sepeda di halaman samping. Dia menguping dari balik pintu ruang kerja sang ayah.

Ganendra terlalu lugu untuk memahami arti kalimat yang saling terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Yang dia tahu hanyalah ayah dan ibunya tengah bertengkar, lalu sang ayah menampar pipi sang ibu.

Ganendra sontak mundur beberapa langkah saat pintu ruang kerja tersebut tiba-tiba terbuka. Gita muncul dari sana dan terkejut saat melihat sang putra sudah berdiri di hadapannya.

"Gaga? Sedang apa kamu di sini?" tanya Gita lembut sambil buru-buru mengusap pipinya yang basah. Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa dan tersenyum biasa.

"Ma-mama kenapa?" tanya Ganendra terbata saat melihat pipi Gita yang lecet.

"Tidak apa-apa. Sudah mandi belum? Mandi, yuk," ajak Gita.

Ganendra mengangguk ragu. Namun, pada akhirnya dia menurut saat sang ibu menuntunnya ke kamar.

"Gaga harus jadi anak hebat, ya. Gaga harus kuat biar bisa mel
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pernikahan Sebatas Status   Wanita Dua Generasi

    "Pak Atmawirya terus memberikan banyak uang dan hadiah sampai ibumu sakit dan meninggal dunia. Semua bantuannya berhenti saat kamu berusia lima tahun. Akan tetapi, dia masih sering menghubungi ayahmu secara diam-diam." Lukman melanjutkan ceritanya."Kurasa, Atmawirya terus mengamati kalian, meskipun aku tidak tahu apa tujuannya," timpal Gita, membuat Jingga mengalihkan pandangan kepada ibunda Ganendra itu."Aku masih tidak bisa menerima satu hal. Kenapa anda tidak melapor pada keluarga anda tentang kejahatan Pak Atmawirya? Kenapa anda terkesan diam saja selama bertahun-tahun?" tanya Jingga curiga."Itu karena aku terlalu takut. Ganendra masih berada dalam genggamannya. Sejak hari itu, aku sadar bahwa Atmawirya bisa melakukan apa saja, termasuk membunuhku dan putraku," terang Gita. "Satu-satunya jalan adalah aku harus bersembunyi di tempat yang jauh darinya sambil mengatur strategi. Apalagi Atmawirya sudah berkoar-koar pada keluargaku bahwa aku telah berselingkuh dan lari bersama Haeda

  • Pernikahan Sebatas Status   Dewandaru

    "Astaga, Ngga!" Lukman sigap menangkap tubuh Jingga yang tak sadarkan diri, lalu membopong dan membaringkannya ke ranjang."Ngga, kamu kenapa?" Lukman menepuk-nepuk pipi keponakannya pelan. Tak mendapatkan respons, dia bergegas mengambil minyak kayu putih dan mengoleskannya di bawah hidung Jingga, lalu memijit telapak kakinya.Namun, apapun yang Lukman lakukan, Jingga belum juga sadar. Merasa panik, dia menelepon salah satu dokter puskesmas langganan.Belum sempat memencet nomor kontak, sebuah panggilan masuk terlebih dulu. "Pak Atmawirya?" desis Lukman saat membaca nama yang tertera di layarnya.Segera dia menerima panggilan itu. "Ada apa, Pak?" tanya Lukman tanpa basa-basi."Aku sudah mendengar semuanya dari Ganendra. Bagaimana keadaan Jingga?" Atmawirya balas bertanya.Lukman ragu hendak menjawab. Berkali-kali dia menoleh pada Jingga yang masih terpejam, sampai akhirnya dia harus berbohong pada Atmawirya."Jingga baik

  • Pernikahan Sebatas Status   Pergi

    "Kenapa, Ngga? Bukankah kamu mau melanjutkan kuliah?" tanya Echa. "Tidak jadi, Cha. Aku sudah berpisah dari Pak Ganendra," bisik Jingga. Dia tak ingin Lukman yang masih berbincang dengan Anggada atau Dewandaru itu mendengar suaranya. "Hah! Cerai? Kenapa?" pekik Echa nyaring. Jingga sampai harus menutupi ponsel Lukman agar bunyinya tak terdengar sampai ruang depan. "Itu juga nanti saja kuceritakan. Yang jelas, aku harus segera keluar dari Jakarta," ucap Jingga masih dengan suara yang teramat lirih. "Ehm, sebentar, Ngga. Biar aku berpikir dulu."Hening sejenak. Tak terdengar apapun dari seberang sana, sampai-sampai Jingga takut jika Echa sudah mengakhiri panggilan. "Cha? Kamu masih di sana, kan?" tanya Jingga. "Masih, Ngga. Aku barusan kepikiran sesuatu," ujar Echa. "Apa itu?" "Kamu masih ingat sepupuku yang bekerja di Batam? Mungkin kamu bisa menghubungi dia," cetus Echa. "Iya, aku mau,

  • Pernikahan Sebatas Status   Kutukan Ganendra

    Dewandaru tak pernah merasa sepanik itu. Selama ini, dia adalah sosok yang tenang dalam menghadapi sesuatu. Namun, bayangannya tentang Jingga yang pergi entah ke mana, seketika membuat akal sehatnya lumpuh. Dia lalu merogoh ponsel dari saku celana dan menghubungi seseorang. "Bu Gita, apa yang sudah anda lakukan?" tanya Dewandaru sesaat setelah panggilannya terhubung. "Apa maksudmu?" balas Gita dari seberang sana. "Jingga pergi, entah ke mana," ucap Dewandaru dengan nada gusar. "Bisa jadi dia sedang di toko bersama Om-nya," sahut Gita enteng. "Sambil membawa koper besar?" Nada bicara Dewandaru terdengar sinis. "Dengar ya, Dewa. Jangan ganggu Jingga. Dia berhak pergi ke manapun yang dia mau! Tujuanku mengajakmu bekerja sama adalah untuk membekuk Atmawirya dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Selain itu, jika Atmawirya jatuh, maka akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan putraku kembali!" tegas Gita. Dewandaru mendengkus kesal, tetapi dia tak berani menimpali. "Inga

