“Itu apa?” Mae bertanya dengan suara tertekan, karena memang saluran napasnya tertekan oleh ingus. Mae sudah mencoba mengeluarkan semua, tapi hanya menghasilkan hidung merah dan kepala sakit sejauh ini. Meski sudah menghabiskan banyak tisu di meja. Mereka duduk di salah satu kedai makanan cepat saji, tidak jauh dari gedung pengadilan. Ash yang mengusulkan setelah Mae lebih tenang. Terlalu jauh untuk langsung pulang dalam keadaan lapar. “Ini?” Ash melepaskan benda yang tadi ditunjuk Mae dan menyerahkannya. Kalung metal dengan dua bandul plat bundar, yang melingkar di lehernya. Mae baru melihat karena Ash melepaskan bagian luar seragamnya—basah karena air mata Mae—menyisakan kaos hijau, dan kalung itu. “Cooper, Ashton. Mayor.” Mae membaca bagian atas tulisan yang ada di bandul itu. Ada tulisan lain, tapi Mae tidak terlalu paham artinya. Ada angka dan huruf. “Itu Dog tag.” (Tanda nama anjing) “Anjing siapa?” Mae kaget. “Bukan hinaan, itu hanya sebutannya. Nama resminya identity
PRANG!Evelyn melempar piring yang ada di meja makan, juga semua kelengkapannya yang sejak tadi sudah tertata rapi. Makan malam belum dihidangkan pelayan, jadi piring itu masih kosong. Setidaknya yang ada di lantai kini hanya pecahan piring dan gelas, tidak lengket bercampur makanan.“Apa kau gila?!” Dex muncul dan menegur. Ia mendekat sambil berjalan pincang dari kamar tempatnya berbaring sejak tadi. Keadaannya belum normal, pangkal pahanya masih sakit karena injakan ‘perampok’ kemarin.“JALANG ITU SIALAN!” pekik Evelyn. Ia baru saja kembali dari gedung pengadilan. Penghiburan yang tadi disampaikan teman-temannya tidak terlalu berguna, Evelyn tetap saja marah luar biasa.“Ada apa… Jangan katakan kita kalah!” Dex terkesiap, mulai bisa menebak apa yang membuat kakaknya menjadi semurka itu.“YA! Jalang itu menang. Brengsek sekali!” Evelyn mengeluarkan semua makian yang sejak tadi tertahan di lehernya. Ia menahan diri agar tidak memaki banyak-banyak di depan teman-temannya, terutama kare
[Maaf aku harus berangkat pagi dan mungkin pulang sangat larut Atau mungkin tidak pulang. Aku sudah memesan tempat untuk makan malam kita besok] Mae setengah menguap saat membuka kulkas untuk mengambil minuman, lalu tanpa sengaja membaca lagi pesan dari Ash—menempel pada pintu kulkas. Mae menemukannya tadi pagi saat membuat sarapan, dan menurutnya itu kemajuan yang mengejutkan. Ash biasanya tidak menitipkan pesan apapun saat pulang terlambat maupun berangkat lebih pagi. Bukannya Mae merasa perlu sebelumnya, tapi pesan itu membuat Mae merasa lebih dihargai. Bukannya Ash belum cukup menghargai Mae sebelumnya, tapi Mae merasa lebih dianggap lagi. Mae bisa melihat perhatian Ash sekarang. Tapi rasa menyenangkan itu tidak bertahan sampai sekarang, karena pesan itu sudah berumur dua hari. Saat ini adalah sabtu. Besok yang disebut dalam surat Ash, adalah hari ini. Hari janji di mana mereka ada akan makan malam bersama. Mae tahu Ash belum pulang—tanpa perlu memeriksa kamar, karena makanan
“Hmm… aku harus membicarakannya dulu.” Mae ragu.“Aku tahu, karena itu aku bicara dulu padamu.” Mama Carol menggenggam tangan Mae sambil tersenyum lembut. Permintaan Mama Carol sederhana, tapi bisa jadi sulit. “Hanya sekitar empat hari?” tanya Mae.“Benar. Katanya sudah cukup untuk mengurangi rasa sakit di punggungku.” Mama Carol mengeluh sambil menggeliat dengan hati-hati, lalu meringis kesakitan.Permintaannya sebenarnya mudah. Mama Carol meminta Mae menjaga Daisy selama empat hari penuh, karena ia akan pergi ke dokter untuk merawat punggungnya yang sakit. Masalah yang ada disana adalah saraf. Mae tidak begitu paham diagnosanya, tapi masih ingat bagaimana Mama Carol jatuh. Sepele, hanya karena terpeleset. Terlihat tidak terluka, tapi makin lama punggungnya semakin menjadi sakit. Mae tentu juga sudah berusaha meminta Mama Carol ke dokter—dan dijalankan, tapi katanya harus menjalani operasi dan lainnya, itu pun belum tentu sembuh, karena sudah terlanjur terlambat untuk ditangani.
