“Ini.” Mae mengulurkan piring, saat Ash masuk ke dapur. Rambutnya masih basah. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan akan mengambil minum.“Apa?” Ash bingung.“Di situ.” Mae menunjuk meja makan.Belum menjelaskan apapun, tapi Ash sudah melangkah dan duduk dengan patuh, menunggu saat Mae kembali mondar-mandir di dapur.“Aku mencoba resep baru untuk sausnya, tapi seharusnya lezat.” Mae meletakkan piring lain di hadapan Ash, berisi kentang tumbuk, asparagus rebus bertabur merica hitam, dan salmon disiram saus berwarna putih.“Ini untuk apa?” Ash mengangkat piring kosong yang masih di tangannya. Ia mengira Mae akan mengisinya dengan makanan.“Oh, itu untuk…” Mae kembali bangkit, dan membawa piring lain, lebih besar, berisi… brownies bertabur almond yang identik dengan apa yang dibawa Ash kemarin.Mae memindahkan sepotong ke atas piring kosong itu, dan mengembalikannya di hadapan Ash.“Kau menginginkannya bukan?” tanya Mae, ingin memastikan mimpi Ash benar, meski sudah hampir seratus pe
“Aku tidak memaksa. Hanya usul.” Ash langsung menegakkan punggung. Rasanya bahkan lebih buruk, dibanding saat kemarin ia membuat kesalahan pada Parker. “Usul yang buruk!” sergah Mae. Ia tidak pernah ingin membahas penyakitnya dengan Ash yang pasti. “Tapi kau memang sakit. Kau tidak ingin sembuh?” Ash bukan ingin menantang, tapi Mae terkesan tidak ingin membuat keadaannya menjadi lebih baik. “Memang kalau sembuh kenapa? Kau ingin apa? Agar kau bisa tidur denganku segera setelahnya?” Mata Mae menyipit sampai hampir menyerupai garis, curiga amat sangat. Ash mendesah. Ia telah membangunkan Mae dengan pertanyaan itu. Hilang sudah Mary, hanya tinggal Mae sekarang. “Kau tahu itu tidak benar, Mae. Bukan itu tujuanku.” Mencintai atau tidak, Ash tidak berpikir ke arah sana saat menginginkan kesembuhan Mae. Jangankan tidur bersama, Ash bahkan belum tahu bagaimana caranya untuk bicara tanpa membawa kekacauan untuk Mae saat ini. Tentang kesalahannya, tentang penyakitnya, dan banyak lagi. Ash
“Apa kau kerasukan setan neraka, atau melampiaskan kejengkelan? Tolong katakan kalau ini bukan akibat mood-mu yang buruk!” Ian mengeluh, memaki, dan menegur Ash dalam satu kalimat bisikan. Bisikan yang sulit juga, karena harus dilakukan sambil berlari. Bukan hanya Ian yang berlari tentu. Ash mempraktikkan latihan berstandar siksa neraka itu pada seluruh anggota kompi yang dipimpinnya. Ash sedikit menurunkan levelnya tapi, tentu tidak ingin anak buahnya banyak yang mati. Satu-satunya hal yang membuat mereka tidak bisa mengeluh berjamaah—kecuali Ian—atas kesulitan itu adalah kenyataan kalau Ash mengikuti semua langkah latihan itu. Ash ikut berlari, melompat, merangkak dan lainnya. Ikut berkeringat dan berlumpur lagi. Tidak mungkin ada yang berani mempertanyakan. Kalau Ash saja bisa melakukannya, maka mereka juga harus bisa. “Ash? Katakan padaku!” Ian menuntut lagi dalam bisikan, setelah berhasil menyusul Ash melompati halang rintang. Lompatan itu yang terakhir. Yang lain memilih be
“Mae?” Daisy menarik tangan Mae, setelah tidak mendapat tanggapan padahal sudah bicara cukup panjang.“Oh? Bagaimana?” Mae mengedip kebingungan, memang sejak tadi ia melamun. Tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Daisy.“Ada apa denganmu? Aku tadi menunjukkan ini, tapi kau tidak peduli.”Daisy mengulurkan ponsel Mae yang ada di tangannya, memperlihatkan gambar kue yang diinginkannya—croissant berbentuk kerang dengan taburan gula halus. Mae tadi memang menawarkan pada Daisy untuk meminta kue yang manapun, tapi malah tiba-tiba diam.“Kau menginginkan ini? Boleh saja. Aku akan mencoba membuatnya. Kau ingin yang berisi custard? Lemon custard aku rasa bisa, atau coklat.”Mae mendecak setelah itu, karena pilihan coklat dengan otomatis membuatnya memikirkan Ash. Orang yang sedang tidak ingin dipikirkannya—apalagi sejak tadi sudah mengisi lamunannya tanpa permisi. Semakin tidak ingin memikirkan, Mae malah merasa semakin mudah mengingatnya.“Lemon. Tapi ada apa denganmu?” Daisy harus kem