  • Pernikahan Sebatas Status   Permintaan

    Sepulang dari kantor polisi, Ganendra memilih pulang ke penthouse-nya. Dia bertekad untuk tak akan lagi pulang ke rumah Atmawirya, sebab rumah itu mengingatkannya pada Jingga. "Ah, Jingga ...." Ganendra mendesahkan nama itu pelan. "Semoga kamu bisa memaafkan aku ...." Ganendra tak tahu bahwa gadis yang dia sebut namanya itu tengah berada di kamar Echa. Gadis malang itu menangis tersedu-sedu di bahu sahabatnya. Dia menceritakan semua yang telah menimpanya sejak awal. "Ya, ampun, Ngga. Aku sama sekali nggak mengira kalau ...." "Jingga, kenapa tidak cerita sama Tante?" sela suara seseorang yang memotong kalimat Echa begitu saja. Sontak dua gadis muda itu menoleh ke arah pintu. Ibunda Echa yang bernama Marini itu berdiri di sana dengan sorot penuh sesal. "Seandainya Tante tahu dari awal, pasti Tante akan mencegahmu berbuat gila seperti itu!" Wanita paruh baya seumuran Lukman itu berjalan mendekat, lalu memeluk Jingga erat-erat. "Di mana-mana, laki-laki selalu begitu, Ngga. Setelah men

  • Pernikahan Sebatas Status   Mantra Istimewa

    Marini berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang depan, lalu membuka pintunya. Wanita itu tertegun untuk sesaat ketika melihat seseorang yang telah mengetuk pintu rumahnya. Namun, dia segera menguasai diri dan bersikap biasa saja. "Maaf, siapa, ya?" tanya Marini ketus seraya mengamati sosok tinggi dan tegap yang berdiri di hadapannya. Dia harus mengakui bahwa pria yang tersenyum kalem ke arahnya itu terlihat sangat menarik. "Maaf mengganggu, Bu. Apa benar ini rumah Keisha Salsabila?" tanya pria yang tak lain adalah Dewandaru itu sopan. "Benar. Anda siapa? Untuk apa mencari putri saya?" Marini melipat kedua tangannya di dada seraya mengamati Dewandaru dari ujung kepala hingga kaki. "Bisakah saya bicara dengan Nona Keisha? Sebentar saja," pinta Dewandaru. Senyuman kalem tapi mematikan itu tak jua memudar dari wajah tampannya. Tak seperti sebelumnya, Marini tampak ragu. Seharusnya dia dengan mudah menolak. Akan tetapi, Dewandaru seolah memiliki mantra istimewa yang bisa menaklukkan

  • Pernikahan Sebatas Status   Positif

    "Jingga, kamu jangan diam saja!" seru Echa mengingatkan. "Kamu harus menghubungi Pak Ganendra sekarang juga!" desaknya. "Untuk apa? Dia sudah membatalkan pernikahan kami," sahut Jingga lesu. "Tapi itu tidak berarti dia lepas tanggung jawab begitu saja. Calon bayi yang ada di perutmu itu adalah anaknya!" ujar Echa berapi-api. "Ada apa ini ribut-ribut?" sela Marini yang tiba-tiba sudah berada di belakang Echa. "Jingga terlambat datang bulan, Ma!" jawab Echa, bersamaan dengan Jingga yang hendak membungkam mulut sahabatnya itu. Namun, terlambat. Marini sudah mendengarnya. "Astaga! Coba dites dulu. Siapa tahu memang cuma masuk angin biasa. Biasanya mual-mual itu di pagi hari. Sementara sekarang sudah menjelang sore," tutur Marini, mencoba untuk bersikap tenang. "Bi! Tolong belikan testpack di swalayan depan!" pekiknya nyaring. Usahanya untuk tetap tenang ternyata tak berhasil. Si Bibi tergopoh-gopoh menghampiri. Setelah menerima uang dari sang majikan, wanita berkerudung itu bergegas

  • Pernikahan Sebatas Status   Berita Pagi

    "Suruh langsung ke atas," titah Ganendra dengan nada datar. Satu-satunya alasan dia mengizinkan mantan sekretarisnya itu masuk ke istananya hanyalah karena Ganendra ingin tahu alasan apa yang membuat Sandra berbalik mengkhianati dia dan Atmawirya. Suasana begitu hening saat Ganendra berdiri di depan lift dengan kedua tangan tersembunyi dalam saku celana. Sorot matanya berubah tajam saat menatap sosok cantik yang muncul di balik pintu lift yang tengah terbuka. "Ga ...." Sandra melangkah keluar seraya menghambur ke arah Ganendra, berusaha memeluk pria itu. Namun, Ganendra lebih dulu menghindar. Dia mundur beberapa langkah sambil terus melemparkan pandangan penuh kebencian. "Ga, maafkan aku." Sandra menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Aku terpaksa mengikuti permainan Anggada." "Terpaksa?" cibir Ganendra tak percaya. "Anggada mengancamku, Ga!" Sandra tak putus asa. Dia maju mendekat pada sosok tinggi dan tegap yang melayangkan tatapan permusuhan padanya. "Anggada mengatakan b

Bab terbaru

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

  • Pernikahan Sebatas Status   Gagal Move on

    Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

DMCA.com Protection Status