"Jingga, kamu jangan diam saja!" seru Echa mengingatkan. "Kamu harus menghubungi Pak Ganendra sekarang juga!" desaknya. "Untuk apa? Dia sudah membatalkan pernikahan kami," sahut Jingga lesu. "Tapi itu tidak berarti dia lepas tanggung jawab begitu saja. Calon bayi yang ada di perutmu itu adalah anaknya!" ujar Echa berapi-api. "Ada apa ini ribut-ribut?" sela Marini yang tiba-tiba sudah berada di belakang Echa. "Jingga terlambat datang bulan, Ma!" jawab Echa, bersamaan dengan Jingga yang hendak membungkam mulut sahabatnya itu. Namun, terlambat. Marini sudah mendengarnya. "Astaga! Coba dites dulu. Siapa tahu memang cuma masuk angin biasa. Biasanya mual-mual itu di pagi hari. Sementara sekarang sudah menjelang sore," tutur Marini, mencoba untuk bersikap tenang. "Bi! Tolong belikan testpack di swalayan depan!" pekiknya nyaring. Usahanya untuk tetap tenang ternyata tak berhasil. Si Bibi tergopoh-gopoh menghampiri. Setelah menerima uang dari sang majikan, wanita berkerudung itu bergegas
"Suruh langsung ke atas," titah Ganendra dengan nada datar. Satu-satunya alasan dia mengizinkan mantan sekretarisnya itu masuk ke istananya hanyalah karena Ganendra ingin tahu alasan apa yang membuat Sandra berbalik mengkhianati dia dan Atmawirya. Suasana begitu hening saat Ganendra berdiri di depan lift dengan kedua tangan tersembunyi dalam saku celana. Sorot matanya berubah tajam saat menatap sosok cantik yang muncul di balik pintu lift yang tengah terbuka. "Ga ...." Sandra melangkah keluar seraya menghambur ke arah Ganendra, berusaha memeluk pria itu. Namun, Ganendra lebih dulu menghindar. Dia mundur beberapa langkah sambil terus melemparkan pandangan penuh kebencian. "Ga, maafkan aku." Sandra menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Aku terpaksa mengikuti permainan Anggada." "Terpaksa?" cibir Ganendra tak percaya. "Anggada mengancamku, Ga!" Sandra tak putus asa. Dia maju mendekat pada sosok tinggi dan tegap yang melayangkan tatapan permusuhan padanya. "Anggada mengatakan b
Ganendra duduk sambil mencondongkan tubuh. Dia menopang kepala dengan kedua tangan yang bertumpu pada paha. Hampir 24 jam tak tidur, cukup membuat Ganendra berkunang-kunang. Semalam setelah Sandra meninggalkan griya tawang, tiba-tiba Ganendra mendapat telepon dari salah seorang pengacaranya. Pengacara itu mengabarkan bahwa Atmawirya tak sadarkan diri di ruang pemeriksaan. Mendengar berita itu, rasa benci pada Dewandaru semakin memenuhi hati Ganendra. Rasa marah dan dendam membara, mematikan akal sehatnya. "Pak," sapa salah seorang petugas medis, membuyarkan angan Ganendra. "Bagaimana papa saya?" tanya Ganendra seraya berdiri. "Kondisinya sudah mulai stabil, tapi masih belum dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa," terang petugas medis itu. "Apa saya bisa melihat keadaannya?" Ganendra menatap wanita berseragam dokter di hadapannya dengan sorot penuh harap. "Tentu." Dokter tersebut mengarahkan Ganendra ke ruang intensif yang pintu masuknya dijaga oleh dua orang polisi berseraga
Di dalam ruang pertemuan mewah yang berisi puluhan orang itu, sorot mata Ganendra hanya terkunci pada sesosok wanita cantik yang duduk di salah satu kursi. Perasaan Ganendra begitu campur aduk saat menatap wanita yang tak lain adalah Gita, ibu kandungnya."Apa kabar, Nak?" sapa Gita lembut. Bukannya menjawab, Ganendra malah tertawa sinis. "Nak?" ulangnya. "Memangnya anda tahu siapa saya?""Kamu anakku, Ganendra." Gita bangkit dari kursinya dan bermaksud untuk mendekat."Berhenti!" sentak Ganendra nyaring, membuat semua pandangan tertuju ke arahnya, termasuk Dewandaru. "Jangan kurang ajar kamu!" geram pria yang selama ini menyamar sebagai Anggada itu. Dia mencengkeram kemeja bagian belakang Ganendra.Akan tetapi, Ganendra tak suka diperlakukan demikian. Dia segera berbalik dan mencengkeram lengan Dewandaru dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya melayangkan pukulan yang terarah tepat ke ulu hati musuhnya.Dewandaru terhuyung beberapa langkah ke belakang seraya terbatuk-batuk. N
