“Aku tidak memaksa. Hanya usul.” Ash langsung menegakkan punggung. Rasanya bahkan lebih buruk, dibanding saat kemarin ia membuat kesalahan pada Parker. “Usul yang buruk!” sergah Mae. Ia tidak pernah ingin membahas penyakitnya dengan Ash yang pasti. “Tapi kau memang sakit. Kau tidak ingin sembuh?” Ash bukan ingin menantang, tapi Mae terkesan tidak ingin membuat keadaannya menjadi lebih baik. “Memang kalau sembuh kenapa? Kau ingin apa? Agar kau bisa tidur denganku segera setelahnya?” Mata Mae menyipit sampai hampir menyerupai garis, curiga amat sangat. Ash mendesah. Ia telah membangunkan Mae dengan pertanyaan itu. Hilang sudah Mary, hanya tinggal Mae sekarang. “Kau tahu itu tidak benar, Mae. Bukan itu tujuanku.” Mencintai atau tidak, Ash tidak berpikir ke arah sana saat menginginkan kesembuhan Mae. Jangankan tidur bersama, Ash bahkan belum tahu bagaimana caranya untuk bicara tanpa membawa kekacauan untuk Mae saat ini. Tentang kesalahannya, tentang penyakitnya, dan banyak lagi. Ash
“Apa kau kerasukan setan neraka, atau melampiaskan kejengkelan? Tolong katakan kalau ini bukan akibat mood-mu yang buruk!” Ian mengeluh, memaki, dan menegur Ash dalam satu kalimat bisikan. Bisikan yang sulit juga, karena harus dilakukan sambil berlari. Bukan hanya Ian yang berlari tentu. Ash mempraktikkan latihan berstandar siksa neraka itu pada seluruh anggota kompi yang dipimpinnya. Ash sedikit menurunkan levelnya tapi, tentu tidak ingin anak buahnya banyak yang mati. Satu-satunya hal yang membuat mereka tidak bisa mengeluh berjamaah—kecuali Ian—atas kesulitan itu adalah kenyataan kalau Ash mengikuti semua langkah latihan itu. Ash ikut berlari, melompat, merangkak dan lainnya. Ikut berkeringat dan berlumpur lagi. Tidak mungkin ada yang berani mempertanyakan. Kalau Ash saja bisa melakukannya, maka mereka juga harus bisa. “Ash? Katakan padaku!” Ian menuntut lagi dalam bisikan, setelah berhasil menyusul Ash melompati halang rintang. Lompatan itu yang terakhir. Yang lain memilih be
“Mae?” Daisy menarik tangan Mae, setelah tidak mendapat tanggapan padahal sudah bicara cukup panjang.“Oh? Bagaimana?” Mae mengedip kebingungan, memang sejak tadi ia melamun. Tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Daisy.“Ada apa denganmu? Aku tadi menunjukkan ini, tapi kau tidak peduli.”Daisy mengulurkan ponsel Mae yang ada di tangannya, memperlihatkan gambar kue yang diinginkannya—croissant berbentuk kerang dengan taburan gula halus. Mae tadi memang menawarkan pada Daisy untuk meminta kue yang manapun, tapi malah tiba-tiba diam.“Kau menginginkan ini? Boleh saja. Aku akan mencoba membuatnya. Kau ingin yang berisi custard? Lemon custard aku rasa bisa, atau coklat.”Mae mendecak setelah itu, karena pilihan coklat dengan otomatis membuatnya memikirkan Ash. Orang yang sedang tidak ingin dipikirkannya—apalagi sejak tadi sudah mengisi lamunannya tanpa permisi. Semakin tidak ingin memikirkan, Mae malah merasa semakin mudah mengingatnya.“Lemon. Tapi ada apa denganmu?” Daisy harus kem
“Bagaimana?”Ash sejenak menatap nama pada ponselnya. Memastikan telah menyentuh nama yang benar. Memang Mae, tapi suaranya berbeda.“Lepaskan! Kau Ashton? Pria yang dekat dengan kakakku?”Ash mendengar suara keributan—perebutan ponsel sepertinya. Saat menyebut ‘kakak’, Ash sadar siapa yang menjawab panggilannya itu. Adik yang pernah dianggapnya tidak ada.“Ya?” Ash tidak yakin harus menjawab apa, antara ingin iya saja—mengikuti kata hatinya, tapi mendengar teriakan dan kepanikan Mae di latar belakang, sepertinya ia tidak akan setuju.“Ya saja? Iya atau tidak—Mae, tunggu di sana, atau aku akan berlari!”Ash mendengar keributan lagi, dan sepertinya Mae masih kalah, karena Ash kembali mendengar suara asing setelahnya.“Aku Daisy. Kau Ashton bukan? Aku membaca namamu di ponsel Mae.”“Ya, halo. Ash saja.” Ash yang tadinya bersandar, langsung menegakkan diri—lebih resmi, padahal jelas tidak ada yang melihat sikapnya.“Oke, Ash. Apa kau ingin bicara pada kakakku?” tanya Daisy.“Ya, aku…”“B
“Foto yang tadi… tidak ada apa-apanya dibanding yang asli.” Daisy tampak membelalak saat Ash mendekat bersama Mae. Penampakan asli Ash, mengukuhkan teori kalau kemampuan kamera dalam menangkap keindahan tidak akan sempurna seperti mata. Ash yang asli terlalu indah. “Well, paling tidak kalian serasi.” Daisy mengangguk puas saat melihat mereka berdiri berjejer. Tipe cantik dan tampan yang memuaskan. “Kau itu bicara apa?!” sergah Mae, melotot lagi. “Aku dan Ash—hanya berteman. Tidak ada…” “Apa ada teman yang menyusulmu ke sini hanya setelah dua hari sambil membawa itu?” Daisy terkekeh sambil menunjuk hadiah dari Ash, yang tentu sama sekali tidak mencerminkan teman. “Ash…” Mae mendesis lirih, sambil menyenggol lengan Ash, menyuruhnya melakukan sesuatu untuk mendukung pernyataan teman itu. Ash tampak mengedip beberapa kali—untuk menghapus kecewa. Ia tidak suka tentu. Meski sudah terduga saat Mae menyebut Daisy tidak boleh tahu, tapi mendengar mereka hanya teman, rupanya terlalu pahi
“Kenapa kau di belakang? Aku tidak akan tiba-tiba mati saat kau duduk di depan.” Daisy memprotes karena Mae duduk di belakang, bersamanya, bukan di samping Ash yang tentu saja menyetir. Mereka sudah turun, tapi Daisy masih kesal.“Bisakah kau tidak bicara hal menyeramkan seperti itu?!” Mae menegur, sedikit keras. Ia bisa membiarkan Daisy bicara apapun, tapi tidak kematian.“Kau yang keterlaluan. Ash kesini untuk menemuimu, tapi kau meninggalkannya,” sergah Daisy.“Tidak masalah. Mae boleh duduk dimana saja.” Ash menyela kesekian kali, mencegah pertengkaran kakak beradik itu menjadi lebih besar. Ia mulai merasa menjadi juru damai sejak tadi. Mereka bisa berdebat atas hal sekecil apapun, membuat perjalan itu sangat tidak membosankan.“Tentu saja kau tidak keberatan. Kapan kau akan keberatan mengabulkan keinginan Mae?” Daisy dengan mudah melihat kecenderungan Ash menuruti Mae.“Tempat ini indah.” Dengan nada ceria, Ash sengaja mengubah pembahasan, mengalihkan pandangan ke sekitar.Tapi
“MARY!” Ash berseru memperingatkan.Opsi lari itu masih berlaku tapi berlari ke arah Mae, Ash tidak peduli lagi apakah benar ada Mama Carol di sana atau tidak, yang penting mobil itu tidak menyentuh Mae.Sebanyak apapun latihan yang dilakukannya, ini pertama kali Ash mendera ototnya sekuat itu. Ash mengerahkan seluruh daya upaya yang dimiliki, melompat dan mengulurkan tangan menyambar mantel Mae dan menariknya.“Akh!” Mae tertarik pada saat yang tepat, mobil itu lewat tepat di depannya—-diantara Mae dan kursi roda Daisy, hanya berhasil menyambar ujung mantel Mae yang berkibar karena tarikan Ash.Tapi pendaratannya tidak terlalu mulus, selain mendapat teguran berupa klakson panjang, tubuh Mae membentur dada Ash. Lalu akibat kekuatan tarikan yang terlalu besar, Ash kehilangan keseimbangan, ikut terdorong jatuh bersama tubuh Mae. Tapi hanya Ash yang mendapat hantaman saat bahunya membentur jalan berbatu.Sepersekian detik itu, Ash berhasil merengkuh seluruh tubuh Mae dalam pelukan, memas
“Mae!”Mae berpaling dan tubuhnya langsung lemas, lega luar biasa. Dokter Faraday tampak berlari kecil menyusuri lorong UGD.“Dokter… Daisy…” Mae menunjuk ke pintu UGD, sambil berjalan menghampirinya. Dan hanya itu. Sebelum bisa bicara, air matanya sudah mendahului.“Mae… tenang dulu. Aku sudah datang—untunglah aku ada di dekat sini. Aku akan memeriksa Daisy, dan dia akan baik-baik saja.” Dokter Faraday, menepuk pundak Mae perlahan.“Daisy jatuh, aku tidak bisa menangkapnya. Maafkan aku…” Mae kembali gagal menjelaskan, dan menangis. Mae ingin berhenti menangis, tapi tidak bisa. Entah berapa kali Mae menghapus, air matanya terus turun.“Aku paham, Mae. Sebentar, aku akan memeriksanya. Setelah itu, kita akan membawa Daisy pulang. Kau tenang saja.” Faraday membantu Mae kembali duduk.“Maaf, aku harus ke dalam.” Mae tidak dalam keadaan bisa ditinggal, tapi Faraday memang harus masuk.“Ya, tolong sembuhkan Daisy,” pinta Mae, sambil berusaha menghapus air matanya lagi.Faraday tersenyum, l