“Bagaimana?”Ash sejenak menatap nama pada ponselnya. Memastikan telah menyentuh nama yang benar. Memang Mae, tapi suaranya berbeda.“Lepaskan! Kau Ashton? Pria yang dekat dengan kakakku?”Ash mendengar suara keributan—perebutan ponsel sepertinya. Saat menyebut ‘kakak’, Ash sadar siapa yang menjawab panggilannya itu. Adik yang pernah dianggapnya tidak ada.“Ya?” Ash tidak yakin harus menjawab apa, antara ingin iya saja—mengikuti kata hatinya, tapi mendengar teriakan dan kepanikan Mae di latar belakang, sepertinya ia tidak akan setuju.“Ya saja? Iya atau tidak—Mae, tunggu di sana, atau aku akan berlari!”Ash mendengar keributan lagi, dan sepertinya Mae masih kalah, karena Ash kembali mendengar suara asing setelahnya.“Aku Daisy. Kau Ashton bukan? Aku membaca namamu di ponsel Mae.”“Ya, halo. Ash saja.” Ash yang tadinya bersandar, langsung menegakkan diri—lebih resmi, padahal jelas tidak ada yang melihat sikapnya.“Oke, Ash. Apa kau ingin bicara pada kakakku?” tanya Daisy.“Ya, aku…”“B
“Foto yang tadi… tidak ada apa-apanya dibanding yang asli.” Daisy tampak membelalak saat Ash mendekat bersama Mae. Penampakan asli Ash, mengukuhkan teori kalau kemampuan kamera dalam menangkap keindahan tidak akan sempurna seperti mata. Ash yang asli terlalu indah. “Well, paling tidak kalian serasi.” Daisy mengangguk puas saat melihat mereka berdiri berjejer. Tipe cantik dan tampan yang memuaskan. “Kau itu bicara apa?!” sergah Mae, melotot lagi. “Aku dan Ash—hanya berteman. Tidak ada…” “Apa ada teman yang menyusulmu ke sini hanya setelah dua hari sambil membawa itu?” Daisy terkekeh sambil menunjuk hadiah dari Ash, yang tentu sama sekali tidak mencerminkan teman. “Ash…” Mae mendesis lirih, sambil menyenggol lengan Ash, menyuruhnya melakukan sesuatu untuk mendukung pernyataan teman itu. Ash tampak mengedip beberapa kali—untuk menghapus kecewa. Ia tidak suka tentu. Meski sudah terduga saat Mae menyebut Daisy tidak boleh tahu, tapi mendengar mereka hanya teman, rupanya terlalu pahi
“Kenapa kau di belakang? Aku tidak akan tiba-tiba mati saat kau duduk di depan.” Daisy memprotes karena Mae duduk di belakang, bersamanya, bukan di samping Ash yang tentu saja menyetir. Mereka sudah turun, tapi Daisy masih kesal.“Bisakah kau tidak bicara hal menyeramkan seperti itu?!” Mae menegur, sedikit keras. Ia bisa membiarkan Daisy bicara apapun, tapi tidak kematian.“Kau yang keterlaluan. Ash kesini untuk menemuimu, tapi kau meninggalkannya,” sergah Daisy.“Tidak masalah. Mae boleh duduk dimana saja.” Ash menyela kesekian kali, mencegah pertengkaran kakak beradik itu menjadi lebih besar. Ia mulai merasa menjadi juru damai sejak tadi. Mereka bisa berdebat atas hal sekecil apapun, membuat perjalan itu sangat tidak membosankan.“Tentu saja kau tidak keberatan. Kapan kau akan keberatan mengabulkan keinginan Mae?” Daisy dengan mudah melihat kecenderungan Ash menuruti Mae.“Tempat ini indah.” Dengan nada ceria, Ash sengaja mengubah pembahasan, mengalihkan pandangan ke sekitar.Tapi
“MARY!” Ash berseru memperingatkan.Opsi lari itu masih berlaku tapi berlari ke arah Mae, Ash tidak peduli lagi apakah benar ada Mama Carol di sana atau tidak, yang penting mobil itu tidak menyentuh Mae.Sebanyak apapun latihan yang dilakukannya, ini pertama kali Ash mendera ototnya sekuat itu. Ash mengerahkan seluruh daya upaya yang dimiliki, melompat dan mengulurkan tangan menyambar mantel Mae dan menariknya.“Akh!” Mae tertarik pada saat yang tepat, mobil itu lewat tepat di depannya—-diantara Mae dan kursi roda Daisy, hanya berhasil menyambar ujung mantel Mae yang berkibar karena tarikan Ash.Tapi pendaratannya tidak terlalu mulus, selain mendapat teguran berupa klakson panjang, tubuh Mae membentur dada Ash. Lalu akibat kekuatan tarikan yang terlalu besar, Ash kehilangan keseimbangan, ikut terdorong jatuh bersama tubuh Mae. Tapi hanya Ash yang mendapat hantaman saat bahunya membentur jalan berbatu.Sepersekian detik itu, Ash berhasil merengkuh seluruh tubuh Mae dalam pelukan, memas
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga