"Jingga, kamu begitu berbeda dibandingkan semua perempuan yang pernah kukencani. Aku tahu pasti bahwa kamu istimewa, tapi aku selalu berusaha untuk mengingkarinya. Aku mengingkari perasaanku sendiri, sampai saat di mana aku tak bisa lagi mengelak," tutur Ganendra.
"Aku lelah, Ngga. Aku tidak mau lagi lari dari kenyataan. Itulah sebabnya, aku menginginkan sebuah pernikahan yang sebenarnya untuk kita." Ganendra meraih kedua tangan Jingga dan menggenggamnya penuh perasaan."Aku tidak malu lagi mengakui bahwa aku telah jatuh cinta padamu," ungkap Ganendra, membuat mata indah Jingga berkaca-kaca."Pak ...." Bibir gadis cantik itu bergetar menahan tangis."Jadi, kumohon. Jangan pernah meninggalkanku seperti mama," pinta Ganendra lirih."Tidak akan!" Jingga menggeleng kuat-kuat. "Sesuai dengan kata-kata yang selalu kuucapkan pada anda. Aku tidak akan pergi, kecuali anda sendiri yang meminta," ujarnya penuh keyakinan."Terima kasihMalam itu, entah sudah berapa kali Ganendra menikmati tubuh Jingga. Dia tak memedulikan beberapa bagian tubuhnya yang nyeri akibat berkelahi dengan Anggada.Bahkan pukulan Anggada di pinggang Ganendra siang tadi telah meninggalkan bekas yang cukup parah. Luka memar kehitaman itu telah mengotori kulit Ganendra yang putih bersih."Pak, apa anda tidak lelah?" tanya Jingga saat Ganendra asyik bermain di atas tubuh istrinya."Sedikit lagi, Ngga," jawab Ganendra sembari mendesis, lalu melumat bibir ranum Jingga."Pak ...." Jingga memejamkan mata tatkala Ganendra berhasil membawanya ke puncak kenikmatan dunia.Beberapa saat kemudian, Ganendra terkulai lemah di atas tubuh molek itu. Napasnya terengah-engah, tetapi dia masih sempat tertawa."Terima kasih, ya," bisik Ganendra tepat di telinga Jingga."Untuk apa?" tanya Jingga keheranan."Sudah melayaniku sepenuh hati, padahal kamu juga lelah," ucap Ganendra sembari mengecup lembut kening Jingga."Sudah kewajibanku." Jingga membalas kecupan itu d
Ganendra keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Dia hanya memakai celana tidur dan bertelanjang dada. Langkahnya lebar menuju kamar sang ayah, lalu mengetuk pintunya sedikit kencang."Pa!" seru Ganendra nyaring. Namun, bukannya pintu kamar Atmawirya yang terbuka, sesosok pria tinggi besar yang tak lain adalah Markus, yang malah menghampiri Ganendra. Kamar bodyguard garang itu berada tepat di sebelah kamar Atmawirya."Ada perlu apa, Pak?" tanya Markus dengan sorot mata tajam."Aku ada perlu dengan Papa! Kamu tidak perlu ikut campur!" hardik Ganendra."Pak Atmawirya berpesan supaya tidak ada yang mengganggunya malam ini," sahut Markus."Aku anaknya!" desak Ganendra."Pak Atmawirya tidak mengatakan demikian." Markus tetap pada pendiriannya.Mulut Ganendra sudah terbuka, hendak menimpali kalimat Markus. Akan tetapi, pintu kamar Atmawirya sudah lebih dulu terbuka."Ada apa ini?" tanya pria paruh baya itu seraya memicingkan mata. Terlihat jelas bahwa Atmawirya baru saja terbangun dari tidur
[Maaf, aku tidak bisa.] Jingga mengakhiri pesan itu dengan sebuah kalimat singkat. Terbersit rasa bersalah dalam hatinya. Akan tetapi, titah Ganendra baginya jauh lebih utama. Jingga pun buru-buru menghapus rangkaian pesannya bersama Anggada sebelum menyimpan ponsel dan mencoba untuk tidur. Bisa gawat kalau Ganendra memergoki dirinya masih berkomunikasi dengan Anggada.Rasanya baru saja dia terlelap saat Ganendra berusaha membangunkan dengan menciumi pipi dan bibirnya. "Pak, jangan mengganggu. Aku masih mengantuk," ujar Jingga kesal dengan mata terpejam. Ganendra menjauh seraya tertawa renyah sambil merapikan blazernya kembali."Ini sudah pukul tujuh. Aku harus berangkat ke kantor lebih awal untuk mendampingi papa," ucap Ganendra yang seketika membuat Jingga terbangun dan membuka matanya lebar-lebar. "Apa? Jadi, anda akan bertemu dengan Kak Sandra hari ini?" seru Jingga seraya membelitkan selimut ke tubuh lalu turun dari ranjang. Dia menghampiri Ganendra yang sudah terlihat sangat t
Jingga tampak sangat manis mengenakan midi dress yang dipadu dengan cardigan bermotif senada. Dia membiarkan rambut panjangnya tergerai dan hanya dihiasi oleh jepit rambut bercorak emas. Jepit itu adalah pemberian sang ayah sebelum jatuh sakit dan meninggal dunia. Jingga kembali mematutkan diri di depan cermin. Dia menyisir rambut menggunakan tangan, lalu menempelkannya ke hidung. Jingga teringat akan kebiasaan Ganendra yang senang menghirup rambut hitamnya yang indah, setiap kali mereka selesai bercinta. Angan nakalnya itu harus berakhir saat ponselnya berdering. Panggilan dari Echa telah menyadarkannya bahwa Jingga harus buru-buru berangkat ke tempat yang sudah mereka sepakati sebelumnya, dengan diantarkan oleh Amir, sopir pribadi Ganendra. Tak sampai satu jam, Jingga sudah berada di salah satu gerai food court sebuah mall yang dulu menjadi langganan Echa dan dirinya saat masih aktif berkuliah. "Kamu makin cantik aja, Ngga. Aromanya berubah," celetuk Echa. "Berubah gimana sih, C
Jingga tertegun mendapati seseorang telah memotretnya secara diam-diam saat sedang bersama Anggada. "Itu kamu kan, Ngga? Jadi, kamu bertemu dengan Anggada tanpa sepengetahuanku?" cecar Ganendra yang tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya.Jingga menggeleng kuat-kuat. "Bukan begitu! Aku tidak sengaja bertemu dengan dia saat berusaha mencari Pak Amir di area parkir. Pak Anggada tiba-tiba muncul dan hendak merebut ponselku!" bebernya."Kamu tidak berbohong kan, Ngga?" Sorot mata garang itu berubah sendu."Aku tidak pernah berbohong!" elak Jingga tegas. "Aku sama sekali tidak sengaja bertemu dengan Pak Anggada!""Apa saja yang dia katakan padamu?" tanya Ganendra lagi."Dia hanya memperingatkanku agar menjauh dari anda, karena anda hanya akan membuatku kecewa," ungkap Jingga."Hm ...." Ganendra menatap wajah cantik itu lekat-lekat. "Lalu, bagaimana pendapatmu?" "Pendapat apa?" Jingga menggeleng tak mengerti.
"Maaf, aku tidak berani, Kak." Jingga menunduk, menghindari sorot mata Hilda yang begitu mengintimidasi. "Kok, tidak berani? Katanya sudah jadi istri sah," ejek Hilda. "Rasanya tidak sopan kalau mengganggu pekerjaan Pak Ganendra hanya karena masalah pribadi," ujar Jingga. Salah satu pria bersetelan rapi yang tadi datang bersama Hilda, langsung mendekati wanita itu dan berbisik di telinganya. "Sebaiknya kita turuti saja, Bu. Jangan sampai kita membuat ricuh di sini," saran si pria. "Pak Widi! Anda saya sewa untuk menjadi pengacara saya. Bukan penasihat," hardik Hilda tak terima. "Tapi, apa yang dikatakan rekan saya itu benar adanya," sahut salah seorang pria yang lain. "Ingat, Bu Hilda. Citra anda yang dipertaruhkan di sini. Jangan sampai Pak Ganendra menuntut anda dan menolak semua poin perjanjian kita," tuturnya. Hilda pun terdiam. Nasihat dari dua pengacaranya tersebut cukup mempengarumempengaruhi pikirannya, sehingga dia memilih untuk menahan diri. Hilda lalu mengalihkan pand
Jingga langsung turun dari pangkuan Ganendra dan bersembunyi di balik kursi suaminya. Tanpa sadar, dia mencengkeram erat sandaran kursi yang diduduki oleh Ganendra. Terbayang kembali olehnya saat Anggada dan suaminya berkelahi sampai berdarah-darah. Jingga tak ingin hal tersebut terjadi lagi. "Selamat siang, Pak Ganendra," sapa Anggada sesaat setelah masuk ke ruangan dan berdiri di depan meja kerja. Iris mata gelapnya sempat melirik pada Jingga, sebelum kembali memusatkan pandangan pada Ganendra. "Mau apa kemari? Bukankah Papa sudah melarangmu?" tanya Ganendra tanpa basa-basi. "Oh, ya?" Anggada tersenyum mengejek. "Iya! Papa juga sedang mengumpulkan bukti-bukti bahwa kamu terlibat dalam pencurian data perusahaan. Tunggu saja sampai kami berhasil menuntut dan menjebloskanmu ke penjara," ujar Ganendra. "Ah, sayang sekali. Sepertinya anda akan kesulitan melakukan itu." Anggada terkekeh pelan, lalu terdiam. Dia mengalihkan tatapannya pada Sandra yang tampak gugup dan salah tingkah. "
"Oh, aku mengerti. Kamu ingin membalas sakit hati karena aku telah menolakmu, kan?" Ganendra tertawa merendahkan."Bukan!" seru Sandra sembari menggeleng kuat-kuat. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi pandangan mematikan Anggada membuat dirinya mengurungkan niat."Ya, anggap saja begitu," ucap Sandra pada akhirnya. Suaranya begitu pelan, seakan ada beban yang menekan dadanya sehingga dia kesulitan bicara."Jangan berlama-lama, Bu Sandra. Langsung saja pada inti permasalahan," saran Anggada. Sorot matanya berubah lembut.Sandra menunduk dalam-dalam. Air mata mulai menetes di pipi. Dia mengangguk samar, lalu mendongak lagi. "Pak Ganendra, keluarga Wiratmaja adalah penjahat. Anda semua mafia! Sudah berapa banyak orang yang mati di tangan anda!" cerca Sandra tanpa jeda.""Apa?" Ganendra mengernyitkan dahi."Berdasarkan data-data rahasia yang sudah dikumpulkan oleh Sandra, bisa dipastikan bahwa Pak Atmawirya dan anda telah menjalank
"Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny
"Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l
Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude
Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t
"Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya
"Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah
Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta
Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang
Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b