Semua Bab Pernikahan Sebatas Status: Bab 51 - Bab 60

104 Bab

Memulai Dari Awal

"Papa hendak mengusirku?" Ganendra tertawa meremehkan. "Apa Papa lupa? Aku satu-satunya penerus nama Wiratmaja! Atau memang itu yang Papa inginkan? Jangan-jangan Papa sengaja melemparkan bisnis kita yang sudah berlangsung turun temurun ke adik-adik Papa yang belum tentu mereka sanggup mengurusnya?" "Lebih baik bisnisku hancur dan jatuh miskin daripada melihat hidupmu yang hancur, Ga," desis Atmawirya. "Aku sudah tua. Keinginanku hanya satu, melihatmu hidup tenang dan damai bersama wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Sudah cukup kamu berpetualang dengan banyak perempuan tidak jelas di luar sana!" "Ya, ampun." Ganendra memijit pangkal hidung seraya terkekeh pelan. "Kamu boleh menganggap enteng perkataanku, tapi ingatlah satu hal, Nak. Kamu tidak akan selamanya muda. Di saat, tulang-tulangmu sudah tak mampu menyangga tubuhmu, saat itulah kamu akan sadar," tutur Atmawirya. "Sadar tentang apa, Pa? Selama ini aku selalu sadar. Lebih baik hidup sendiri daripada harus dikecewaka
Baca selengkapnya

Sepakat

"Memulai apa?" tanya Jingga polos. Ganendra yang gemas, segera mengurai pelukan, dan mendorong tubuh Jingga sedikit menjauh, agar dia dapat melihat dengan jelas wajah cantik yang tengah kebingungan itu. "Kuakui, kita bertemu dengan cara yang salah. Alasan kita menikah juga salah. Jadi ...." Ganendra diam dan berpikir. Baru kali ini dirinya kebingungan merangkai kata-kata. "Jadi?" desak Jingga penasaran. "Apa kamu mau menjalani pernikahan yang sebenarnya bersamaku?" tanya Ganendra. "Pak?" Jingga langsung bangkit dan menjauh. Dia menatap Ganendra sambil memasang raut tak percaya. "Anda tidak sedang bercanda, kan?" tanyanya memastikan. Ganendra menggeleng seraya tersenyum. "Aku ingin mencobanya bersamamu. Kamu mau, kan?" tawarnya lembut. "Ta-tapi ... Kak Sandra ...." Jingga menggigit bibir bawahnya. "Kenapa dia?" Ganendra menautkan alis. "Anda dan Kak Sandra ...." Mimik muka Jingga mendadak sedih. Dia lalu menunduk dalam-dalam saat Ganendra menatapnya lekat-lekat. "Sebenarnya, a
Baca selengkapnya

Panggil Aku Abang

Bagi Ganendra, lari pagi hari itu adalah lari pagi yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Dia bisa berolahraga sekaligus menggoda Jingga yang berlari terengah-engah. Tiap seratus meter, gadis itu berhenti dan membungkuk sambil memegangi perutnya. "Pak, berhenti dulu. Aku tidak kuat," keluh Jingga untuk kesekian kali. "Lemah," ejek Ganendra seraya tertawa. "Ayo, Jingga. Kamu baru berusia dua puluhan. Masa kalah denganku yang sudah kepala tiga!" "Ya, itu karena anda sudah terbiasa." Jingga meringis, lalu menegakkan tubuh dan berkacak pinggang. "Makanya, kamu juga harus terbiasa." Ganendra yang sudah beberapa meter di depan Jingga, langsung menghampiri istrinya itu. Dia langsung memanggul tubuh ramping Jingga ke pundaknya. "Aw, Pak! Turunkan aku!" pekik Jingga sembari memukul-mukul punggung Ganendra. "Gerakmu terlalu lamban. Bisa-bisa aku terlambat ke kantor," ujar pria tinggi dan tegap itu sambil berlari kecil menuju kediamannya. Ganendra baru menurunkan Jingga saat mereka tiba
Baca selengkapnya

