“Jangan bicara sebelum aku izinkan! Peringatan untukmu, Mrs. Cooper!”Bentakan galak dari hakim membuat Mae beralih dari Ash. Yang lain yang tadinya juga tertarik melihat siapa yang datang, kembali berpaling pada Mae. Tidak lagi menganggap penting kedatangan Ash.Bahkan Evelyn belum sempat memandang, ia kembali memandang Mae untuk melontarkan senyum ejekan. Puas Mae mendapat teguran.“Maaf, Yang Mulia.” Mae mengangguk dan kembali menunduk. Sekilas ia melirik Hubert yang tampak menggeleng perlahan, menyuruhnya diam saja selama sidang. Tapi memang Mae tidak ingin bicara lagi, sibuk mengira-ngira Ash mengetahui sidang itu dari mana.Mae bahkan membawa surat panggilan itu, Ash seharusnya tidak tahu kalaupun seandainya ia pulang kembali ke rumah untuk sesuatu.Mae beberapa saat tidak fokus, mendongak menatap Ash, tidak mendengarkan pertanyaan hakim untuk Evelyn.Mata mereka bersiborok, dan warna biru itu khawatir, Mae melihatnya lagi. Raut wajah dan mata Ash sama seperti kemarin saat menya
Seperti yang lain, Ash berhenti bergerak—menahan napas saat Hubert menyebut keadaan Mae itu. Rombongan ribut yang tadi ada di depannya juga mendadak diam, bahkan decak dan rintihan Evelyn terhenti.Ash perlahan meremas lututnya. Menahan diri agar tidak terlalu terlihat terpukul.Fakta itu mengejutkan, tapi pada saat yang bersamaan, tidak mencengangkan. Hanya melengkapi aneka pertanyaan yang sudah ada dalam benak Ash. Mengkonfirmasi apa yang kemarin tersentuh olehnya. Mae bukan tidak terpengaruh oleh segala ciumannya, hanya tidak bisa.Ash mengusap wajahnya setelah itu, mengucap syukur dalam hati, karena masih waras saat menyadari keanehan Mae. Kalau benar saat itu ia mengikuti nafsu—atau setelahnya menyerah pada godaan Mae, maka berarti dirinya menyakiti Mae. Meski itu yang diinginkan Mae, tapi tetap akan menyakitinya. Kali ini akal sehatnya menuntun ke jalan yang benar dan lurus.Ruangan itu sedikit terpecah oleh suara kertas yang dibalik, hanya Hakim itu yang tidak kehilangan fokus
Reaksi paling keras tentu dari Evelyn.“Tidak bisa! Semua sudah jelas! Aku tidak terima jalang itu mengambil uang ayahku! Dia tidak berhak…”Suara palu kembali menghentikan protes Evelyn. “Diam! Kau masih ada di ruang sidang, dan hormati lembaga ini!” Hakim itu menunjuk Evelyn dengan palunya.“Kalau kau bisa menangis sebagus itu, seharusnya kau bisa membuat kebohonganmu lebih sempurna!” Hakim itu mencela kebohongan Evelyn akhirnya.“Soal warisan itu, kalau kau masih bermasalah, maka ajukan gugatan perdata, jangan membuang waktuku yang sudah sempit ini!” Hakim itu memberi nasehat tambahan untuk Evelyn saat berdiri untuk meninggalkan ruangan.Evelyn tampak mengepalkan tangan. Kalau bisa, mungkin dia akan berteriak, kalau nasehat itu tidak berguna. Evelyn bukan belum memikirkan gugatan perdata, tapi cara itu tidak mungkin. Warisan ayahnya dan surat-suratnya legal dan sah secara hukum, tidak ada celah untuk digugat, karenanya ia mengambil cara pidana yang ternyata juga gagal.“Selamat,
Ash yang fokus menuruni undakan, berpaling menatap Mae. “Ada apa?” Ia tidak bisa mengikuti jalannya pikiran Mae, tentu bingung mendengar pertanyaannya. “Ini mungkin terdengar membosankan, tapi kenapa kau melakukan hal sejauh ini untukku?” Mae tahu ia mengulang pertanyaan, tapi masih merasa perlu menanyakannya, karena sudah terlalu tidak masuk akal. “Aku ingin menolong…” “Ok, kau baik. Tapi apa harus sejauh ini? Kau memberiku rumah, menghabiskan paling tidak dua ratus ribu pound untukku, padahal kita menikah belum sampai sebulan, sementara aku tidak memberikan apapun padamu. Apa kau melihat ketimpangannya? Kau memberi banyak hal—aku tidak ada!” Ash sudah kembali berjalan, bukan hanya untuk mencari tempat bicara yang lebih tertutup, tapi untuk berpikir. Sayangnya tidak ada apapun di tepi jalan besar itu–kecuali gedung, Ash hanya bisa terus berjalan menyusuri trotoar batu hitam. “Ash? Apa kau mendengarku?” Mae tentu dengan terpaksa mengikuti. “Aku mendengar. Dari semua hal, aku pa
“Itu apa?” Mae bertanya dengan suara tertekan, karena memang saluran napasnya tertekan oleh ingus. Mae sudah mencoba mengeluarkan semua, tapi hanya menghasilkan hidung merah dan kepala sakit sejauh ini. Meski sudah menghabiskan banyak tisu di meja. Mereka duduk di salah satu kedai makanan cepat saji, tidak jauh dari gedung pengadilan. Ash yang mengusulkan setelah Mae lebih tenang. Terlalu jauh untuk langsung pulang dalam keadaan lapar. “Ini?” Ash melepaskan benda yang tadi ditunjuk Mae dan menyerahkannya. Kalung metal dengan dua bandul plat bundar, yang melingkar di lehernya. Mae baru melihat karena Ash melepaskan bagian luar seragamnya—basah karena air mata Mae—menyisakan kaos hijau, dan kalung itu. “Cooper, Ashton. Mayor.” Mae membaca bagian atas tulisan yang ada di bandul itu. Ada tulisan lain, tapi Mae tidak terlalu paham artinya. Ada angka dan huruf. “Itu Dog tag.” (Tanda nama anjing) “Anjing siapa?” Mae kaget. “Bukan hinaan, itu hanya sebutannya. Nama resminya identity
PRANG!Evelyn melempar piring yang ada di meja makan, juga semua kelengkapannya yang sejak tadi sudah tertata rapi. Makan malam belum dihidangkan pelayan, jadi piring itu masih kosong. Setidaknya yang ada di lantai kini hanya pecahan piring dan gelas, tidak lengket bercampur makanan.“Apa kau gila?!” Dex muncul dan menegur. Ia mendekat sambil berjalan pincang dari kamar tempatnya berbaring sejak tadi. Keadaannya belum normal, pangkal pahanya masih sakit karena injakan ‘perampok’ kemarin.“JALANG ITU SIALAN!” pekik Evelyn. Ia baru saja kembali dari gedung pengadilan. Penghiburan yang tadi disampaikan teman-temannya tidak terlalu berguna, Evelyn tetap saja marah luar biasa.“Ada apa… Jangan katakan kita kalah!” Dex terkesiap, mulai bisa menebak apa yang membuat kakaknya menjadi semurka itu.“YA! Jalang itu menang. Brengsek sekali!” Evelyn mengeluarkan semua makian yang sejak tadi tertahan di lehernya. Ia menahan diri agar tidak memaki banyak-banyak di depan teman-temannya, terutama kare
[Maaf aku harus berangkat pagi dan mungkin pulang sangat larut Atau mungkin tidak pulang. Aku sudah memesan tempat untuk makan malam kita besok] Mae setengah menguap saat membuka kulkas untuk mengambil minuman, lalu tanpa sengaja membaca lagi pesan dari Ash—menempel pada pintu kulkas. Mae menemukannya tadi pagi saat membuat sarapan, dan menurutnya itu kemajuan yang mengejutkan. Ash biasanya tidak menitipkan pesan apapun saat pulang terlambat maupun berangkat lebih pagi. Bukannya Mae merasa perlu sebelumnya, tapi pesan itu membuat Mae merasa lebih dihargai. Bukannya Ash belum cukup menghargai Mae sebelumnya, tapi Mae merasa lebih dianggap lagi. Mae bisa melihat perhatian Ash sekarang. Tapi rasa menyenangkan itu tidak bertahan sampai sekarang, karena pesan itu sudah berumur dua hari. Saat ini adalah sabtu. Besok yang disebut dalam surat Ash, adalah hari ini. Hari janji di mana mereka ada akan makan malam bersama. Mae tahu Ash belum pulang—tanpa perlu memeriksa kamar, karena makanan
“Hmm… aku harus membicarakannya dulu.” Mae ragu.“Aku tahu, karena itu aku bicara dulu padamu.” Mama Carol menggenggam tangan Mae sambil tersenyum lembut. Permintaan Mama Carol sederhana, tapi bisa jadi sulit. “Hanya sekitar empat hari?” tanya Mae.“Benar. Katanya sudah cukup untuk mengurangi rasa sakit di punggungku.” Mama Carol mengeluh sambil menggeliat dengan hati-hati, lalu meringis kesakitan.Permintaannya sebenarnya mudah. Mama Carol meminta Mae menjaga Daisy selama empat hari penuh, karena ia akan pergi ke dokter untuk merawat punggungnya yang sakit. Masalah yang ada disana adalah saraf. Mae tidak begitu paham diagnosanya, tapi masih ingat bagaimana Mama Carol jatuh. Sepele, hanya karena terpeleset. Terlihat tidak terluka, tapi makin lama punggungnya semakin menjadi sakit. Mae tentu juga sudah berusaha meminta Mama Carol ke dokter—dan dijalankan, tapi katanya harus menjalani operasi dan lainnya, itu pun belum tentu sembuh, karena sudah terlanjur terlambat untuk ditangani.
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga