Bang Ian, tolong yang dibahas itu ukuran apa? Ukuran sepatu kan bang?
“Mae?” Daisy menarik tangan Mae, setelah tidak mendapat tanggapan padahal sudah bicara cukup panjang.“Oh? Bagaimana?” Mae mengedip kebingungan, memang sejak tadi ia melamun. Tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Daisy.“Ada apa denganmu? Aku tadi menunjukkan ini, tapi kau tidak peduli.”Daisy mengulurkan ponsel Mae yang ada di tangannya, memperlihatkan gambar kue yang diinginkannya—croissant berbentuk kerang dengan taburan gula halus. Mae tadi memang menawarkan pada Daisy untuk meminta kue yang manapun, tapi malah tiba-tiba diam.“Kau menginginkan ini? Boleh saja. Aku akan mencoba membuatnya. Kau ingin yang berisi custard? Lemon custard aku rasa bisa, atau coklat.”Mae mendecak setelah itu, karena pilihan coklat dengan otomatis membuatnya memikirkan Ash. Orang yang sedang tidak ingin dipikirkannya—apalagi sejak tadi sudah mengisi lamunannya tanpa permisi. Semakin tidak ingin memikirkan, Mae malah merasa semakin mudah mengingatnya.“Lemon. Tapi ada apa denganmu?” Daisy harus kem
“Bagaimana?”Ash sejenak menatap nama pada ponselnya. Memastikan telah menyentuh nama yang benar. Memang Mae, tapi suaranya berbeda.“Lepaskan! Kau Ashton? Pria yang dekat dengan kakakku?”Ash mendengar suara keributan—perebutan ponsel sepertinya. Saat menyebut ‘kakak’, Ash sadar siapa yang menjawab panggilannya itu. Adik yang pernah dianggapnya tidak ada.“Ya?” Ash tidak yakin harus menjawab apa, antara ingin iya saja—mengikuti kata hatinya, tapi mendengar teriakan dan kepanikan Mae di latar belakang, sepertinya ia tidak akan setuju.“Ya saja? Iya atau tidak—Mae, tunggu di sana, atau aku akan berlari!”Ash mendengar keributan lagi, dan sepertinya Mae masih kalah, karena Ash kembali mendengar suara asing setelahnya.“Aku Daisy. Kau Ashton bukan? Aku membaca namamu di ponsel Mae.”“Ya, halo. Ash saja.” Ash yang tadinya bersandar, langsung menegakkan diri—lebih resmi, padahal jelas tidak ada yang melihat sikapnya.“Oke, Ash. Apa kau ingin bicara pada kakakku?” tanya Daisy.“Ya, aku…”“B
“Foto yang tadi… tidak ada apa-apanya dibanding yang asli.” Daisy tampak membelalak saat Ash mendekat bersama Mae. Penampakan asli Ash, mengukuhkan teori kalau kemampuan kamera dalam menangkap keindahan tidak akan sempurna seperti mata. Ash yang asli terlalu indah. “Well, paling tidak kalian serasi.” Daisy mengangguk puas saat melihat mereka berdiri berjejer. Tipe cantik dan tampan yang memuaskan. “Kau itu bicara apa?!” sergah Mae, melotot lagi. “Aku dan Ash—hanya berteman. Tidak ada…” “Apa ada teman yang menyusulmu ke sini hanya setelah dua hari sambil membawa itu?” Daisy terkekeh sambil menunjuk hadiah dari Ash, yang tentu sama sekali tidak mencerminkan teman. “Ash…” Mae mendesis lirih, sambil menyenggol lengan Ash, menyuruhnya melakukan sesuatu untuk mendukung pernyataan teman itu. Ash tampak mengedip beberapa kali—untuk menghapus kecewa. Ia tidak suka tentu. Meski sudah terduga saat Mae menyebut Daisy tidak boleh tahu, tapi mendengar mereka hanya teman, rupanya terlalu pahi
“Kenapa kau di belakang? Aku tidak akan tiba-tiba mati saat kau duduk di depan.” Daisy memprotes karena Mae duduk di belakang, bersamanya, bukan di samping Ash yang tentu saja menyetir. Mereka sudah turun, tapi Daisy masih kesal.“Bisakah kau tidak bicara hal menyeramkan seperti itu?!” Mae menegur, sedikit keras. Ia bisa membiarkan Daisy bicara apapun, tapi tidak kematian.“Kau yang keterlaluan. Ash kesini untuk menemuimu, tapi kau meninggalkannya,” sergah Daisy.“Tidak masalah. Mae boleh duduk dimana saja.” Ash menyela kesekian kali, mencegah pertengkaran kakak beradik itu menjadi lebih besar. Ia mulai merasa menjadi juru damai sejak tadi. Mereka bisa berdebat atas hal sekecil apapun, membuat perjalan itu sangat tidak membosankan.“Tentu saja kau tidak keberatan. Kapan kau akan keberatan mengabulkan keinginan Mae?” Daisy dengan mudah melihat kecenderungan Ash menuruti Mae.“Tempat ini indah.” Dengan nada ceria, Ash sengaja mengubah pembahasan, mengalihkan pandangan ke sekitar.Tapi
“MARY!” Ash berseru memperingatkan.Opsi lari itu masih berlaku tapi berlari ke arah Mae, Ash tidak peduli lagi apakah benar ada Mama Carol di sana atau tidak, yang penting mobil itu tidak menyentuh Mae.Sebanyak apapun latihan yang dilakukannya, ini pertama kali Ash mendera ototnya sekuat itu. Ash mengerahkan seluruh daya upaya yang dimiliki, melompat dan mengulurkan tangan menyambar mantel Mae dan menariknya.“Akh!” Mae tertarik pada saat yang tepat, mobil itu lewat tepat di depannya—-diantara Mae dan kursi roda Daisy, hanya berhasil menyambar ujung mantel Mae yang berkibar karena tarikan Ash.Tapi pendaratannya tidak terlalu mulus, selain mendapat teguran berupa klakson panjang, tubuh Mae membentur dada Ash. Lalu akibat kekuatan tarikan yang terlalu besar, Ash kehilangan keseimbangan, ikut terdorong jatuh bersama tubuh Mae. Tapi hanya Ash yang mendapat hantaman saat bahunya membentur jalan berbatu.Sepersekian detik itu, Ash berhasil merengkuh seluruh tubuh Mae dalam pelukan, memas
“Mae!”Mae berpaling dan tubuhnya langsung lemas, lega luar biasa. Dokter Faraday tampak berlari kecil menyusuri lorong UGD.“Dokter… Daisy…” Mae menunjuk ke pintu UGD, sambil berjalan menghampirinya. Dan hanya itu. Sebelum bisa bicara, air matanya sudah mendahului.“Mae… tenang dulu. Aku sudah datang—untunglah aku ada di dekat sini. Aku akan memeriksa Daisy, dan dia akan baik-baik saja.” Dokter Faraday, menepuk pundak Mae perlahan.“Daisy jatuh, aku tidak bisa menangkapnya. Maafkan aku…” Mae kembali gagal menjelaskan, dan menangis. Mae ingin berhenti menangis, tapi tidak bisa. Entah berapa kali Mae menghapus, air matanya terus turun.“Aku paham, Mae. Sebentar, aku akan memeriksanya. Setelah itu, kita akan membawa Daisy pulang. Kau tenang saja.” Faraday membantu Mae kembali duduk.“Maaf, aku harus ke dalam.” Mae tidak dalam keadaan bisa ditinggal, tapi Faraday memang harus masuk.“Ya, tolong sembuhkan Daisy,” pinta Mae, sambil berusaha menghapus air matanya lagi.Faraday tersenyum, l
Ash ‘mengupas’ kertas pembungkus burger, dan menyerahkannya pada Mae, tapi kedua tangan Mae sedang menggenggam tangan Daisy.“Makanlah. Kau yang akan mati kalau tidak makan, bukan aku.” Daisy menggoyangkan tangannya yang sehat, melepaskan diri dari Mae. Tangannya yang kiri masih disangga dan di gips. Tangan yang menjadi pusat perhatian Mae sejak tadi.“Look, I'm fine. Totally fine. Aku bahkan tidak berpura-pura atau mencoba membuatmu tidak khawatir. Aku benar-benar baik-baik saja.” Daisy meyakinkan Mae agar kadar khawatirnya berkurang.Ash yang ikut memandang Daisy, mengangguk. Sangat setuju. Di matanya, saat ini keadaan Daisy malah terlihat baik. Tidak sangat pucat. Lebih cerah dibanding pertama bertemu dengannya tadi—saat di teras.“Aku tadi bisa memakan semua makanan rumah sakit tanpa muntah, tidak merasa pusing atau apapun. Tidak ada yang nyeri juga meski aku melewatkan minum obat. Apalagi yang harus aku katakan agar kau berhenti khawatir?” Daisy menepuk pelan pipi Mae yang ada da
Ash membuka mata, dan mendapati tubuhnya melesak—hampir tertelan permukaan sofa. Perlu usaha lebih keras untuk bangun dan duduk. Tadi malam saat berbaring, rasanya biasa saja, tapi berat tubuhnya tidak untuk ditopang sofa tua memang. Alasan yang sama membuat Ash ingat kalau ia perlu membuang sofa yang ada di ruang tengah rumahnya. Ash mudah sekali lupa tentang itu—karena sejauh ini, pikirannya mudah penuh saat sudah dikuasai Mae. “Hanya sofa saja kau sudah lega dan bisa tidur nyenyak? Ck, seharusnya kau meminta kamar, kebetulan ranjang Mae cukup besar. Kau melewatkan kesempatan.” Ash berpaling, dan tampak Daisy mendekat memakai kursi rodanya. Daisy baru saja mencela kenyataan Ash tidur di sofa, bukan kamar Mae. Menurutnya itu bukan prestasi, dan tidak boleh membuat Ash tidur nyenyak. Kemarin malam Ash memutuskan untuk menginap, karena memang sudah terlalu malam untuk kembali kemanapun. Ia akan tertidur di jalan kalau memaksakan diri. “Mae… Tidak secepat itu Mae akan menerimaku.”