Terbakar

"Astaga!" Jingga terkikik geli. "Seperti panggilanku ke tukang sayur yang biasa lewat depan rumah.""Lama-lama kamu makin kurang ajar, ya! Masa aku disamakan dengan tukang sayur!" omel Ganendra. "Biasanya orang-orang kaya memiliki nama panggilan khusus yang terdengar mewah dan elegan. Seperti yang biasa kutonton di film-film barat," celoteh Jingga, seiring langkah mereka yang beriringan menyusuri koridor menuju kamar Ganendra."Seperti apa contohnya? Darling? Honey? Love?" cetus Ganendra."Honey juga bagus." Jingga menjentikkan jari. "Ah, seperti anak remaja yang baru saja jatuh cinta saja kita ini, Ngga," elak Ganendra keberatan."Aku memang baru kali ini jatuh cinta," sahut Jingga sambil tersenyum malu-malu. "Oh, ya?" Ganendra menatap istrinya dengan sorot takjub. "Gadis secantik kamu, mana mungkin tidak ada yang naksir?" celetuknya tak percaya."Yang naksir banyak, tapi ...." Jingga terdiam sejenak. "Aku t
Baca selengkapnya

Puncak Amarah

"Pak! Anda mau apa?" Jingga berusaha meraih lengan Ganendra yang berjalan cepat di depannya. "Pria brengsek itu harus diberi pelajaran! Apa dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Di mana sopan santunnya!" geram Ganendra dengan muka merah padam menahan amarah. "Pak, sudahlah! Biar aku yang menjelaskan padanya!" Jingga memohon. Ditangkupkannya kedua tangan di depan dada. Ganendra sontak berhenti dan melotot tajam pada Jingga. "Kamu membelanya?" tanyanya tak suka. "Bukan! Aku hanya tidak ingin ada keributan. Kumohon." Jingga langsung menghambur dan mendekap tubuh Ganendra erat-erat. "Lepas, Ngga," desis Ganendra. "Jangan sampai aku mengira kalau kamu sedang berusaha untuk melindungi Anggada." "Bukan!" Jingga menggeleng kencang. Kedua tangannya masih melingkar di tubuh tegap Ganendra. Pria rupawan itu mulai risi dengan sikap Jingga. Dia berusaha mengurai pelukan sang istri, bersamaan dengan datangnya sosok yang hendak dicari oleh Ganendra. Pria yang tak lain adalah Anggada
Baca selengkapnya

Senyuman Terakhir

Entah apa tujuan Atmawirya mengunci Jingga di dalam kamar pribadinya. Gadis itu sama sekali tak memahami jalan pikiran sang mertua.Untuk membunuh waktu, Jingga hanya mondar-mandir antara kamar dengan balkon Sementara Atmawirya dan Ganendra berada di ruang kerja sejak beberapa jam yang lalu. Di sana, mereka menginterogasi Anggada sampai selesai.Merasa lelah dan bosan, Jingga akhirnya mengempaskan tubuh, duduk di sebuah bangku kayu yang terletak di dekat pagar balkon.Saat itu, pandangannya tak sengaja menangkap sosok Anggada yang berjalan gagah melintasi halaman depan. Spontan Jingga berdiri dan memperhatikan sosok tegap itu.Saat melewati air mancur, Anggada tiba-tiba menghentikan langkah, lalu mendongak ke arah lantai dua. Dia melihat Jingga di sana. Seulas senyuman manis dan hangat tersungging dari bibirnya. Sebuah senyuman terakhir untuk Jingga. Anggada mengangguk sebagai isyarat pamit. Ragu, Jingga membalasnya dengan lambaian tangan pelan. Hanya gerakan sederhana seperti itu, m
Baca selengkapnya

Tentang Ibu

"Yang sudah lewat, biarlah. Buktinya, saya masih bisa berdiri di sini, sehat walafiat," hibur Jingga seraya membantu Darni berdiri tegak."Anda mau memaafkan saya, Nyonya?" tanya Darni pilu.Jingga mengangguk. "Siapa sih, yang tidak pernah punya salah dan dosa? Aku juga punya, lebih besar malah," ucapnya."Terima kasih banyak, Nyonya, tapi ...." Darni seakan ragu untuk berkata."Apa?" tanya Jingga lembut."Saya mohon, agar Nyonya tidak memberitahukan seluruh kesalahan saya pada Tuan Besar. Saya tidak punya tempat lain selain di sini. Saya tidak punya siapa-siapa lagi." Darni kembali terisak."Kalau memang tidak punya tempat selain di sini, kenapa harus mencuri?" tanya Ganendra yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Darni begitu terkejut. Dia sempat terpaku beberapa saat sebelum akhirnya menghambur ke arah Ganendra dan bersujud di kakinya."Tuan, maafkan saya! Waktu itu saya gelap mata karena membutuhkan
Baca selengkapnya

Menantu Cantik

"Jingga, kamu begitu berbeda dibandingkan semua perempuan yang pernah kukencani. Aku tahu pasti bahwa kamu istimewa, tapi aku selalu berusaha untuk mengingkarinya. Aku mengingkari perasaanku sendiri, sampai saat di mana aku tak bisa lagi mengelak," tutur Ganendra. "Aku lelah, Ngga. Aku tidak mau lagi lari dari kenyataan. Itulah sebabnya, aku menginginkan sebuah pernikahan yang sebenarnya untuk kita." Ganendra meraih kedua tangan Jingga dan menggenggamnya penuh perasaan. "Aku tidak malu lagi mengakui bahwa aku telah jatuh cinta padamu," ungkap Ganendra, membuat mata indah Jingga berkaca-kaca. "Pak ...." Bibir gadis cantik itu bergetar menahan tangis. "Jadi, kumohon. Jangan pernah meninggalkanku seperti mama," pinta Ganendra lirih. "Tidak akan!" Jingga menggeleng kuat-kuat. "Sesuai dengan kata-kata yang selalu kuucapkan pada anda. Aku tidak akan pergi, kecuali anda sendiri yang meminta," ujarnya penuh keyakinan. "Terima kasih
Baca selengkapnya

Bertele-tele

Malam itu, entah sudah berapa kali Ganendra menikmati tubuh Jingga. Dia tak memedulikan beberapa bagian tubuhnya yang nyeri akibat berkelahi dengan Anggada.Bahkan pukulan Anggada di pinggang Ganendra siang tadi telah meninggalkan bekas yang cukup parah. Luka memar kehitaman itu telah mengotori kulit Ganendra yang putih bersih."Pak, apa anda tidak lelah?" tanya Jingga saat Ganendra asyik bermain di atas tubuh istrinya."Sedikit lagi, Ngga," jawab Ganendra sembari mendesis, lalu melumat bibir ranum Jingga."Pak ...." Jingga memejamkan mata tatkala Ganendra berhasil membawanya ke puncak kenikmatan dunia.Beberapa saat kemudian, Ganendra terkulai lemah di atas tubuh molek itu. Napasnya terengah-engah, tetapi dia masih sempat tertawa."Terima kasih, ya," bisik Ganendra tepat di telinga Jingga."Untuk apa?" tanya Jingga keheranan."Sudah melayaniku sepenuh hati, padahal kamu juga lelah," ucap Ganendra sembari mengecup lembut kening Jingga."Sudah kewajibanku." Jingga membalas kecupan itu d
Baca selengkapnya

Bimbang

Ganendra keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Dia hanya memakai celana tidur dan bertelanjang dada. Langkahnya lebar menuju kamar sang ayah, lalu mengetuk pintunya sedikit kencang."Pa!" seru Ganendra nyaring. Namun, bukannya pintu kamar Atmawirya yang terbuka, sesosok pria tinggi besar yang tak lain adalah Markus, yang malah menghampiri Ganendra. Kamar bodyguard garang itu berada tepat di sebelah kamar Atmawirya."Ada perlu apa, Pak?" tanya Markus dengan sorot mata tajam."Aku ada perlu dengan Papa! Kamu tidak perlu ikut campur!" hardik Ganendra."Pak Atmawirya berpesan supaya tidak ada yang mengganggunya malam ini," sahut Markus."Aku anaknya!" desak Ganendra."Pak Atmawirya tidak mengatakan demikian." Markus tetap pada pendiriannya.Mulut Ganendra sudah terbuka, hendak menimpali kalimat Markus. Akan tetapi, pintu kamar Atmawirya sudah lebih dulu terbuka."Ada apa ini?" tanya pria paruh baya itu seraya memicingkan mata. Terlihat jelas bahwa Atmawirya baru saja terbangun dari tidur
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status