Ganendra terdiam. Dia tidak tahu lagi siapa yang dipercaya. Satu demi satu wajah yang ada di ruangan itu, dia amati lekat-lekat.Tujuh orang adik kandung Atmawirya berada di sana. Mereka semua membenarkan perkataan Gita, wanita yang selama ini menolak keberadaan Ganendra, dengan alasan demi menyelamatkan nyawanya.Lalu, Haedar, pria dari antah berantah yang tiba-tiba mengaku sebagai ayah kandung Ganendra. Satu hal yang membuat pria rupawan itu tidak dapat menerima semuanya adalah Dewandaru. Musuhnya itu ternyata bekerja pada Gita. Dewandaru lah pria yang bertanggung jawab penuh atas perpisahan Ganendra dengan Jingga, gadis yang dia cintai dengan tulus. Membuat Ganendra mengambil kesimpulan bahwa Gita turut andil atas hancurnya pernikahan yang ingin dia pertahankan."Apakah itu artinya aku bukan keturunan Atmawirya Wiratmaja?" tanya Ganendra setelah beberapa saat lamanya terdiam."Atmawirya hanyalah ayah tirimu, Nak," jawab Gita lembut. "Hm." Tersungging senyuman samar dari bibir tip
"Gagal? Apa maksud kalian dengan gagal?" Napas Ganendra memburu. Matanya nyalang menatap wajah para petugas medis, satu persatu."Ayah anda sudah meninggal dunia," jawab salah seorang dokter, membuat dunia Ganendra berputar seketika.Pria rupawan itu limbung dan hampir terjatuh. Beruntung seorang perawat yang berada di dekatnya, sigap menangkap tubuh tegap itu. Perawat tersebut menepuk-nepuk pelan punggung Ganendra untuk menenangkannya."Kami mohon maaf, Pak. Sekuat apapun kami berusaha, takdir Tuhan lah yang paling menentukan," sesal sang dokter."Tidak," gumam Ganendra pelan. "Tidak," ulangnya sambil melangkah keluar. "Pak, anda mau ke mana?" tanya si perawat. Namun, Ganendra tak menjawab. Dia malah menemui petugas kepolisian yang berjaga di sana lalu mengabarkan kematian Atmawirya.Ganendra juga menghubungi para pengacaranya dan menyuruh mereka untuk menyelesaikan semua persoalan hukum sang ayah.Terakhir, Ganendra menghubungi Markus, sesuai wasiat Atmawirya. "Papa sudah tiada. Se
Sudah dua hari sejak kepergian Atmawirya. Ada setitik rasa sedih yang Jingga rasakan ketika membayangkan sosok sang mantan mertua.Seburuk apapun kisah masa lalu Atmawirya, Jingga tak dapat memungkiri bahwa pria tua itu pernah menyelamatkan nyawanya saat hendak dicelakai oleh pemuda-pemuda berandal, bertahun-tahun yang lalu. Jingga menghela napas panjang. Rasa sedih itu kini bertambah dengan rasa kecewa. Harapannya untuk bertemu dengan Ganendra saat melayat ke kediaman Atmawirya, harus pupus.Darni sempat mengatakan bahwa sejak sang ayah terkena kasus, Ganendra tak pernah terlihat pulang ke rumah. "Ya, Tuhan. Aku harus bagaimana?" gumam Jingga lirih seraya mengusap-usap perutnya yang masih rata."Ngga." Panggilan seseorang membuat Jingga tersentak. Dia langsung menoleh ke arah suara dan mendapati Echa berdiri di ambang pintu."Kamu kenapa, Cha?" tanya Jingga saat menangkap bahasa tubuh sahabatnya yang sedikit aneh."Si ganteng itu datang lagi," jawab Echa lirih. Raut wajahnya menyir
"Oh, sekarang kamu peduli? Setelah semua yang kamu lakukan untuk memisahkan mereka berdua?" Gita tersenyum sinis.Dewandaru terkesiap mendengarkan kalimat itu. Dia menelan ludah untuk menghilangkan rasa gugup. "A-anda sudah tahu?" tanya Dewandaru ragu-ragu."Aku mungkin sudah tua, tapi tidak bodoh. Aku mengetahui apapun yang kamu lakukan di belakangku, Dewa. Aku sampai sengaja menunda kepulangan kami ke Finlandia agar bisa segera bertemu empat mata dengan Ganendra. Namun, ternyata semua rencanaku telah gagal," sesal Gita."Kita memang berhasil mengalahkan Atmawirya, dan membuat dia melepaskan cengkeramannya dari Ganendra. Akan tetapi, semua itu menjadi tak berguna ketika putraku malah menghilang," imbuh wanita paruh baya itu."Tenanglah, Sayang. Kita akan pikirkan jalan keluarnya. Aku yakin, kita pasti bisa menemukan Ganendra walaupun membutuhkan waktu yang tak sebentar," hibur Haedar."Lalu, bagaimana dengan Jingga? Bagaimana dengan bayinya?" sela Dewandaru."Seharusnya kamu memikirk
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b