“Brownies…” “Huh?” Mae yang hanya harus menekan angka 1—angka terakhir panggilan darurat, tersentak kaget. Ia baru saja mendengar Ash bicara. “Ash?” Mae membatalkan niatnya memanggil ambulans, dan menepuk punggung Ash lagi. Kalau bisa ditanya, Mae akan bertanya tentang keadaannya—dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. “Ash?” Perlahan, Mae membalik tubuhnya. “Kau itu kenapa?!” Setelah bersusah payah, Mae akhirnya melihat keadaan Ash dengan lebih baik, tapi malah semakin heran. Tubuh Ash sangat kotor, pakaiannya penuh lumpur, juga wajah sampai rambut. Ia lebih buruk dari gelandangan yang tidak mengenal mandi dua bulan—lumpur di wajahnya mulai berkerak, dan aromanya kurang lebih sama juga. Masam karena keringat, padahal biasanya cukup wangi. “Ash?” Mae menepuk pelan pipinya. “Brownies…” Mae sampai mendekatkan telinga ke bibir Ash, merasa salah mendengar. Tidak mungkin Ash membicarakan kue. “Apa? Katakan lagi,” pinta Mae, memasang telinga. “Brownies… mau lagi.” Mae
Ash mengusap wajah dan menghela napas. Otaknya belum pulih dari rasa letih, kerjanya masih lambat, padahal hal itu perlu dipikirkan dengan kepala jernih. Ia tidak boleh membuat kesalahan.“Jangan diusap seperti itu. Kau akan mengotori karpet. Sebentar.” Mae menghentikan tangan Ash, lalu bangkit meninggalkannya.Mae tadi dengan hati-hati mengumpulkan remahan lumpur kering pada handuk kecil yang disiapkannya, percuma kalau Ash malah sembarangan menghamburkan ke segala arah sekarang.Namun, memang Ash tidak berminat bergerak lagi begitu Mae menyentuhnya. Ia menatap Mae yang bergerak mondar-mandir antara kamar dan dapur.“Ini.” Mae kembali, dan mengulurkan handuk basah. Bukan hanya basah, tapi hangat. Ash menatap handuk di tangannya, kembali bingung oleh segala perhatian itu. Tidak mengira Mae bisa memberi perhatian sampai detail kenyamanan dengan membasahi handuk dengan air hangat.“Bukan untuk dipandang saja, Ash. Kau itu kenapa?” Mae mendecak, dan mengambil lagi handuk itu, dengan tid
Ash awalnya tidak mengindahkan, tapi tangan itu bergerak memaksa Ash menerima, tidak peduli pada perbedaan ukuran tubuh.Ash akhirnya menerima, tapi tetap memakai tangannya sendiri untuk duduk. Penerimaan itu hanya formalitas agar tidak membuat kecewa.Akhirnya Ash bisa melihat wajah ‘penolongnya’, polos, dengan mata berbinar, tersenyum, memamerkan giginya yang tidak lengkap. Rambutnya berantakan, dan jelas baru saja bermain seharian di bawah matahari.“Aku Mary.” Gadis itu tersenyum lagi dengan cerah.“Kau siapa?” tanyanya.“Ashton Payne.” Ash tidak biasanya berminat berkenalan dengan siapapun penghuni lain rumah adopsi, tapi senyum itu terlalu murni untuk ditolak.“Apa sakit? Ini, agar kau tidak sakit.” Tangan Mary yang tadi menolongnya, terulur lagi dengan lollipop berwarna pink di tangannya.“Ini simpananku, tapi untukmu saja.” Penawaran manis, tapi Ash menolak dengan gelengan. Ash tidak merasa perlu permen tentu.Lagi, tangan itu memaksa, terus terulur dan menggoyangkan permen it
“Ini.” Mae mengulurkan piring, saat Ash masuk ke dapur. Rambutnya masih basah. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan akan mengambil minum.“Apa?” Ash bingung.“Di situ.” Mae menunjuk meja makan.Belum menjelaskan apapun, tapi Ash sudah melangkah dan duduk dengan patuh, menunggu saat Mae kembali mondar-mandir di dapur.“Aku mencoba resep baru untuk sausnya, tapi seharusnya lezat.” Mae meletakkan piring lain di hadapan Ash, berisi kentang tumbuk, asparagus rebus bertabur merica hitam, dan salmon disiram saus berwarna putih.“Ini untuk apa?” Ash mengangkat piring kosong yang masih di tangannya. Ia mengira Mae akan mengisinya dengan makanan.“Oh, itu untuk…” Mae kembali bangkit, dan membawa piring lain, lebih besar, berisi… brownies bertabur almond yang identik dengan apa yang dibawa Ash kemarin.Mae memindahkan sepotong ke atas piring kosong itu, dan mengembalikannya di hadapan Ash.“Kau menginginkannya bukan?” tanya Mae, ingin memastikan mimpi Ash benar, meski sudah hampir seratus pe