Home / Pernikahan / Mantan Istri Jadi Adik Ipar / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Mantan Istri Jadi Adik Ipar: Chapter 61 - Chapter 70

83 Chapters

#61. Hati Yang Terluka

Saat melewati kedua sosok yang tengah berpelukan itu, Davina tidak menoleh lagi. Baginya sudah cukup yang dia lihat hari ini. Cukup untuk menyakiti hatinya.Tujuannya hanya satu, keluar dari tempat ini sekarang juga. Bahkan, dia juga tak menyapa atau sekadar berpamitan pada Lis, yang menatapnya dengan bingung bercampur heran. Ya, kenapa kakak ipar dari anaknya itu sama sekali tidak menghiraukannya? Aneh sekali kalau Davina tidak bisa melihatnya. Tapi, yang lebih mengundang tanya adalah tatapan mata Davina yang kosong.Lis hendak memanggil, tapi suara paraunya tertelan oleh dengung para ibu-ibu yang asyik bercerita di ruangan ini. Davina pun hanya lewat begitu saja dari hadapannya.Sedangkan Fathan yang ada di luar, masih menunggu istrinya untuk ikut memandikan jenazah sang ayah. Dia hendak masuk ke dalam terpal itu ketika seorang bapak memanggilnya, sepertinya salah satu warga di sini. Akan tetapi, tanpa sengaja dia melihat Davina datang mendekat. “Kak?”“Pinjam kunci mobil,” pinta Da
Read more

#Bab 62. Rasa Bersalah

“Kami menemukan nomor ini dipanggilan darurat. Kalau boleh tahu ini dengan siapa?”“Sa ... Saya suaminya,” jawab Rafa terbata. Dalam satu kejapan mata, kesadarannya kembali. “Ini di rumah sakit mana?!”Mendengar ucapan Rafa itu, Ridho sontak menegakkan punggungnya. Pikirannya berusaha menerka apa yang terjadi.Seraya mendengar jawaban nama rumah sakit tempat istrinya berada, Rafa bergerak menuju pintu ruang tamu. Kebetulan saat itu Surtiwi baru saja turun dari ojek online yang ditumpanginya.“Pak?” panggilnya pelan ketika hendak berpas-pasan dengan Rafa.Rafa menutup panggilan itu dan menggenggam erat ponselnya. Wajahnya berubah pucat pasi.“Tolong bawa anak-anak pulang. Saya mau pergi dulu.” Rafa tidak memberi kesempatan Surtiwi untuk menyahut, walaupun asisten rumah tangganya itu sudah membuka mulut.Surtiwi hanya bisa memandangi punggung Rafa, tapi tuannya itu kembali lagi. Seperti kelupaan sesuatu. Dan, linglung seperti ini bukan sikap Rafa banget.“Ya, Pak?”“Kalian langsung pula
Read more

#Bab 63. Anak Manja

“Fathan.”Baru saja usai acara tahlilan tujuh hari sejak kepergian Davina. Sebagian besar para undangan sudah angkat kaki dari rumah sejak satu jam yang lalu.Rafa memanfaatkan keadaan ini untuk berbicara berdua dengan adik ipar, yang menghindari bertemu dengannya beberapa hari ini.Dari lubuk hatinya yang terdalam, Rafa kesal melihat tingkah kekanak-kanakan Fathan itu. Seolah hanya dia seorang yang kehilangan. Padahal, Rafa juga merasakan yang sama. Bukan hanya kehilangan seorang istri, tapi juga ibu untuk kedua anak kembarnya.Langkah Fathan terhenti. Dia tahu, kalau saat ini menoleh maka menemukan sosok Rafa di belakangnya. Karena itu dia enggan untuk berbalik. Dia masih tak nyaman jika harus melihat langsung mata Rafa. Makanya, dia hanya berdiri diam memunggungi Rafa.“Mulai besok, aku akan mempersiapkan kepindahanku dan Si Kembar. Kami akan pindah setelah 40 hari.” Rafa menunggu reaksi Fathan, namun lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu hanya bergeming. “Aku hanya mau memb
Read more

#Bab 64. Ditinggalkan Sendiri

“Mertua Fathan meninggal, sebaiknya kita bergegas ke sana,” ajak Haris pagi itu. Dia sudah bilang pada istrinya kalau mau melayat jam enam pagi ini, tapi tidak kunjung kelihatan tanda-tanda kalau Nirmala mau ikut dengannya.Wanita bermata hijau kecoklatan itu, memperbaiki letak ujung pashminanya sambil melihat bonsai kesayangannya. Jemarinya yang satu lagi memegangi gunting bonsai. “Kamu aja yang pergi, deh. Rumahnya kecil. Pasti panas banget di sana.”“Ma, ini sudah jam berapa. Sudah siang banget. Kita itu seharusnya yang datang paling awal, bukannya yang paling telat seperti ini. Ngga enak sama Fathan.”Nirmala meletakkan guntingnya dengan hentakan keras di atas meja. Matanya menyinarkan kesinisan. “Bentar, deh, Mama siap-siap!”Haris mengikuti arah kepergian istrinya itu, lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Nirmala. Dia, sih sudah siap. Sudah mengenakan kemeja dan celana dasar dengan warna senada dengan kopiahnya—hitam.Ketika ponselnya bergetar, Haris mengambilnya. Ternyata seb
Read more

#Bab 65. Masih Menunggu Kamu

Wanita muda berkulit kuning langsat berada di tengah ruang tamu milik keluarga almarhum Sukamto. Selendangnya tergeol-geol, menyangkut, di cepolan rambut panjangnya ketika tangannya sibuk menyapu karpet dengan lidi.Meskipun dia seorang wanita karir, yang jabatannya sebagai asisten manajer termasuk lumayan, Putri tetap mau melakukan pekerjaan kasar seperti ini. Sudah didikan ibunya sejak kecil. Awalnya dia tidak tahan karena omelan dari sang ibu kalau hanya berdiam diri, namun sekarang tubuhnya akan canggung sendiri kalau hanya diam saja ketika orang lain bekerja.Tamu-tamu yang berdatangan untuk mendoakan almarhum Sukamto di malam ke-40 kepergiannya, sudah pulang sejak sepuluh menit yang lalu. Hanya tersisa keluarga besar saja yang duduk di luar sana.Setelah membantu memilah sampah dan piring kotor, Putri ikut membantu membersihkan ruangan.“Put. Sini, biar aku lanjutin. Kamu capek udah ngerjain dari tadi, kan?”Putri menepis tangan Aurel, yang hendak mengambil alih sapu lidi. “Ngga
Read more

#Bab 66. Manusia Bodoh

“Lia, aku temenin, yah,” tawar Putri pas Subuh tadi. Kebetulan dia masih menginap di rumah Aurel. Kedua orang tuanya juga masih ada di sana. Karena ini hari Sabtu, dia juga memang libur weekend. Kemungkinan baru pulang besok, Minggu sore.Aurel masih ingat kalau menggeleng sebagai jawaban dari kebaikan Putri itu. Saat ini, dia sudah berada di dalam taksi yang sedang mengantarkannya ke alamat yang tertera. Tulisan balok besar di dekat gerbang menunjukkan bahwa mereka hendak sampai di perumahan Atlanta.Menduga apa maksud dari foto itu sudah Aurel lakukan sejak melihatnya. Tapi, dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Walaupun banyak penolakan yang terlontar dari benaknya.Sang sopir taksi tampak sesekali melihat ke arah secarik kertas yang diberikan Aurel sejak masuk ke mobil ini, seraya memelankan laju mobil. Dia mencari-cari di mana keberadaan Blok I tersebut.Seketika mata Aurel membesar. Punggungnya yang tadi menyender di kursi langsung tegak. Dagunya yang tadi tertopang tang
Read more

#Bab 67. Tidak Pernah Benar Di Matamu

Sangat sepi keadaan rumah setelah usai acara tahlilan 40 hari kepergian Davina. Lebih terasa karena sudah tidak ada derai tawa si kembar, yang menghiasi setiap sudut rumah.Karena tahu seperti apa keadaan di luar sana, makanya Fathan memilih betah untuk tiduran di dalam kamar.Sebenarnya bermalas-malasan seperti ini bukanlah prinsip hidupnya. Namun semenjak kehilangan Davina, Fathan tidak semangat untuk melakukan apapun. Terlebih lagi mengingat pertengkarannya dengan Aurel, yang sepertinya akan sulit untuk diperbaiki.Jemari Fathan meraba-raba ke arah nakas. Ponselnya bergetar barusan. Ketika berhasil diraih, tidak dilihatnya lagi layar ponsel, langsung ditempelkan saja ke telinga.“Ya?”Tidak ada jawaban untuk beberapa detik. “Bapak baru bangun?” Ternyata Ridho. Sekretaris Fathan itu melirik ke arah jam dinding. Sudah hampir jam setengah sepuluh pagi. Tapi, Ridho hapal sekali suara atasannya ini. Kalau sudah sadar sepenuhnya, suaranya pasti lebih tegas.“Bukan urusanmu,” sergah Fatha
Read more

#Bab 68 • Jahatnya Kamu

Tetes hujan perlahan mulai mereda. Namun, genangan air membanjiri sebagian jalan setapak di luar cafe. Kendaraan mulai terlihat ramai berlalu-lalang lagi. Begitu juga dengan pengguna jalan kaki.Aurel duduk menghadap ke dinding kaca. Di antara jemarinya yang saling terkatup terdapat satu cangkir putih nan bulat. Single espresso dan susu bercampur jadi satu. Sementara itu buih susu menjadi atap teratas cangkir itu. Sudah hampir habis buihnya, hampir tidak terlihat, karena sudah dihirup oleh Aurel.Pandangan mata Aurel tak bertuan. Seperti melihat ujung meja, tapi sepertinya juga tidak. Bagian bawah matanya terlihat bengkak, begitu juga kelopak atasnya yang lebih tebal. Siapapun yang melihatnya juga pasti tahu kalau dia habis menangis.Aurel sengaja tidak pulang, walaupun rumahnya berjarak tinggal lima ratus meter dari sini. Dia sudah bisa memastikan kalau Fathan berada di sana. Karena lelaki itu entah sudah berapa kali membuat ponselnya bergetar. Pasti bingung karena sejak pagi tadi A
Read more

#Bab 69 • Di Antara Dua Pilihan

“Bu!”“Hah?! Apa?!” Suwarni, yang tengah menonton sinetron kesukaannya, tersentak kaget karena panggilan Feny. Dia langsung melihat ke arah Ghani, yang bermain mobil-mobilan.Keningnya mengernyit. ‘Cucuku baik-baik aja. Terus kenapa Feny pakai teriak gitu, sih?’Dia pun menoleh ke samping, pada anak perempuannya yang duduk tepat di sisinya. Ditepuknya kuat paha Feny, hingga mengaduh kesakitan.“Ada apa, sih?! Kenapa teriak-teriak?! Mau copot ini jantung Ibu.”Feny mengusap-usap pahanya yang perih sambil manyun. “Bu, kita balik ke Palembang aja, yuk.”“Udah gila kamu, ya!”Gantian, kali ini Feny yang terdiam sambil menutup mata. Sergahan Suwarni barusan bagaikan hembusan angin kencang menerjang langsung ke arah mukanya.“Kamu tahu, kan kalau di sana itu juga banyak keluarga ibumu ini, Fen! Mereka dulu ngga setuju Ibu nikah sama Bapak. Kalau tahu nasib Ibu ditinggal pergi Bapakmu gini, wah, mereka tepuk tangan pasti, tuh.”Feny menghela napas. “Iya. Aku paham, Bu. Tapi, kayaknya kita ng
Read more

#Bab 70 • Selamat Tinggal

Putri menarik koper menuju pintu masuk stasiun kereta api dengan warna dominan hijau pupus itu. Di depannya, Lis dan Aurel berjalan memasuki pintu masuk.Ketiganya celingak-celinguk begitu sudah masuk ke lantai dasar itu, mencari tempat duduk yang kosong. Karena jam segini, ternyata cukup padat penumpangnya. Beberapa spot sudah dipenuhi dengan calon penumpang.“Bude, duduk di sini aja,” ujar Putri sambil menunjuk sisi kanannya. Ada bangku-bangku di dekat taman. Dan, kebetulan sekali ada satu bangku yang kosong.Lis tampak menyetujui ide Putri itu. Dengan digandeng Aurel, dia menghampiri bangku itu.Aurel dan Putri tampak berusaha sekuat tenaga mengangkat koper karena lantai bangku itu lebih tinggi sedikit dari dasar lantai ini.“Kami mau cetak boarding pass dulu, Bu,” pamit Aurel setelah mendekatkan kopernya dengan koper yang dibawa Putri tadi.Lis mengangguk. Kemudian, memandangi punggung kedua anak muda yang menjauh. Aurel dan Putri sudah seperti saudara kandung sedari kecil. Mereka
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status