“Bu!”“Hah?! Apa?!” Suwarni, yang tengah menonton sinetron kesukaannya, tersentak kaget karena panggilan Feny. Dia langsung melihat ke arah Ghani, yang bermain mobil-mobilan.Keningnya mengernyit. ‘Cucuku baik-baik aja. Terus kenapa Feny pakai teriak gitu, sih?’Dia pun menoleh ke samping, pada anak perempuannya yang duduk tepat di sisinya. Ditepuknya kuat paha Feny, hingga mengaduh kesakitan.“Ada apa, sih?! Kenapa teriak-teriak?! Mau copot ini jantung Ibu.”Feny mengusap-usap pahanya yang perih sambil manyun. “Bu, kita balik ke Palembang aja, yuk.”“Udah gila kamu, ya!”Gantian, kali ini Feny yang terdiam sambil menutup mata. Sergahan Suwarni barusan bagaikan hembusan angin kencang menerjang langsung ke arah mukanya.“Kamu tahu, kan kalau di sana itu juga banyak keluarga ibumu ini, Fen! Mereka dulu ngga setuju Ibu nikah sama Bapak. Kalau tahu nasib Ibu ditinggal pergi Bapakmu gini, wah, mereka tepuk tangan pasti, tuh.”Feny menghela napas. “Iya. Aku paham, Bu. Tapi, kayaknya kita ng
Putri menarik koper menuju pintu masuk stasiun kereta api dengan warna dominan hijau pupus itu. Di depannya, Lis dan Aurel berjalan memasuki pintu masuk.Ketiganya celingak-celinguk begitu sudah masuk ke lantai dasar itu, mencari tempat duduk yang kosong. Karena jam segini, ternyata cukup padat penumpangnya. Beberapa spot sudah dipenuhi dengan calon penumpang.“Bude, duduk di sini aja,” ujar Putri sambil menunjuk sisi kanannya. Ada bangku-bangku di dekat taman. Dan, kebetulan sekali ada satu bangku yang kosong.Lis tampak menyetujui ide Putri itu. Dengan digandeng Aurel, dia menghampiri bangku itu.Aurel dan Putri tampak berusaha sekuat tenaga mengangkat koper karena lantai bangku itu lebih tinggi sedikit dari dasar lantai ini.“Kami mau cetak boarding pass dulu, Bu,” pamit Aurel setelah mendekatkan kopernya dengan koper yang dibawa Putri tadi.Lis mengangguk. Kemudian, memandangi punggung kedua anak muda yang menjauh. Aurel dan Putri sudah seperti saudara kandung sedari kecil. Mereka
Lima tahun kemudian ....Pintu lift lantai lima berbunyi ‘ting’ singkat sebelum terbuka. Pandangan Siska langsung tertuju ke sana. Dia hendak berdiri tapi langsung diurungkannya. Ternyata yang keluar dari sana adalah rekan kerjanya sendiri— Ridho.Ridho juga adalah sekretaris Fathan. Tapi, dia lebih kepada urusan yang lebih pribadi dan secret banget. Sedangkan Siska lebih ke urusan kantor dan tidak terlalu banyak tahu rahasia dari atasannya itu. Namun, daripada pegawai lain di gedung ini, tentu saja dia menjadi bagian dari 0,1% pegawai yang tahu betul seperti apa Fathan.“Bapak ada?” tanya Ridho tanpa memelankan langkahnya.“Ada,” jawab Siska diiringi anggukan pelan dan senyuman tipis. Matanya terus mengikuti Ridho, yang menuju pintu ruangan Fathan. “Tanpa harus bertanya, dia juga pasti langsung ke sana, 'kan?” cibirnya setengah kesal.Ridho mengetuk pintu dua kali, lalu meraih handle dan menariknya ke luar. Ketika menemukan sosok Fathan di balik meja kerjanya, Ridho bergegas menghamp
“Shanum, bekalnya!” teriak Aurel. Dia terkejut melihat kotak bekal bening tutup abu-abu itu masih berada di atas meja makan.Seorang gadis muncul kembali di ruangan itu, mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dengan sepatu keds nya. Diraihnya kotak nasi itu, lalu dipeluknya. Saat berdiri bersebelahan dengan Aurel begini, mereka hampir sama tinggi.“Shanum pergi dulu, Bu,” pamitnya. “Assalamualaikum,” teriaknya ketika berada di luar.Aurelia yang mengikuti langkahnya tanpa terburu-buru, memandangnya sambil tersenyum. “Waalaikumsalam.”Sembari bersedekap, Aurelia menatapi kepergian anak sematawayangnya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Waktu tak terasa berlalu begitu cepat. Shanum sekarang sudah remaja.Shanum memang tumbuh menjadi gadis berumur enam belas tahun yang periang. Pagi ini saja, dia berlari ke ujung jalan sambil bersenandung.“Shanum!”Shanum menoleh. Sejak mendengar suara itu, dia tahu siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Dewi—sahabatnya sejak masih mengenakan ser
Kedua bola mata Dewi melihat ke arah atas, ke arah kiri, lalu ke kanan, berulang kali seperti itu sampai merasa pusing sendiri. Dewi mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menggeleng pelan. Setelah pusingnya agak mereda, dia mengulangi apa yang dilakukannya tadi.Shanum mondar-mandir di depannya, entah sudah berapa kali.Ini istirahat kedua. Mereka duduk di bawah pohon sukun, ada bangku yang memutari pohon besar itu. Letaknya di dekat ruang guru tapi agak jauh dari kelas mereka.“Tadi aku sudah nahan kamu, ya, Num supaya ngga keceplosan. Tapi, kamu kebawa emosi gitu.” Dewi mengingatkan kalau sudah melakukan hal yang benar tadi, tapi Shanum-nya sendiri yang tidak menurut.Shanum berhenti, menghadap ke arah Dewi. “Makanya, aku jadi bingung banget. Gimana bisa buktiin kalau aku sama Ghani itu emang sodara satu bapak? Gimana caranya mukaku ini ada di postingan sosmed dia?”“Yah, sebenarnya simpel, kok. Kamu tinggal ketemu sama dia,” jawab Dewi sambil memainkan sepatunya yang mengulik t
Sambil menggenggam erat tali tas punggungnya, Shanum mengambil langkah mendekat ke pintu kaca itu. Senyumnya mengembang jelas di wajah mungilnya, membayangkan kalau sebentar lagi akan bertemu muka dengan Fathan—ayah kandungnya. Hal yang paling dimimpikannya selama ini.Namun, langkahnya sontak terhenti oleh seorang pria berbadan tinggi yang mengenakan seragam serba hitam.“Ada yang bisa Saya bantu?”“Itu ....” Shanun merasa tidak melakukan kesalahan, tapi entah kenapa malah jadi gugup seperti ini. “Saya mau ketemu Pak Fathan.”Kening security itu mengernyit. “Pak Fathan? Divisi mana?”“Divisi mana? CEO di sini, lah.”‘Aku pikir tadi salah dengar,’ gumam benak sang security. Dia pun menyeringai sambil mendengus mengejek. “Jangan main-main, Dek.”“Lah, Saya ngga main-main, Pak,” ujar Shanum nyolot.“Kamu masih sekolah, kan?” tebak security itu.“Iya. Kenapa memangnya? Ngga boleh di sini? Memangnya ada aturan kalau anak sekolah ngga boleh datang ke sini? Saya itu mau ketemu Pak Fathan ka
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada