“Tapi aku tidak bisa mengangkatnya. Ukurannya cukup besar, tapi tetap lincah. Semua bola yang aku lempar ditangkap olehnya, tepat sekali. Oh, namanya Molly. Aku belum menyebutnya kemarin.” Suara Daisy yang bercerita, terdengar terlalu bersemangat, sampai nafasnya berbunyi. Mengerahkan segala tenaga yang dimilikinya untuk mewakili antusias. Mae bisa membayangkan bagaimana cara Daisy saat mengatakannya. Pasti duduk di atas kursi rodanya, sambil mengangkat tangan untuk memperagakan lemparan bola. Daisy selalu ekspresif saat bercerita. Mae berpindah dari dapur, duduk di kursi makan. Punggungnya sudah lebih lumayan, tapi belum bisa dipakai untuk lama berdiri. Daisy bisa sangat lama saat menelepon, lebih baik ia duduk. “Apa dia sangat menurut?” tanya Mae. Seperti biasa, Daisy menceritakan tentang anjing peliharaan dokter Faraday. Mama Carol mengajaknya berkunjung lagi ke sana pagi tadi. “Ya, Poppy terlihat senang sekali saat aku datang. Aku baru membuka pintu taksi, tapi sudah menggongg
“Apa kalian menjual peralatan dapur dari emas?” Mae biasa memakai barang dapur di rumah Barnet yang juga mewah, tapi tidak pernah membeli sendiri. Mae tidak tahu harga peralatan dapur sejatinya. “Tentu tidak, tapi suami Anda memilih yang terbaik dan modern. Saya jamin, setelah ini kegiatan dapur Anda menjadi lebih mudah.” Petugas itu sepertinya dibayar untuk mempromosikan produk juga, selain mengirim dan memasang. Gaya bicaranya persis seperti iklan. “Silakan.” Mae mundur dan membuka pintu selebar mungkin. Memberi ruang saat kardus pertama diangkut masuk. Sore Mae yang tadinya sunyi berubah hiruk pikuk. Ada sekitar lima orang pria yang datang, dan mereka semua masuk ke dapur yang tidak seberapa besar itu, lalu mulai bekerja. Yang pertama, membongkar kompor kuno yang ada di sana. Menggantinya dengan kompor api tiga tungku juga menambahkan induksi satu tungku. Keduanya menempel pada oven yang canggih, Mengkilap dan modern memang. Tapi melihat keduanya, Mae langsung tahu kalau Ash pa
“Jangan! Aku mohon! Aku akan memberikan semuanya!” Dex memohon sambil mengulurkan dompetnya. Tangannya gemetar, menatap orang yang mengancamnya dengan tangan terkepal. Tangan yang tentu saja sudah melayangkan paling tidak tiga pukulan. Wajah Dex tidak lagi dominan pucat putih, tapi ungu dan biru. Ada yang merah juga malah, karena darah. Sudut bibirnya yang baru beberapa saat sembuh, kini kembali robek. Pria yang memakai masker balaclava (masker yang hanya terlihat mata) berwarna hijau, dan kacamata hitam itu, menerima, menarik semua uang Dex yang tersisa di sana, lalu mendengus. “Kau bahkan lebih miskin dariku! Bisa kemana kau dengan lima puluh pound? Hanya lima kali mengumpat saja sudah habis,” ejeknya. “Huh?” Dex yang tadi berlutut sambil menunduk dan memohon, mendongak kebingungan. “Tapi lumayan. Uang ini lebih berguna untukku daripada di tangan anjing lapuk sepertimu.” Pria itu membuang dompet Dex ke bak sampah terbuka yang ada di sampingnya. “Jangan!” Dex berusaha menang
Menyetir ke Reading sayangnya menghabiskan waktu lama. Ash bisa sampai dengan selamat, tapi hampir tengah malam. Dex sedikit sulit ditemukan, jadi Ash banyak membuang waktu di sana tadi.Saat masuk, Ash menemukan Mae yang sudah tertidur, lagi-lagi di sofa. Tapi dari pakaiannya, Ash tahu niat Mae tidak lagi untuk menggoda. Bukan lagi lingerie, tapi legging dan kaus normal. Perbedaan lain, Ash menemukan buku resep, dan juga aneka pamflet produk di sekitar sofa.Buku itu tua, kemungkinan berasal dari salah satu rak yang ada di ruang tengah—milik neneknya. Sedang pamflet itu adalah bawaan produk baru yang terpasang di dapur. Mae membacanya untuk belajar.Ash memungut semua yang tercecer dan masih bisa tersenyum, meski tidak benar-benar melihat senyum Mae seperti yang dibayangkannya, Ash masih tetap bisa gembira.Respon Mae masih mencerminkan penerimaan, dan kegembiraan. Semangat yang tidak bisa ditutupi. Ash tadinya membeli semua itu karena ingin meringankan pekerjaan Mae yang terlihat a
“Di mana dia?” tanya Hubert, sambil menjengukkan kepala, memandang apa yang ada dibalik punggung Mae. Seolah ada sesuatu yang bisa disembunyikan di sana, padahal sudah jelas tidak ada siapapun.“Dia siapa?” Mae yang sejak tadi cemas, dengan jengkel ikut berpaling memandang ke belakang.Ruangan itu hanya berisi dirinya dan Hubert. Mereka menempati salah satu ruangan yang ada di gedung pengadilan, yang memang khusus disiapkan untuk tersangka sebelum menghadap ke hakim.“Pria pirang itu.” Hubert mendesah dengan lebih lega, lalu duduk menghempaskan tubuhnya yang gempal itu, sampai membuat bantalan kursi berwarna merah ambles.“Maksudmu Ash? Dia tidak ikut.” Mae menggeleng.Ash tidak mungkin ikut karena Mae memang tidak memberitahu tentang surat panggilan itu. Ash juga tadi sudah berangkat.Mae tidak merasa perlu memberi tahu juga. Ash sudah cukup direpotkan dengan membayar jaminan itu, tidak perlu ditambah lainnya. Pria itu hampir mati, Mae tidak ingin membebani pikirannya. Uang tidak te
“Ini lezat sekali.” “Thank you, Sir.” Ash mengangguk sopan, dan sejenak bersikap sempurna sebelum membuka kakinya lagi—sikap istirahat. Yang saat ini duduk di hadapannya—memakai meja dan kursinya, adalah Letnan Kolonel Parker, orang yang membawahi lima kompi—termasuk kompi yang Ash pimpin saat ini. Karena itu Ash merelakan kursinya, juga kue dari Mae. Ia belum sempat mencicipi saat Parker datang dan memutuskan untuk mencoba dan menyukainya. Ash langsung merasa mendapat karma dari Ian, saat memandang potongan brownies terakhir itu menghilang dalam kunyahan mulut Parker. Gilirannya untuk tidak mendapat kue Mae. Ash bahkan tidak bisa mengeluh, pandangannya tetap datar meski dalam hati ingin sekali berguling dan menunjuk ke wajah Parker. Mengeluh kenapa tidak ada sisa yang ditinggalkannya. Potongan miliknya itu yang terakhir, sisanya sudah dibagi. Ash tahu tidak mungkin ada sisa. Ian saja tadi mengambil dua sekaligus, yang lain tidak mungkin berebut dengan sopan. “Jawab dulu. Ba
Mae sudah tahu harinya akan menyebalkan—sudah bersiap, tapi ia tidak bersiap untuk menunggu. Mae tidak tahu kalau ada bagian menunggu yang sangat lama.Setelah tiga jam ada dalam ruangan itu bersama Hubert menunggu giliran hakim memanggil, sekarang di dalam ruang sidang pun, Mae masih harus menunggu hakim membaca dokumen perkara miliknya.Mae mungkin tidak akan mengeluh, seandainya kursinya yang Evelyn tidak berdekatan. Mae bisa mendengar decak lidahnya setiap beberapa menit sekali sekarang. Seperti metronome yang mengingatkan ketukan.Tapi nasib baik masih sedikit ada. Mae lega Evelyn sendiri, anak tiri setan satunya tidak datang—entah kenapa. Mae tidak perlu melihat wajah mesum menjijikkan yang lain—kecuali Hubert.Tapi ada kekurangan juga, karena Mae membawa teman. Beberapa wanita yang pernah dilihat Mae di rumah Barnes atau pemakaman. Mereka kini menjadi penonton sidang, tak lupa sambil berkicau dalam bisikan. Topik kicauan mereka tentu saja Mae. Tidak perlu mendengar, Mae tahu m
“Jangan bicara sebelum aku izinkan! Peringatan untukmu, Mrs. Cooper!”Bentakan galak dari hakim membuat Mae beralih dari Ash. Yang lain yang tadinya juga tertarik melihat siapa yang datang, kembali berpaling pada Mae. Tidak lagi menganggap penting kedatangan Ash.Bahkan Evelyn belum sempat memandang, ia kembali memandang Mae untuk melontarkan senyum ejekan. Puas Mae mendapat teguran.“Maaf, Yang Mulia.” Mae mengangguk dan kembali menunduk. Sekilas ia melirik Hubert yang tampak menggeleng perlahan, menyuruhnya diam saja selama sidang. Tapi memang Mae tidak ingin bicara lagi, sibuk mengira-ngira Ash mengetahui sidang itu dari mana.Mae bahkan membawa surat panggilan itu, Ash seharusnya tidak tahu kalaupun seandainya ia pulang kembali ke rumah untuk sesuatu.Mae beberapa saat tidak fokus, mendongak menatap Ash, tidak mendengarkan pertanyaan hakim untuk Evelyn.Mata mereka bersiborok, dan warna biru itu khawatir, Mae melihatnya lagi. Raut wajah dan mata Ash sama seperti kemarin saat menya