Semua Bab SUGAR DADDY TERAKHIRKU: Bab 41 - Bab 50

433 Bab

Aku Tidak Mengira

“Tentu. Saya akan segera berangkat.”Suasana hati Ash yang muram—karena diskusinya dengan Ian yang tidak memuaskan—langsung cerah. Stone baru saja mengatakan kalau ia punya kabar menarik tentang kasus Mae. “Saya bisa mengatakannya lewat telepon, tapi ada hal yang perlu saya perlihatkan.” Stone menyimpan kabarnya sampai mereka bertemu.“OK. Kita bertemu nanti.”Ash menyimpan kembali ponselnya, lalu berjalan ke tengah lapangan, dan meniup peluit. Tangannya terangkat ke atas. Semua tentara yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan, langsung berkumpul di depannya. Berbaris rapi satu lapis, berjumlah hampir seratus orang—minus yang bertugas jaga. Keadaan mereka semua sama—termasuk Ian dan Ella, berkeringat, napas terengah, kumal, dan tentu menderita. Memang itu tujuannya.Ash menyuruh mereka berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali tadi. Mereka sudah melakukan separuhnya paling tidak, sudah cukup lumayan. Lapangan itu lebih besar dari ukuran lapangan sepak bola, lima pulu
Baca selengkapnya

Aku Sebenarnya Tergoda

Ash tidak membacanya dari dokumen Hubert kemarin, karena fokus pada tuntutan. Ia tidak membaca detail bagian itu. “Apa itu? Kenapa…” Ash menjepit mulut Ian dengan tangannya, memintanya diam. “Apa ini berarti Mary akan bebas?” Ash berusaha fokus pada kemajuan. Ash ingin menghapus keterangan itu, dari ingatannya dan dari kenyataan agar tidak ada orang yang tahu. Tetapi sudah terlanjur. Sudah tertulis di banyak dokumen dan sudah banyak orang yang tahu. “Saya sudah mengirim surat otopsi yang asli ini, dan mereka akan menimbang ulang, tapi bukan berarti melenggang bebas. Kemungkinan pembunuhan berencana sudah tidak mungkin, tapi kasus kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal masih sangat bisa.” “Kelalaian bagaimana?” Ian sudah pulih dari tersedak dan heran sekarang. “Bisa jadi korban meminum obat itu atas permintaan tersangka—untuk ‘menghidupkan’ alat….” “Aku paham.” Ash menyela. Tidak perlu mendengar detail lagi. “Dari situ jaksa masih bisa membuat tuntutan. Bukan sengaja,
Baca selengkapnya

Aku Tidak Suka Mengeluh

“Aku akan membuat lebih banyak kalau memang mereka suka.” Mae berdiri akhirnya, tapi tidak lancar. Gerakannya lambat, karena punggungnya sakit. Ia melakukan yoga itu karena alasan yang sama. Anak tiri setan itu tenaganya amat kuat. Benturan pada punggung Mae tadi rupanya cukup kuat. Mae tidak merasakannya saat melarikan diri, tapi setelah sampai dan tenang, Mae menyadari dan berusaha membuatnya menjadi lebih baik dengan melakukan yoga. Melakukan peregangan agar ototnya lemas.“Mae? Apa kau sakit?” Ash tidak lagi berpaling, setelah melihat bagaimana Mae bersusah payah menegakkan tubuh, ia tidak lagi memikirkan hal lain—termasuk bentuk tubuh Mae, dan mendekatinya.“Ada apa?” tanya Ash.“Punggung.” Mae menjelaskan separuh saja lalu duduk di sofa.“Apa punggungmu sakit? Tapi kenapa? Apa karena kue itu? Kau membuat terlalu banyak?”Mae yang sedang berusaha mengelus punggungnya menatap Ash. “Kue?”“Itu… Kau bekerja cukup keras tadi.” Ash hanya melihat bagaimana Mae begitu sigap membuat kue
Baca selengkapnya

Aku Lumayan Terharu

“Mae?” Ash mengembalikan kesadaran Mae—dengan sentuhan di pipi—yang mudah saja terhanyut setiap kali mengingat monster itu. Mari melihat akhrinya. Mata biru Ash yang menatapnya sangat jernih. Tidak terlihat ingin menikmati, tidak terlihat puas.Bersama kerutan keningnya, Mae hanya melihat khawatir. Peduli, ingin tahu apa yang menimpanya. Mae juga sudah lama tidak melihat itu. Mae harus mengingat dan mencari untuk tahu kalau raut wajah itu adalah bentuk khawatir karena lupa. “Apa sangat sakit? Apa aku salah? ” Ash yang tidak juga mendapat jawaban, tentu semakin panik, mengira Mae semakin sakit karena sentuhannya.“Bukan itu.” Mae menggeleng. “Aku bertemu Dex. Dia…”“Dexter? Dia melakukan ini padamu? ” Ash mencengkram lengan Mae, terkejut, dan murka bersamaan. Ia tidak perlu menebak siapa Dex. Ash melihat nama Dexter dari surat panggilan polisi untuk dirinya. Tidak sulit menyimpulkan siapa. “Kau tahu siapa dia?” Mae terkejut juga pastinya. “Aku melihatnya saat pemakaman itu.” Buk
Baca selengkapnya

Aku Sendiri yang Membiayai

“Tapi aku tidak bisa mengangkatnya. Ukurannya cukup besar, tapi tetap lincah. Semua bola yang aku lempar ditangkap olehnya, tepat sekali. Oh, namanya Molly. Aku belum menyebutnya kemarin.” Suara Daisy yang bercerita, terdengar terlalu bersemangat, sampai nafasnya berbunyi. Mengerahkan segala tenaga yang dimilikinya untuk mewakili antusias. Mae bisa membayangkan bagaimana cara Daisy saat mengatakannya. Pasti duduk di atas kursi rodanya, sambil mengangkat tangan untuk memperagakan lemparan bola. Daisy selalu ekspresif saat bercerita. Mae berpindah dari dapur, duduk di kursi makan. Punggungnya sudah lebih lumayan, tapi belum bisa dipakai untuk lama berdiri. Daisy bisa sangat lama saat menelepon, lebih baik ia duduk. “Apa dia sangat menurut?” tanya Mae. Seperti biasa, Daisy menceritakan tentang anjing peliharaan dokter Faraday. Mama Carol mengajaknya berkunjung lagi ke sana pagi tadi. “Ya, Poppy terlihat senang sekali saat aku datang. Aku baru membuka pintu taksi, tapi sudah menggongg
Baca selengkapnya

Semua Itu Untuk Aku?

“Apa kalian menjual peralatan dapur dari emas?” Mae biasa memakai barang dapur di rumah Barnet yang juga mewah, tapi tidak pernah membeli sendiri. Mae tidak tahu harga peralatan dapur sejatinya. “Tentu tidak, tapi suami Anda memilih yang terbaik dan modern. Saya jamin, setelah ini kegiatan dapur Anda menjadi lebih mudah.” Petugas itu sepertinya dibayar untuk mempromosikan produk juga, selain mengirim dan memasang. Gaya bicaranya persis seperti iklan. “Silakan.” Mae mundur dan membuka pintu selebar mungkin. Memberi ruang saat kardus pertama diangkut masuk. Sore Mae yang tadinya sunyi berubah hiruk pikuk. Ada sekitar lima orang pria yang datang, dan mereka semua masuk ke dapur yang tidak seberapa besar itu, lalu mulai bekerja. Yang pertama, membongkar kompor kuno yang ada di sana. Menggantinya dengan kompor api tiga tungku juga menambahkan induksi satu tungku. Keduanya menempel pada oven yang canggih, Mengkilap dan modern memang. Tapi melihat keduanya, Mae langsung tahu kalau Ash pa
Baca selengkapnya

Aku yang Membalas

“Jangan! Aku mohon! Aku akan memberikan semuanya!” Dex memohon sambil mengulurkan dompetnya. Tangannya gemetar, menatap orang yang mengancamnya dengan tangan terkepal. Tangan yang tentu saja sudah melayangkan paling tidak tiga pukulan. Wajah Dex tidak lagi dominan pucat putih, tapi ungu dan biru. Ada yang merah juga malah, karena darah. Sudut bibirnya yang baru beberapa saat sembuh, kini kembali robek. Pria yang memakai masker balaclava (masker yang hanya terlihat mata) berwarna hijau, dan kacamata hitam itu, menerima, menarik semua uang Dex yang tersisa di sana, lalu mendengus. “Kau bahkan lebih miskin dariku! Bisa kemana kau dengan lima puluh pound? Hanya lima kali mengumpat saja sudah habis,” ejeknya. “Huh?” Dex yang tadi berlutut sambil menunduk dan memohon, mendongak kebingungan. “Tapi lumayan. Uang ini lebih berguna untukku daripada di tangan anjing lapuk sepertimu.” Pria itu membuang dompet Dex ke bak sampah terbuka yang ada di sampingnya. “Jangan!” Dex berusaha menang
Baca selengkapnya

Aku Membuatnya Karena Ingin

Menyetir ke Reading sayangnya menghabiskan waktu lama. Ash bisa sampai dengan selamat, tapi hampir tengah malam. Dex sedikit sulit ditemukan, jadi Ash banyak membuang waktu di sana tadi.Saat masuk, Ash menemukan Mae yang sudah tertidur, lagi-lagi di sofa. Tapi dari pakaiannya, Ash tahu niat Mae tidak lagi untuk menggoda. Bukan lagi lingerie, tapi legging dan kaus normal. Perbedaan lain, Ash menemukan buku resep, dan juga aneka pamflet produk di sekitar sofa.Buku itu tua, kemungkinan berasal dari salah satu rak yang ada di ruang tengah—milik neneknya. Sedang pamflet itu adalah bawaan produk baru yang terpasang di dapur. Mae membacanya untuk belajar.Ash memungut semua yang tercecer dan masih bisa tersenyum, meski tidak benar-benar melihat senyum Mae seperti yang dibayangkannya, Ash masih tetap bisa gembira.Respon Mae masih mencerminkan penerimaan, dan kegembiraan. Semangat yang tidak bisa ditutupi. Ash tadinya membeli semua itu karena ingin meringankan pekerjaan Mae yang terlihat a
Baca selengkapnya

Aku Tidak Ingin Membahas Itu

“Di mana dia?” tanya Hubert, sambil menjengukkan kepala, memandang apa yang ada dibalik punggung Mae. Seolah ada sesuatu yang bisa disembunyikan di sana, padahal sudah jelas tidak ada siapapun.“Dia siapa?” Mae yang sejak tadi cemas, dengan jengkel ikut berpaling memandang ke belakang.Ruangan itu hanya berisi dirinya dan Hubert. Mereka menempati salah satu ruangan yang ada di gedung pengadilan, yang memang khusus disiapkan untuk tersangka sebelum menghadap ke hakim.“Pria pirang itu.” Hubert mendesah dengan lebih lega, lalu duduk menghempaskan tubuhnya yang gempal itu, sampai membuat bantalan kursi berwarna merah ambles.“Maksudmu Ash? Dia tidak ikut.” Mae menggeleng.Ash tidak mungkin ikut karena Mae memang tidak memberitahu tentang surat panggilan itu. Ash juga tadi sudah berangkat.Mae tidak merasa perlu memberi tahu juga. Ash sudah cukup direpotkan dengan membayar jaminan itu, tidak perlu ditambah lainnya. Pria itu hampir mati, Mae tidak ingin membebani pikirannya. Uang tidak te
Baca selengkapnya

Aku Tidak Mau Menerimanya

“Ini lezat sekali.” “Thank you, Sir.” Ash mengangguk sopan, dan sejenak bersikap sempurna sebelum membuka kakinya lagi—sikap istirahat. Yang saat ini duduk di hadapannya—memakai meja dan kursinya, adalah Letnan Kolonel Parker, orang yang membawahi lima kompi—termasuk kompi yang Ash pimpin saat ini. Karena itu Ash merelakan kursinya, juga kue dari Mae. Ia belum sempat mencicipi saat Parker datang dan memutuskan untuk mencoba dan menyukainya. Ash langsung merasa mendapat karma dari Ian, saat memandang potongan brownies terakhir itu menghilang dalam kunyahan mulut Parker. Gilirannya untuk tidak mendapat kue Mae. Ash bahkan tidak bisa mengeluh, pandangannya tetap datar meski dalam hati ingin sekali berguling dan menunjuk ke wajah Parker. Mengeluh kenapa tidak ada sisa yang ditinggalkannya. Potongan miliknya itu yang terakhir, sisanya sudah dibagi. Ash tahu tidak mungkin ada sisa. Ian saja tadi mengambil dua sekaligus, yang lain tidak mungkin berebut dengan sopan. “Jawab dulu. Ba
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
44
DMCA.com Protection Status